Tewasnya Aktivis Kemanusiaan dr.Sunardi Oleh Densus 88 Yang Terduga Teroris


Oleh : Yantie Chempaka

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyebut masyarakat keheranan dengan penetapan Dokter Sunardi sebagai tersangka teroris oleh Densus 88 Anti-teror Polri. Hal tersebut dikarenakan Dokter Sunardi melakukan aktivitas teroris dengan rapi sehingga masyarakat tak melihatnya.

"Terkait dengan keheranan beberapa pihak bahwa tersangka adalah seorang dokter, hal tersebut diduga karena aktivitas jaringan teroris sangat rapi sehingga masyarakat tidak mungkin bisa melihat secara langsung," ujar Komisioner Kompolnas Poengky Indarti saat dihubungi, Minggu (13/3/2022).

Poengky menjelaskan rata-rata pelaku teroris di Indonesia memang sosok yang tak diduga oleh masyarakat. Dia yakin Densus 88 sudah memiliki cukup bukti sebelum melakukan penindakan.

"Kita melihat dari praktik jaringan teroris yang ada di Indonesia memang rata-rata pelakunya tidak diduga masyarakat. Justru ini yang perlu menjadi kewaspadaan masyarakat. Sebelum menjadikan tersangka dan melakukan pengejaran, Densus 88 pasti sudah mendapatkan cukup data," tuturnya (News.detik.com;14/03/2022).

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sukoharjo, Arif Budi Satria mengungkapkan dokter Sunardi yang tewas ditembak dalam operasi penangkapan Densus 88 Anti-teror Polri tidak bisa berjalan dengan normal selama ini.
Sunardi memerlukan alat bantu untuk berjalan akibat cedera kakinya yang dialaminya saat menjadi relawan yang turun membantu korban gempa di Bantul, Yogyakarta pada 2006.

"Baru tadi dapat informasi dari pihak keluarga bahwa beliau tahun 2006 pernah kecelakaan saat membantu korban gempa Bantul," kata Arif kepada wartawan, Jumat (11/3).

Menurutnya, kecelakaan itu membuat kaki Sunardi cedera sehingga harus menggunakan alat bantu berjalan seumur hidupnya.

"Informasi yang saya dapat dari ayah almarhum seperti itu. Jadi beliau kecelakaan terkena becak dan kakinya cedera," ucapnya.

Meskipun demikian, Arif tidak mengetahui secara rinci mengenai bagian kaki mana yang mengalami luka akibat kejadian itu.

Arif lalu menyampaikan bahwa IDI tak akan mencampuri proses hukum yang menjerat Sunardi. Ia menyerahkan permasalahan itu penuh ke aparat penegak hukum.

"Di samping itu, hukum pun juga ada asas praduga tak bersalah, sejauh ini kami dari IDI ya praduga tak bersalah karena kami belum memahami, belum tahu permasalahan apa itu," jelasnya (Cnnindonesia.com;11/03/2022).

Mabes Polri menegaskan bahwa dr Sunardi (54) yang ditembak mati oleh Densus 88 dalam proses penangkapan di Jalan Bekonang-Sukoharjo pada Rabu (9/3) pukul 21.15 WIB itu sudah berstatus tersangka.

"Saya luruskan semua informasinya di sini ya, bahwa SU (dr Sunardi) itu tersangka tindak pidana terorisme, bukan lagi sebagai terduga," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan kepada detikJateng, Jumat (11/3).

Sementara itu, keluarga dokter Sunardi menyatakan mereka belum menerima surat dari polisi tentang status tersangka tersebut.

Endro Sudarsono menegaskan, satu-satunya dokumen yang diterima pihak keluarga terkait tewasnya dr Sunardi adalah sertifikat kematian yang dikeluarkan RS Bhayangkara Semarang.

Meski belum ada pembicaraan resmi dari keluarga dr Sunardi mengenai penunjukan kuasa hukum, tiga advokat senior dari Solo dan Sukoharjo menyatakan siap membantu untuk menempuh jalur hukum atas penembakan yang dilakukan Densus 88.

"Intinya tim sudah siap, tinggal menunggu persetujuan pihak keluarga. Sedangkan langkah hukum yang dipertimbangkan paling tepat ditempuh adalah gugatan tentang perbuatan melawan hukum yang dilakukan kepolisian, dalam hal ini Densus 88," kata Endro, Jumat (11/3).

Sunardi disebut menjadi petinggi kelompok Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI) dan Jemaah Islamiyah (JI).

