Corak Ekonomi Kapitalis Memeras Rakyat Dengan Pajak



Oleh Dwi Sri Utari, S.Pd
(Guru dan Aktivis Politik Islam)
 

Geram, begitulah setidaknya yang dirasakan oleh masyarakat dihadapkan dengan naiknya pajak pertambahan nilai (PPN) menyusul kabar dinaikannya harga bahan bakar pertamax. Bagaimana tidak, hal tersebut berpotensi memberikan efek domino yang cukup panjang dimana harga berbagai produk dan barang pun akan turut menjadi naik. Dilansir dari Jawa Pos pada 22 Maret 2022, “Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11 persen, dari semula 10 persen akan berlaku pada 1 April 2022. Kebijakan ini diterapkan guna menciptakan fondasi pajak negara yang kuat.” Nampaknya, Pajak memang selalu menjadi andalan untuk menopang ekonomi negara ini.

Sudah menjadi hal yang lumrah di negeri ini dimana menopang kondisi ekonomi dengan berpijak pada pajak. Bahkan ditentukan sebagai salah satu sarana pemenuhan kebutuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam menutupi defisit. Hal ini sebagaimana tercantum dalam UU No 20 tahun 2019 bahwa pendapatan pemerintah didapatkan melalui penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan hibah. Berdasarkan kutipan dari laman Kemenkeu RI pada 04/01/2022, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa pelaksanaan APBN 2021 mencatatkan kinerja positif dan melebihi target dalam APBN 2021. Realisasi pendapatan negara hingga 31 Desember 2021 mampu tumbuh Rp2.003,1 triliun atau 114,9 persen dari target APBN 2021 yang sebesar Rp1.743,6 triliun.

Dengan mengandalkan pada utang dan pajak dalam menopang ekonomi semakin memberikan kesan bahwa sistem ekonomi negeri ini bercorak kapitalis. Dimana, negara terus memalak rakyat guna memaksimalkan pajak agar kebutuhan negara bisa tercukupi. Padahal jika negara ini mampu mengelola kekayaan alam dengan baik, maka hal itu sudah cukup untuk membiayai pengeluaran negara. Sebab, sesungguhnya Indonesia memiliki sumber kekayaan alam (SDA) yang melimpah ruah. Yang apabila dikelola dengan baik secara mandiri, hasilnya akan dapat dinikmati oleh rakyat.

Namun sayangnya, sistem ekonomi yang diterapkan di negeri ini telah  memberikan legalitas bagi kepemilikan dan pengelolaan SDA oleh korporasi. Melalui dikuasainya sektor kepemilikan umum oleh swasta/asing, pemerintah Indonesia harus melepaskan perannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi yang ditandai dengan banyak dikuasainya sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak (sektor kepemilikan umum) baik dengan cara langsung maupun melalui proses privatisasi BUMN oleh swasta maupun asing. Hal tersebut membuat pemerintah kehilangan sumber pendapatan negara yang berasal dari harta milik umum dan milik negara.

Padahal apabila merujuk pada aturan pencipta dalam mengatur sistem ekonomi. Pengelolaan SDA harus oleh negara sebagai wakil dari rakyat, tidak boleh diserahkan kepada swasta apalagi pihak asing. Ini sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api dan harganya haram.” (HR Ibnu Majah). Dalil-dalil syara' telah menjelaskan sumber-sumber pendapatan harta. Disamping bersumber dari pengelolaan SDA oleh negara, sumber pendapatan lainnya adalah pengelolaan negara atas fai, ghanimah, kharaj, jizyah dll.

Melalui pengaturan yang demikian, wajar apabila ketika Khilafah tegak selama berabad-abad lamanya, tidak pernah ada pungutan pajak. Khilafah bisa mendapatkan pendapatan yang besar dan beragam tanpa harus membebani rakyat dengan pajak maupun utang luar negeri. Sebab bersumber dari aturan sang pencipta manusia dan alam semesta akan melahirkan sistem ekonomi yang manusiawi dan menyejahterakan. Mekanisme demikianlah yang selayaknya diterapkan di negeri ini. 
Wallahu a’lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post