Pemerhati Kebijakan Publik
Bak anak ayam mati di lumbung padi. Begitulah gambaran masyarakat saat ini kebingungan mendapatkan minyak goreng yang merupakan satu dari sembilan bahan pokok. Pemandangan antrian emak-emak untuk mendapatkan minyak goreng bersubsidi terlihat di mana-mana. Sekarang antrian itu tidak terlihat lagi karena pemerintah telah mencabut subsidi dan mengembalikan ke harga keekonomian. Akibatnya harga minyak naik drastis hampir dua kali lipat.
Sungguh ironi, Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia. Menurut data dari Kementerian Pertanian tahun 2019, total luas lahan sawit di Indonesia mencapai 16,38 juta hektare. Pada tahun 2019 produksi sawit menembus angka 43,5 juta ton. Namun, masyarakat kesulitan mendapatkan minyak goreng. Padahal kebutuhan dalam negeri hanya 5,07 juta ton sementara produksi minyak goreng sawit pada 2021 mencapai 20, 22 juta ton.
*Apa penyebab kelangkaan dan mahalnya harga minyak?*
Muhammad Lutfi, selaku Menteri Perdagangan (Mendag) mengatakan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI, bahwa seharusnya Indonesia tidak mengalami kelangkaan seperti saat ini. Pemerintah telah memasok minyak lebih dari cukup dengan kebijakan DMO dan DPO. Namun, diduga ulah para mafia dan kartel minyak kelangkaan terus terjadi dan pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Mendag mengatakan pemerintah akan mengejar para mafia tersebut dan mengumumkannya ke publik. (bisnis.com, 18/3/2022)
Kita tunggu saja apakah pemerintah benar-benar mampu mengejar mereka. Apakah pemerintah bisa menghentikan sepak terjang para mafia tersebut?
Rasanya sangat jauh panggang dari api. Melihat sistem kapitalis yang diterapkan di negeri ini justru sangat berpihak pada para mafia tersebut. Sistem ini membuka jalan selebar-lebarnya untuk para kapital mengeruk keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan apakah ini akan merugikan orang lain terutama rakyat. Mereka tidak lagi memikirkan halal haram, karena tujuan mereka adalah materi.
Pemerintah dengan dalih investasi memberikan hak pada para kapital menguasai lahan yang merupakan harta milik umum ditanami sawit.
Dilansir dari kompas.com, 24/1/2021, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johan Syah mengatakan, sejak 2016 hingga 2020 terdapat 592 unit Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) atau setara 241.613,26 hektare. IPPKH adalah izin penggunaan kawasan hutan yang diberikan pejabat setingkat menteri untuk kepentingan nonkehutanan, termasuk sawit dan pertambangan. (kompas.com, 24/1/2021)
Kebijakan ini menjadi karpet merah untuk para kapital mengubah hutan dan lahan lainnya menjadi perkebunan kelapa sawit.
Kuat dugaan telah terjadi kartel (penguasaan produksi dan pasar oleh sekelompok produsen) yang mereka berkolaborasi sehingga kelangkaan ini terjadi. Sektor hulu hingga hilir telah mereka kuasai. Sehingga mereka sangat mampu untuk mengontrol harga dan distribusinya. Para kapital inilah yang mendapat keuntungan dari kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng.
Di sisi lain pemerintah mengizinkan para penguasa minyak goreng melakukan ekspor keluar negeri. Setidaknya sejak 14 Februari 2022 lalu telah terjadi ekspor minyak goreng sebanyak 415 juta liter.
Pemerintah dan pengusaha juga menjadikan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) sebagai bahan untuk keperluan biodiesel. Catatan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) minyak sawit mentah untuk biodiesel jumlahnya mencapai 732.000 ton.
Di saat rakyat kesulitan mencari minyak goreng beberapa partai justru bagi-bagi minyak goreng dengan jumlah yang sangat besar. Padahal sebelumnya emak-emak dituding melakukan penimbunan akibat panic buying.
Karut marut masalah minyak ini tidak akan terjadi apabila tata kelola ekonomi diatur dengan syariat Islam.
Islam mengatur agar kebutuhan pokok masyarakat terjamin. Pemerintahan Islam tidak akan menyerahkan pengelolaan sumber daya alam termasuk masalah minyak ini pada swasta apalagi asing dan aseng.
Negara Islam akan mengelola secara mandiri dengan memanfaatkan sumber daya manusia di dalam negeri sehingga bisa membuka banyak lapangan kerja.
Produksi minyak sepenuhnya dilakukan untuk kesejahteraan rakyat, sehingga keuntungan materi bukanlah prioritas negara.
Pemerintahan Islam juga akan mengontrol jalur pendistribusian agar semua masyarakat terpenuhi kebutuhannya.
Negara menjamin seluruh rakyat bisa mendapat semua kebutuhan dengan cepat dan mudah serta harga yang terjangkau.
Pemerintah juga akan mengatur agar perdagangan berjalan baik dan lancar dan meminimalisir kecurangan dalam perdagangan seperti mengurangi timbangan, penipuan, permainan harga, penimbunan dan lainnya.
Rasulullah saw. adalah seorang pedagang pada masanya. Beliau telah mencontohkan bagaimana akhlak seorang pedagang. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah saw. memuji seorang pedagang yang jujur dan amanah dan kelak akan dikumpulkan bersama para nabi, para siddiqqin dan para syuhada pada hari kiamat.
Sementara pelaku kecurangan diancam dengan kebangkrutan dan kusta pada hari kiamat nanti. (HR Ahmad)
Penimbunan di sini adalah penimbunan dengan tujuan bisa menjual kembali dan mendapatkan keuntungan lebih. Sementara menyimpan stok untuk kebutuhan konsumsi tidaklah tergolong penimbunan.
Dalam sistem ekonomi Islam tidak dibenarkan praktik monopoli. Bagi mereka yang nekat melakukan akan diberikan sanksi berupa pelarangan berdagang dalam jangka waktu tertentu.
Tentu ini sangat berbeda dengan kondisi saat ini. Para kapital tidak pernah bisa tersentuh hukum. Sementara pedagang kecil atau rakyat biasa sering kali dilakukan razia, dilarang berjualan, bahkan dikenai hukuman.
Pemerintahan Islam tidak akan melakukan ekspor selama kebutuhan dalam negeri belum terpenuhi maksimal. Semua kebijakan dibuat untuk kesejahteraan dan kemashlahatan rakyat.
Melihat begitu apiknya pengaturan Islam, tidakkah kita ingin penerapan bisa dilakukan secara kafah di negeri ini?
Harus berapa lama kita menyaksikan derita rakyat akibat penerapan sistem sekuler kapitalis ini?
Yuk pahami agama kita dengan benar, dan banggalah berislam secara kafah! Wallahu a'lam bishshawab.
Post a Comment