Cita-cita pindah ibu kota negara nampaknya segera terealisasi, walaupun menuai protes masif dari rakyat. Hal ini menjadi konsekuensi logis dengan telah disahkannya Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) oleh Presiden. Salah satu isi UU IKN tersebut adalah UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemindahan ibu kota negara yang tertuang dalam bab khusus, yaitu Bab VIII: Negara mempersilakan masyarakat turut berperan aktif dalam pemindahan ibu kota negara dari DKI Jakarta ke IKN Nusantara.
Ada lima bentuk partisipasi masyarakat yang diatur dalam UU IKN. Masyarakat dapat berpartisipasi melalui konsultasi publik, musyawarah, kemitraan, penyampaian aspirasi; dan/atau keterlibatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Faktanya setelah masyarakat menyatakan aspirasi penolakannya, mengapa pemindahan IKN tetap dilakukan, bahkan dipercepat. Demi kepentingan siapa?
Undang-Undang IKN yang disahkan oleh Presiden dengan mengabaikan protes masif dari rakyat terkesan terburu-buru dan janggal. Masyarakat menilai, pemindahan ibu kota negara di tengah situasi pandemi Covid-19 dalam keadaan ekonomi terpuruk adalah tidak tepat. Sehingga tak ada urgensitas bagi pemerintah memindahkan ibu kota negara.
Hal yang niscaya adalah tentunya proyek IKN membutuhkan dana fantastis dan ironisnya ini terjadi di saat defisitnya APBN. Hal ini berpotensi mengorbankan dana program pemulihan ekonomi rakyat akibat keterbatasan dana dan membuka peluang investasi yang tinggi bagi pihak swasta maupun asing bila tidak ingin membebani APBN. Disamping meniscayakan juga adanya resiko pengalihan aset negara kepada individu/swasta.
Dilansir dari media kompas, bahwasanya Asosiasi Pengembang Real Estat Indonesia dan KADIN (Kamar Dagang dan Industri) Indonesia menjajaki konsorsium investor dari Spanyol untuk membangun kota pintar di IKN.(14/03/2022)
Inilah watak negara kapitalisme yang lebih mementingkan para pengusaha dibanding kepentingan rakyatnya. Banyaknya rakyat yang terdampak perekonomian akibat pandemi, tidak menjadi prioritas utama bagi negara. Pemerintah hanya bekerja untuk memuaskan kepentingan para oligarki kekuasaan. Fungsi negara menjadi mandul, karena hanya berperan sebagai regulator. Semua ini akibat dari penerapan sistem kapitalisme liberal yang melahirkan pemimpin tidak amanah.
Kerusakan yang diakibatkan sistem kapitalisme bersumber dari akal manusia yang terbatas. Maka sudah seharusnya kita kembali kepada aturan yang bersumber dari Sang Pencipta, yakni Islam.
Islam memandang peran pemimpin negara adalah sebagai Ra’in yakni pengurus rakyat. Seorang pemimpin dalam Islam menyadari perannya yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.
Abdurrahman bin Samurah berkata, Rasulullah saw. bersabda kepadaku, "Wahai Abdurrahman, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan karena permintaan, maka tanggung jawabnya akan dibebankan kepadamu. Namun jika kamu diangkat tanpa permintaan, maka kamu akan diberi pertolongan." (H.R. Muslim)
Dengan tanggung jawab yang sedemikian besar, maka negara akan senantiasa mendahulukan kepentingan rakyatnya.
Tercatat dalam tinta sejarah peradaban, bahwasanya pernah terjadi empat kali pemindahan ibu kota saat Islam diterapkan. Pembangunan ibu kota masa kekhilafahan berbeda dengan yang terjadi saat ini. Jika saat ini pembangunan dipusatkan di ibu kota dan tempat yang memiliki cadangan sumber daya alam, lain halnya dalam khilafah. Pembangunan dilakukan atas dasar kebutuhan rakyat pada wilayah tersebut. Dengan demikian semua tempat memiliki kapasitas penunjang yang mumpuni.
Pembangunan ibu kota dalam khilafah tidak melibatkan pihak swasta maupun asing, karena APBN dalam khilafah bukan bersumber dari pajak dan hutang. Akan tetapi dari Baitul mal yang memiliki tiga pos pemasukan, yakni pos kepemilikan negara, pos kepemilikan umum dan pos zakat. Adapun untuk kebutuhan pembangunan, khilafah menggunakan anggaran dari pos kepemilikan negara dan pos kepemilikan rakyat. Demikianlah penjelasan mengenai mekanisme pemindahan ibukota negara dalam khilafah tanpa adanya intervensi swasta maupun asing.
Wallahu a'lam Bishshawaab.
Post a Comment