Wacana Pemilu Ditunda, Kepentingan Siapa?


Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Opini Bela Islam AMK

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan hari pemungutan suara Pemilu 2024 pada Rabu, 14 Februari 2024. Setelah mendapat persetujuan pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) pada rapat kerja dengan Komisi II DPR.

Dengan penetapan hari dan tanggal pemungutan suara Pemilu 2024, maka calon peserta pemilu harus sudah mempersiapkan segala kebutuhan dan dokumen untuk lolos menjadi peserta pemilu tahun 2024. Salah satu peserta pemilu tersebut adalah partai politik untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. (Beritasatu.com, 18/1/2022)

Ironisnya, beberapa petinggi politik yang seharusnya sibuk mempersiapkan pemilu 2024, justru malah melontarkan usulan agar Pemilu diundur selama setahun atau dua tahun, bahkan ada yang usul sampai tiga periode. Di antaranya adalah Muhaimin Iskandar, Ketum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang pertama kali menggagas pemilu 2024 ditunda. Muhaimin mengacu pada analisis data di media sosial, sebanyak 60 persen mendukung penundaan pemilu. Kemudian Airlangga Hartarto, Ketum Partai Golkar mengaku mendapat aspirasi dari petani di Kabupaten Siak meminta perpanjangan jabatan Jokowi tiga periode. Adapun dari Ketum Partai Amanat Nasional, Zulkifli Hasan, usul pemilu ditunda karena situasi pandemi, kondisi ekonomi belum stabil baik pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat perlu pemulihan untuk kembali bangkit. (Tribunnews.com, 1/3/2022)

Penolakan dan kritikan datang dari berbagai parpol hingga para pakar. Di antaranya Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menegaskan bahwa penundaan pemilihan umum (Pemilu) merupakan sesuatu yang melanggar konstitusi. Ia memandang, wacana tersebut digulirkan oleh pihak-pihak yang takut kehilangan kekuasaan dan ingin melanggengkan kekuasaan. Negeri ini mau dibawa ke mana kalau dipimpin oleh orang-orang seperti itu. Seharusnya konstitusi harus dipatuhi bersama, kata AHY lebih lanjut.
(Republika.co.id, 27/2/2022)

Wacana Pemilu Ditunda, Kepentingan Siapa? dapat dianalisis sebagai berikut:

Pertama, sebenarnya Jokowi sendiri sudah beberapa kali menolak wacana perpanjangan jabatan presiden tiga periode. Artinya Jokowi bukan penggagasnya. Namun, ada pihak-pihak yang mencoba menggiring opini penundaan Pemilu 2024. Ini disebabkan karena selama berada di lingkaran kekuasaan merasa dienakkan dan diuntungkan. Maka dari itu, takut kehilangan jabatan dan ingin mempertahankan jabatannya.

Upaya untuk menggiring penundaan Pemilu 2024 terus diopinikan. Meskipun harus berbohong dengan mengatasnamakan rakyat yang berkehendak. Pasalnya, mereka mengklaim bahwa usulan penundaan pemilu merupakan aspirasi dari rakyat. Rakyat yang mana? Padahal, hasil survei Lembaga Indikator bertajuk "Pemulihan Ekonomi Pasca Covif-19, Pandemic Fatigue dan Dinamika Elektoral Jelang Pemilu 2024," diketahui bahwa 69,6 persen pemilih PKB di Pileg 2019 menginginkan Pemilu 2024 sesuai jadwal. Begitu juga Partai Golkar 57,7 persen, dan PAN 81,9 persen. Lagi-lagi mengatasnamakan rakyat, padahal untuk memuaskan syahwatnya.

Kedua, kebohongan-kebohongan dalam sistem demokrasi dianggap hal yang lumrah. Sebab, filosofi demokrasi 'dari rakyat-oleh rakyat-untuk rakyat' adalah utopis. Faktanya, yang menikmati pesta demokrasi setiap lima tahun sekali bukan rakyat, tetapi para politisi dan pemilik modal. Selama kampanye berlangsung rakyat disuguhi janji-janji politik yang faktanya tidak direalisasikan. Sejatinya yang diuntungkan dalam pemilu adalah para politisi yang berambisi mendapatkan jabatan publik atau kekuasaan. Untuk itu, dibutuhkan modal yang besar. Berawal dari proses pesta demokrasi inilah oligarki terbentuk, yakni terjadinya simbiosis mutualisme antara politisi dengan pemilik modal.

