Oleh: Devi
Aktivis Muslimah
Label halal Indonesia yang baru telah ditetapkan Kementerian Agama
(Kemenag) untuk menggantikan
label Halal Majelis Ulama Indonesia
(MUI) yakni melalui Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag yang akan berlaku secara
nasional. Logo baru yang konon katanya di desain
dengan bentuk serta filosofi yang menggambarkan ciri khas Nusantara
berbentuk gunungan seperti wayang ini mampu melengserkan logo lama yang dibuat
MUI. Sejak itu, urusan
terkait produk halal pun berpindah pula. Penetapan label halal tersebut tertuang dalam
Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022.
Kehadiran logo baru banyak menuai kritik di tengah publik. Selain
huruf yang sulit untuk dibaca sehingga muncul berbagai penafsiran yang terjadi,
MUI yang seharusnya menjadi wakil rakyat untuk menjalankan amanah dalam
meneliti terkait kehalalan suatu produk sebelum produk tersebut akhirnya
beredar secara bebas di masyarakat kini malah semakin
dipersulit ditambah tugas ini beralih ke BPJPH yang tidak mau kalah kreatif
untuk menciptakan logo barunya dengan harapan keindonesiaan dan diterima oleh
masyarakat luas.
Hilangnya peran MUI dalam penetapan produk
halal ini merupakan salah satu dampak dari UU Omnibus Law. Proses
yang ketat dalam pemilihan produk halal MUI tidak diinginkan oleh para pelaku
bisnis. Oleh
karena itu,
hadirnya Omnibus Law
memberi keringanan regulasi bagi pelaku bisnis. Pemeriksaan dengan proses panjang dan memakan banyak
waktu disinyalir sebagai sesuatu yang menyulitkan bagi perusahaan yang
berorientasi keuntungan materi.
Mereka meminta agar proses label halal itu berlangsung cepat hingga produksi segera
berjalan. Keuntungan pun segera diraup sebanyak mungkin. Bila peluang investasi
menjadi pertimbangan dalam labelisasi halal pangan, bukan tidak mungkin standar
halal haram akan semakin rancu, bias dan kabur. Jangankan yang tidak berlabel
halal, yang berlabel halal saja terkadang masih diragukan jika masyarakat tidak
jeli melihat komposisi suatu produk. Maka jelaslah sistem saat ini melihat
segala sesuatu itu bisa dibisniskan untuk meraup keuntungan yang sangat besar.
Tanpa melihat apakah halal sesuai syariat atau tidak.
Berbagai perbedaan pendapat terkait kehalalan
suatu produk membuat masyarakat kebingungan, karena
definisi halal menurut satu pihak dengan pihak yang lain masih rancu di tengah-tengah
masyarakat.
Halal bagi pihak ini belum tentu bagi pihak lainnya. Oleh
karena itu, peran
negara dalam menetapkan kebijakan yang tepat sangat membantu masyarakat dalam
menghadapi permasalahan furuiyyah ini, sehingga tidak terjadi kebingunan apalagi
ini terkait permasalahan syariat yang merupakan perintah maupun larangan dari Allah SWT.
Namun negara menganggap enteng permasalahan
halal haram suatu produk yang beredar di tengan-tengah umat dengan
mengembalikannya kepada kebutuhan pasar. Pada dasarnya sertifikasi
halal ditujukan untuk memenuhi jaminan keamanan bagi setiap Muslim dalam
mengonsumsi produk makanan. Oleh karenanya, ketika ada jaminan halal bagi
setiap produk yang beredar, masyarakat tidak akan merasa was-was ketika
mengonsumi barang. Sebab, ada kepastian apa yang mereka konsumsi adalah benar
sesuai syariat Islam.
Karena soal makanan dan minuman, status halal dan tayyib adalah mutlak bagi kaum Muslim. Makanan/minuman yang mengandung keharaman, baik pada zatnya (meski sedikit) maupun prosesnya, tentu tertolak. Ini sebagaimana tercantum di dalam dua ayat berikut ini yakni Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 168 yang artinya, "Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu."
Begitu juga dalam firman Allah SWT berikut ini: "Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai
rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman
kepada-Nya" (QS al-Ma'idah: 88).
Dalam kedua ayat di atas sudah jelas bahwa mengabaikan aspek halal
dan tayyib adalah tindakan mengikuti langkah-langkah setan. Maka, terkait
penentuan halal haram tak hanya sebatas label/sertifikat saja, tapi sebagai wujud
keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT. Dan yang dibutuhkan kaum Muslim adalah
produk halal yang sesuai petunjuk Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Halal semestinya bersanding dengan keimanan dan dalam rangka
menjauhkan kaum Muslim dari langkah-langkah setan. Ketika label halal sekadar menjadi
instrumen ekonomi, label ini pun menjadi tidak berkekuatan politik yang
mengikat, khususnya dalam hal politik pangan halal.
Oleh karena ini kehadiran atau peran sebuah
institusi negara sangat dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan
seperti ini
agar manusia tetap dipandu dengan wahyu yakni syariat Islam
ketika menjalankan kehidupannya. Negara akan memberikan
jaminan kepada masyarakat terkait halal haram suatu produk agar memudahkan masyarakat
dalam menentukan mana perintah dan mana larangan, karena negara sebagai pelayan
bagi rakyat untuk kebutuhan hajat hidup masyarakat. Maka negara harus mengambil peran sentral dalam
pengawasan mutu dan kehalalan barang dan negara ini akan
tercipta hanya dengan penerapan sistem Islam
kaffah di bawah
naungan khilafah Islamiyah.[]
Post a Comment