Merujuk data Polri yang dikeluarkan tahun 2015 berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, HASI maupun JI masuk dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris di Indonesia.

HASI berada pada nomor empat bagian entitas dalam daftar itu. Tertulis bahwa organisasi ini diduga menggunakan kedok sebagai yayasan kemanusiaan padahal dikelola oleh Jamaah Islamiyah.

Pengamat hukum Ahmad Khozinudin mempertanyakan Densus ini aparat penegak hukum atau mesin pembunuh? “Kalau melarikan diri, apakah tidak bisa dilakukan proses penangkapan ulang? Apakah perintah kepada Densus adalah untuk melakukan penangkapan hidup atau mati? Ini pertanyaan besar", tukasnya. 

Ia lantas menyampaikan bahwa tidak boleh mengadili seseorang dengan praduga, dengan narasi terkait JI. “Ini narasi hantu, tidak jelas. Bahkan, produk hukum yang menyatakan JI bermasalah juga tidak ada. Jadi, orang-orang ditangkapi bahkan ditembak mati, hanya cukup dengan narasi terkait JI. Seolah-olah sah ditembak mati dan dianggap teroris,” ucapnya miris.

Bagaimana kalau ternyata dinyatakan JI tidak bermasalah. Artinya, semua penangkapan lainnya bermasalah. Maka, mestinya fokus disidangkan dulu yang ditangkap sebelumnya dan ada vonis pengadilan. Baru lakukan pengembangan. Kecuali, memang benar diketahui seseorang merakit bom, tidak perlu menunggu pengembangan JI,” kupasnya.

Oleh karenanya ia menyarankan kepada Kapolri untuk mengoreksi tindakan-tindakan terhadap isu terorisme ini agar bercorak humanis, bukan barbar seperti ini. “Dari hukum KUHAP, fatal. Apalagi, dari hukum agama. Islam mengajarkan barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya,” tegasnya.

Sistem peradilan dalam Islam diterapkan dengan penuh keadilan tanpa pandang bulu. Segala bentuk tuduhan atau dakwaan perlu mendatangkan saksi dan menempuh proses peradilan sesuai syariat.

Kisah Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam persengketaan baju besi dengan orang Yahudi. Khalifah Ali yang salah satu saksinya tidak bisa diterima karena masih ada hubungan kekerabatan, sementara dalam sistem peradilan Islam mengharuskan adanya dua saksi, maka pembelaannya tidak terbukti. Ketika gagal membuktikan pembelaannya, si Yahudi pun menang dan mendapatkan baju besi tersebut. Oleh karenanya, penerapan hukum saat ini sungguh kontras dibandingkan dengan keadilan dengan sistem peradilan Islam.

Sepanjang sejarah penerapan syariat Islam, tidak ada darah seorang muslim pun tertumpah, melainkan akan diberikan pembelaan yang besar dari umat dan Negara Islam. Rasulullah saw. selaku Imam kaum muslim sekaligus Kepala Negara Islam Madinah telah melindungi setiap tetes darah kaum muslim.

Demikian pula Khulafaurasyidin dan khulafa setelah mereka. Mereka terus melindungi umat dari setiap ancaman dan gangguan. Umat dapat hidup tenang di mana pun mereka berada karena ada yang menjadi pelindung bagi mereka. Sikap ini semata-mata karena ketaatan kepada Allah Taala yang terwujud melalui penerapan syariat Islam.

Dalam Islam, membunuh muslim secara sengaja tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat mendapat ancaman Allah Taala:

(1) Kekal di Neraka Jahanam,

(2) Mendapat murka Allah,

(3) Terlaknat (diusir dari rahmat) Allah, serta

(4) Azab yang sangat besar.

Allah Swt. berfirman dalam QS An-Nisa: [4]: 93),

وَمَنْ يَّقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاۤؤُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَغَضِبَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهٗ وَاَعَدَّ لَهٗ عَذَابًا عَظِيْمًا

“Siapa saja yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, balasannya ialah Neraka Jahanam. Dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, mengutuknya, dan menyediakan baginya azab yang besar.”

Lantas, sampai kapan umat Islam harus berduka dengan penerapan hukum yang semena-mena? Berapa banyak lagi nyawa muslim yang harus melayang jika kita tetap tinggal diam melihat kezaliman nyata di depan mata? Sedangkan sistem kehidupan Islam telah menawarkan keadilan hakiki yang tidak hanya melindungi nyawa, melainkan juga mengundang kemaslahatan Allah.

Wallahu Alam bissawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post