Ketiga, adanya simbiosis mutualisme maka lahirlah undang-undang atau kebijakan yang menguntungkan dirinya dan pemilik modal yang mendukungnya. Artinya kedua kelompok tersebut punya kepentingan yang sama, yakni ingin mempertahankan kekuasaannya. Para politisi tidak ingin partainya kalah dalam perebutan suara Pemilu 2024, karena secara otomatis akan mengancam jabatan dan kekuasaannya. Oleh sebab itu, partai yang elektabilitasnya rendah berusaha mencari zona aman, yakni dengan menggiring penundaan Pemilu 2024. Begitu juga pemilik modal takut kekuasaannya ambyar. Sebab, dalam sistem demokrasi sebuah keniscayaan bahwa aturan dan kebijakan sering berganti dan berubah-ubah termasuk melanggar konstitusi hal biasa.

Keempat, dalam demokrasi tidak ada istilah tidak mungkin. Awalnya menolak tidak mau jabatan presiden diperpanjang tiga periode, kecuali rakyat yang menghendaki. Apalagi dengan diamnya Jokowi, membuat teka-teki. Hal ini bisa saja berubah arah, jika partai politik yang berkoalisi dan pengusaha yang memberikan dukungannya untuk menunda Pemilu 2024. Dengan berbagai alasan yang diada-adakan, seperti keuangan negara devisit, biaya pemilu besar, IKN butuh dana yang besar, masa pandemi fokus pada kesehatan dan perbaikan ekonomi rakyat. Padahal di balik semua itu ada kepentingan oligarki yang mencengkeram di negeri ini.

Semua itu disebabkan karena negara ini mengadopsi sekularisme, yakni sistem yang memisahkan agama dengan kehidupan. Kesalahan fatal demokrasi adalah kedaulatan berada di tangan rakyat. Rakyat diberikan kuasa untuk membuat hukum, yang diwakili oleh parlemen (elit politik). Wajar, jika aturan dan kebijakan tidak memihak pada rakyat. Aturan yang dihasilkan justru menimbulkan perselisihan, pertentangan, dan permusuhan. Karena bersumber pada akalnya yang lemah dan terbatas, serta menuruti hawa nafsunya untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya (oligarki).

Sejatinya pemilu diundur atau tetap diadakan tidak akan menyejahterakan rakyatnya. Sebab, demokrasi adalah sistem yang rusak sejak lahir. Karenanya, negara ini dalam keadaan tidak baik, semakin terpuruk, sumber daya alam dikuasai oleh oligarki swasta, asing, dan aseng. Saatnya demokrasi yang menyengsarakan dicampakkan dan diganti dengan sistem Islam.

Dalam Islam, kedaulatan di tangan syarak artinya yang membuat hukum adalah Allah Swt, merupakan hak prerogatif sebagaimana firman-Nya, 

"Katakanlah (Muhammad), “Aku (berada) di atas keterangan yang nyata (Al-Qur'an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah kewenanganku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik.” (QS. al-An'am [6]: 57)

Dalam Islam tidak dikenal apa itu kebebasan, karena semua perbuatan terikat dengan hukum Allah. Allah telah memberikan aturan yang sempurna bagi makhluknya yang meliputi semua lini kehidupan. Sebagaimana firman-Nya, "Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu. (QS. al-Baqarah [2]: 208)

Oleh sebab itu, Islam mewajibkan negara dalam hal ini khalifah (pemimpin) untuk mengatur urusan rakyat dengan syariat Islam secara sempurna. Adapun Individunya harus memiliki akidah yang kuat dan kokoh agar menjadi takwallah, yakni melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya dengan mengharap rida Allah Swt.

Jadi, kekuasaan dalam Islam adalah amanah yang nantinya dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Oleh karenanya, para sahabat dan penguasa di masa kekhilafahan menangis ketika mendapat amanah. Bagi mereka jabatan bukanlah lambang kemegahan, tetapi tanggung jawab yang harus ditunaikan.

Walhasil, demokrasi adalah sistem kufur karena bertentangan dengan Islam. Oleh sebab itu, mengadopsi sistem demokrasi  adalah haram hukumnya apalagi diterapkan. Hanya sistem Islam yang menyejahterakan rakyat karena berasal dari Zat Yang Maha Sempurna.

Wallahualam bissawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post