Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), Apakah Sebuah Aib yang Harus Ditutupi atau Laporkan?

Oleh: Tria Putri, Komunitas Annisa Ganesha

Ustadzah Oki Setiana Dewi akhir-akhir ini viral dikarenakan potongan ceramahnya mengenai kisah KDRT. Ceramahnya berisikan tentang kisah pasangan suami istri di Jeddah yang sedang bertengkar. Kemudian suami memukul istrinya hingga menangis. Namun selang beberapa saat, orang tua sang istri datang. Ketika sang Ibu bertanya, sang istri menutupi apa yang telah diperbuat oleh suami.  Terharu dengan sikap istrinya yang menutupi aibnya, suami tersebut kemudian semakin menyayangi istrinya. Dari ceramah tersebut, ustadzah Oki dituding menormalisasikan kekerasan dalam berumah tangga. Sehinga dalam kanal sosial medianya, beliau klarifikasi memberikan vidio ceramah dengan durasi yang lebih panjang dan menegaskan bahwasannya beliau tidak mendukung penuh tindakan KDRT. Beliau meminta maaf dan memohon bimbingan atasnya.

Vidio yang viral tersebut ditanggapi oleh Alissa Wahid sebagai ketua Tanfidziyah PBNU. Beliau menyayangkan isi ceramah dari ustadzah Oki tersebut. Alissa menegaskan, KDRT tidak boleh dianggap sebagai aib yang harus ditutupi. Menurutnya KDRT merupakan bentuk kekerasan yang harus diselesaikan. Begitupun, ketua MUI Bidang Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan, Utang Ranuwijaya juga ikut angkat bicara mengenai ceramah Oki Setiana Dewi tersebut. Menurut Utang, tindakan KDRT tidak pernah dibenarkan dalam ajaran agama Islam. Menurutnya tindakan KDRT sama halnya dengan penganiayaan. Yang mana tindakan penganiayaan tersebut adalah bentuk perbuatan yang dapat merugikan orang lain. Dan beliau juga menyebutkan bahwasannya tindakan tersebut tidak sesuai dengan yang Rasulullah SAW ajarkan.

Dari kisah yang disampaikan ustadzah Oki, kita dapat melihatnya dari dua sisi. Sisi pertama melihat bahwasannya ada seorang Muslimah yang menutupi aib suaminya di depan sang Ibu. Muslimah tadi memilih menyelesaikan masalah dalam rumah tangganya dengan jalan damai. Maka ketika kita tangkap konteksnya dengan benar, tidak ada masalah disitu. Namun yang jadi ramai, yang menjadi perhatian yaitu pada sisi kedua. Ketika yang dilihat itu adalah dalam konteks seorang istri yang dipukuli oleh seorang suami yang kemudian dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Maka inilah yang memunculkan kehebohan, yang diangkat, dan dibahas ditengah masyarakat.

Apa yang disampaikan ustadzah Oki, yang di highlight adalah tentang menutupi aib seorang suami. Betapa banyak saat ini pasangan suami istri yang bercerai karena saling membuka aib rumah tangga mereka. Entah itu kepada keluarga, teman atau yang lebih parah ke sosial media. Menutupi aib bukan berarti menyetujui KDRT. Tak bisa dipungkiri, akan selalu ada orang yang tidak menyukai Islam. Sehingga akan selalu mencari celah disisi mana mereka bisa mencela Islam. Ditambah lagi muslim di sistem sekuler ini, tidak paham utuh akan syariat Islam. Mereka (muslim) juga menghadapi pertarungan antara pihak yang memojokkan syariat melalui isu HAM dan Kesetaraan, dengan pihak yang berusaha menjalankan syariat Allah. Sementara itu regulasi yang ada berpihak pada arus liberal, yaitu pihak yang memojokkan syariat Islam. Sehingga ketika ada pihak yang memojokkan Islam melalui isu HAM atau kesetaraan. Maka posisi seharusnya yang kita ambil bukanlah defensive apologetic namun menyerang balik pihak liberal.

Dalam Islam sendiri ada aturan yang membolehkan untuk memukul istri. Namun bukan berarti dengan pukulan yang keras dan meninggalkan bekas. Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 34 yang artinya “Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, pisahkanlah tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.”. Dari ayat tersebut jelas bagaimana urutan-urutan kapan seorang suami boleh memukul istrinya. Istri yang nusyuz artinya istri yang bertindak tidak bersahabat dengan suaminya. Hendak menodai pernikahan, berbuat jahat pada suaminya, berbuat sekehendaknya tanpa memedulikan kewajibannya sebagai istri, dan melakukan hal-hal yang dilarang Islam.

Ketika seorang istri terlihat melakukan nusyuz, maka tindakan pertama yang dilakukan seorang suami adalah menasehatinya. Dengan lemah lembut, cara yang benar dan suami dituntut untuk sabar dengan istri. Istri yang beriman, biasanya akan menerima dan memperbaiki diri setelah mendapati nasehat. Lalu yang kedua, memisahkan tempat tidur. Gunanya untuk menata emosi dan mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan. Dan yang terakhir bila cara pertama dan kedua tidak berhasil maka suami boleh memukul istrinya. Namun ada tatacaranya dan hanya boleh dengan pukulan yang ringan dalam rangka mendidik, seperti memukul menggunakan siwak. Bukan pukulan kriminal seperti pukulan yang mematikan, mengakibatkan cacat permanen, luka berdarah atau patah tulang, membuat lebam, atau sangat menyakitkan. Demikian pula tidak boleh memukul wajah dan bagian-bagian tubuh yang membahayakan, tidak boleh memukul di luar rumah, tidak boleh memukul di satu bagian tubuh secara berulang-ulang. (Muhammad bin Jarir at-Thabari, Jâmi’ul Bayân fi Ta’wîlil Qur’ân, [Muassasatur Risâlah: 1420/2000], juz VIII, halaman 314) dan (Mausû’ah al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Wizaratul Auqâf: 1427], juz XL, halaman, 298-299).

Wallahu a’lam.

Sumber:

https://islam.nu.or.id/nikah-keluarga/bolehkah-suami-memukul-istri-dalam-islam-begini-penjelasannya-8BeZZ

https://www.kompas.com/hype/read/2022/02/04/124801766/oki-setiana-dewi-buka-suara soal-tudingan-normalisasi-kdrt?page=2

https://www.tribunnews.com/seleb/2022/02/05/pbnu-tanggapi-ceramah-oki-setiana-dewi-soal-kdrt-kdrt-tak-boleh-dianggap-aib-yang-harus-ditutupi

https://www.hidayatullah.com/kajian/jendela-keluarga/read/2015/03/12/40492/kapan-suami-boleh-memukul-istri.html

Post a Comment

Previous Post Next Post