Wadas: Kepentingan Rakyat atau Oligarki?


Oleh : Firda Faradilah

Desa Wadas mendadak viral. Hal ini berawal dari penolakan warga mengenai rencana penambangan batu andesit yang akan digunakan untuk pembangunan bendungan Bener yang menjadi salah satu proyek strategis nasional berdasarkan Peraturan Presisden nomor 56 tahun 2018 tentang percepatan Proyek Strategis Nasional. 


Berdasarkan Surat keputusan Gubernur Jawa Tengah nomor 590/441/2018, Desa Wadas adalah lokasi yang akan dibebaskan lahannya dan dijadikan lokasi pengambilan bahan material batuan andesit untuk pembangunan Bendungan Bener. Hal ini dikarenakan Desa Wadas termasuk daerah dengan komoditas batu andesit. Belum diketahui pasti jumlah potensi cadangan batuan andesit di desa tersebut, tetapi, berdasarkan data Kementerian ESDM pada 2020 tercatat cadangan terkira batuan andesit di Indonesia mencapai 18,98 miliar ton dan cadangan terbukti mencapai 262,7 juta ton.


Berdasarkan survei potensi ekonomi oleh Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa) bersama Walhi Yogyakarta, LBH Yogyakarta dan Perpustakaan Jalanan, semua tanaman yang dibudidayakan di bukit Wadas bernilai akumulasi tinggi per tahun. Begitu banyak keuntungan di bukit Wadas sehingga warga menyebutnya “Tanah Surga di Bumi Wadas”, belum lagi kekayaan fauna yang ada. Dengan potensi ekonomi sedemikian besar, wajar jika masyarakat Wadas menolak penambangan.


Menanggapi hal tersebut timbul pertanyaan, kenapa dilakukan penetapan persetujuan lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan di Desa Wadas meski warga sudah aktif menolak? Dan, Pemerintah sebenarnya berpihak pada siapa, rakyat atau oligarki?


Meski aparat setempat menyebutkan bahwa proyek ini akan memberikan sejumlah manfaat, seperti suplai air untuk lahan sawah beririgasi, pemenuhan air baku untuk masyarakat, juga potensi pengembangan pariwisata, akan tetapi beberapa pihak berpendapat bahwa harus ada pengkajian ulang dari kebijakan ini karena ditakutkan adanya pencemaran Likungan. Selain itu, bukit yang ada di Wadas yang menjadi sumber kehidupan bagi warga akan hilang menyisahkan kawah bebatuan. Lantas bagaimana mereka melanjutkan kehidupan masa depan bersama anak cucu mereka? Mengapa pemerintah ngotot melakukan pembangunan bendungan?


Seperti yang kita tau bahwa Konflik di Wadas bukanlah satu-satunya konflik lahan antara rakyat dan pemerintah. Dan tampaknya, konflik ini akan sering terjadi seiring makin terlilitnya negara dengan beban ekonomi. Untuk mengatasi masalah ini, jalan keluar yang digunakan pemerintah yaitu menjual salah satu aset negara contohnya sektor pariwisata. Untuk mempermudah jalannya, pemerintah menggandeng para investor dalam membangun infrastruktur, baik itu yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Untuk memenuhi keinginannya, pemerintah sering kali bersinggungan dengan kepentingan masyarakat. Dan untuk memudahkan jalannya, maka muncul berbagai regulasi sebagai payung hukum untuk melindungi berbagai langkah investasi yang berkedok kepentingan rakyat, berupa UU, perda, atau permen. Kemudian, rakyat pun terbungkam. Jika tetap bersuara, aparat akan bertindak. Bahkan jika bersikeras, tindakan keras aparat akan dianggap legal. Miris!


Oleh karenanya, jangan kaget apabila kita melihat para pimpinan akan menganggap tidak ada tindakan represif yang dilakukan para aparat, meskipun ada bukti nyata berupa video di media sosial yang memperlihatkan tindakan aparat yang menyeret warga, serta melepaskan anjing pelacak bagi warga yang lari ke hutan. Sungguh, sikap represif aparat terhadap rakyat adalah bukti wajah buruk demokrasi dalam genggaman oligarki. Keberpihakan pemerintah pada rakyat hanyalah ilusi semata. 


Tampak jelas, bahwa penguasa tidak lagi memperhatikan aspirasi rakyat. Yang dimana kekuasaan juga tidak lagi di tangan penguasa, tetapi ada di tangan para pemilik modal. Penguasa akan lebih memihak para oligarki yang membantunya dalam mendapatkan kursi kekuasaan dibandingkan dengan kepentingan rakyat, yang dimana untuk mendapatkan kursi kekuasaan tidaklah gratis membutuhkan modal yang tidak sedikit, dapat diartikan bahwa pemerintahan dijadikan sebagai ajang balas budi. Ketika hal tersebut terjadi, kepentingan rakyat tidak lagi menjadi perhatian utama pemerintah, bahkan cenderung terabaikan. Pemerintah akan mencurahkan perhatian utamanya pada para oligarki, dengan memfasilitasi setiap kepentingan oligarki melalui berbagai regulasi agar mempermudah jalannya. Sungguh, negara sudah berubah menjadi korporatokrasi, yakni kewenangan negara didominasi pengusaha yang memikirkan keuntungan.


Selama kepemimpinan penguasa masih dipengaruhi oleh gaya kapitalis demokrasi, selama itu pula rakyat akan menanggung kerugian demi kerugian. Alam akan semakin rusak dan rakyatnya akan semakin susah. Inilah kerugian umat yang tak memiliki kepemimpinan khilafah yang mengayomi dan mengedepankan kemaslahatan rakyat. Sangat berbeda apabila umat diurusi dengan gaya kepemimpinan islam, yang dimana dalam Islam pemimpin bertanggung jawab untuk mengayomi dan mengedepankan kemaslahatan rakyat bukan korporat.


Dalam Khilafah, ada sistem peradilan yang dipimpin Qadhi Mazhalim. Mahkamah Mazhalim merupakan lembaga negara untuk melenyapkan setiap bentuk kezaliman negara terhadap warga yang ada di bawah naungan negara Khilafah baik itu yang muslim atau kafir dzimmi. Mahkamah Mazhalim berhak mencopot jabatan khalifah, pejabat, maupun pegawai negara apabila melakukan tindak kezaliman. Selain karena kezaliman, Mahkamah Mazhalim tidak berhak sama sekali melakukan pemakzulan. Ini karena pemilik asal wewenang mengangkat dan menghentikan pejabat maupun pegawai negara adalah Khalifah. Khalifahlah yang berhak mengangkat dan menghentikan pejabat atau pegawai negara.


Sungguh, hari ini kita merindukan keadilan tersebut hadir di tengah kita, pemimpin agung yang menjamin hak-hak umat, menyelesaikan persoalan dengan penuh kebijaksanaan, dan mengutamakan kepentingan rakyatnya. Juga pemimpin yang taat aturan Allah dan senantiasa menegakkan keagungan Islam. Itulah pemimpin yang hanya ada dalam naungan Khilafah Islamiah. Wallahu a'lam

Post a Comment

Previous Post Next Post