Aturan Permendikbud 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan dan Permendikbudristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Kedua aturan tersebut adalah panduan yang seharusnya bisa menangani kondisi ketimpangan yang terjadi pada generasi hari ini. Tetapi ternyata semua tak cukup untuk mencegah ketimpangan demi ketimpangan yang ada. Pemuda yang menentukan hitam dan putih masa depan sebuah bangsa, telah dilegamkan keberadaannya sejak dini.
Problematika yang terjadi hari ini, tentu hasil dari sistem pendidikan yang mengusung sekularisme, di mana agama tidak dihadirkan menjadi panduan kehidupan. Hasilnya para pemuda hari ini hidup dalam keadaan yang menyedihkan secara mental dan fisik. Bahkan disebut generasi stroberi, hakikatnya tidak kuat saat dihantam hal yang keras, berkiblat pada kehidupan yang bebas, lemah dan layu sebelum berjuang.
Tinggalah anak-anak yang miskin teladan, dibimbing gawai dan media sosial, tak sanggup menangkal agresifnya konten-konten rusak tanpa filter. Lingkungan yang sekuler pun semakin menambah panjang faktor kerusakan, di mana perzinaan, perjudian, hamil di luar nikah, bahkan tawuran warga pun menjadi topik yang seakan-akan sudah lumrah adanya. Ada kata bijak yang bisa kita resapi. “Untuk mendidik satu orang anak butuh satu kampung”. Betapa luar biasanya lingkungan masyarakat, menjadi pengaruh besar bagi kesalehan dan kerusakan para pemuda dan pemudinya.
Fungsi negara dalam sistem Islam, tak hanya cukup mencabut satu ranting masalah saja. Negara sejatinya adalah orang tua bagi para generasi, tentu harus memiliki aturan yang menyeluruh seperti yang Islam ajarkan. Mengatur kurikulum agar dunia pendidikan kondusif dan mengalirkan atmosfer takwa pada setiap individu pendidik ataupun siswa.
Negara menjadi garda terdepan menjaga generasi dari paparan pemahaman sekularisme, pluralisme, dan liberalisme yang dibungkus sistem kapitalisme.
Negara menjadi filtrasi yang kuat dalam memilih serta memilah konten-konten yang ditayangkan oleh televisi ataupun media sosial. Sehingga tidak terjadi krisis moral. Tontonan pornografi, pornoaksi, dan kekerasan tidak dikonsumsi oleh para pemuda dan pemudi. Negara pun harus mengatur kondusivitas masyarakat sehingga ruh yang terlahir di setiap interaksi adalah amar makrur nahi mungkar.
Basis pendidikan Islam adalah akidah yang bisa mengalirkan kepribadian islami, pola pikir dan pola sikapnya yang islami akan memancarkan jiwa dan langkah takwa sepanjang masa. Negara wajib memberikan fasilitas pendidikan yang memadai, kurikulum yang dibentuk bukan menciptakan ladang mengeruk materi rakyat, tetapi benar-benar mencerdaskan generasi dan naungan Islam. Bukankah untuk mengetahui esensi dan hakikat umat, hal yang perlu ditanyakan bukan seberapa banyaknya simpanan harta dan emas, tetapi hal yang harus diperhatikan adalah kualitas kaum mudanya?
Keresahan dan kegalauan pemuda hari ini berbanding lurus dengan penyimpangan-penyimpangan syariat yang dilakukan masyarakat karena diakomodir oleh sistem kapitalisme di negeri tempatnya berpijak.
Sudah sepatutnya, kerusakan generasi hari ini menjadi bahan koreksi totalitas bagi negara, masyarakat, dan keluarga. Ketidakberadaan pendidikan yang berbasis akidah, sudah mencerabut mental kaum muda menjadi tidak bermoral, rapuh dari akar, sehingga tidak sanggup tumbuh menjadi generasi cerdas. Hendaknya kegemilangan pendidikan Islam bukan sekadar menjadi bahan reminisensi, tetapi pijakan utama untuk mengubah haluan kaum muda masa kini menjadi pribadi yang unggul dan islami.
Wallahu a’lam bishshawab.
Post a Comment