Oleh Yusseva, S.Farm
Dalam pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang disampaikan di pembukaan Rapat Pimpinan TNI-Polri yang digelar hybrid pada Selasa (1/3) meminta TNI dan Polri untuk lebih berbenah terkait kedisiplinan nasional para prajurit yang berada di bawah jajarannya. Pada kesempatan itu, dia juga mengingatkan agar TNI-Polri untuk tidak ikut-ikutan dalam urusan demokrasi. Dia mengaku masih menemukan prajurit TNI-Polri yang berbeda sikap dengan kebijakan pemerintah, khususnya terhadap rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) baru di Nusantara, Kalimantan Timur. (cnnindonesia.com)
Cara Presiden Jokowi menyidir TNI dan Polri di hadapan publik semakin mengukuhkan bahwa proyek IKN memang patut dipertanyakan. Hal ini juga menandakan bahwasanya rencana pemindahan IKN memang belum sepenuhnya solid di masyarakat. Baik itu di ranah sipil, politik, dan kalangan militer.
Lebih dari itu, apa yang dilakukan Presiden Jokowi tersebut sebagai bentuk kekhawatiran dan ketakutan dari pemerintah bahwasanya mega proyek ini dapat gagal karena mendapat banyak pertentangan di masyarakat.
Takut IKN gagal, Presiden Jokowi meminta para pimpinan untuk turut mengawasi atau memantau percakapan di grup WhatsApp, dan memperingatkan pada istri TNI-Polri agar tak undang penceramah radikal atas nama demokrasi. Mantan Wali Kota Solo itu mengatakan pemanggilan penceramah untuk istri TNI-Polri maupun keluarga mereka bisa dikoordinasikan. Tujuannya, untuk meminimalisir penyebaran paham radikal.
Radikal versus Moderat
Narasi radikal dan moderat merupakan propaganda menyerang Islam. Barat melalui berbagai corong media mereka tengah gencar menebarkan postulat ini sebagai strategi adu domba sesama Muslim. Baik Islam radikal maupun Islam moderat keduanya adalah istilah yang diproklamirkan Barat untuk menyerang Islam.
Islam moderat beberapa waktu yang lalu menjelma menjadi Islam nusantara yang sempat menyulut polemik. Pengikut Islam moderat mengklaim dirinya sebagai penebar Islam washatiyah. Padahal secara epistemologis, istilah washatiyah tidaklah sama dengan kata moderat. Islam moderat justru lebih banyak mempropagandakan nilai-nilai Barat dibandingkan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri.
Ironisnya, proxy war Barat dengan langkah hegemoni wacana yang jelas-jelas menyerang Islam justru diamini oleh negara-negara Muslim di dunia, termasuk di Indonesia. Ini karena Indonesia menerapkan ideologi kapitalisme sekuler yang secara diametral bertentangan dengan ideologi Islam.
Menjegal Ustadz Radikal
Merespons pernyataan Jokowi, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakhid, mengatakan setidaknya ada lima indikator penceramah radikal.
Pertama, mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila dan pro ideologi khilafah transnasional.
Kedua, mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama.
Ketiga, menanamkan sikap antipemimpin atau pemerintahan yang sah, dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian (hate speech), dan sebaran hoaks.
Keempat, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas).
Kelima, biasanya memiliki pandangan antibudaya ataupun antikearifaan lokal keagamaan. (Liputan6.com)
Beberapa hari ini, di media sosial, beredar daftar nama ustaz yang terkategori radikal, meski sumbernya masih harus dipastikan. Anehnya, ustaz-ustaz yang dituding radikal itu justru merupakan deretan ustaz favorit umat. Misalnya saja ustaz Felix Siauw yang banyak diikuti anak muda, juga Ustaz Abdul Somad yang digemari umat.
Jangan Berhenti Menyerukan Islam Kafah
Sederet nama ustaz yang dikantongi BNPT adalah ustaz-ustaz yang sangat getol menentang kezaliman dan menyerukan Islam kafah. Mengapa rezim tak habis-habisnya menggoreng isu radikalisme seolah menjadi persoalan utama umat. Bahkan lebih penting dari kisruh minyak goreng yang mahal dan langka, korupsi yang merajalela, elpiji yang harganya “rasa sultan”, tahu tempe yang sempat hilang di pasaran, wabah yang tidak kunjung sirna, ekonomi yang masih seret, JHT yang ditahan, gaduh soal azan diserupakan gonggongan anjing, dan aneka persoalan negara yang tidak kunjung mendapatkan solusi.
Sesungguhnya isu radikalisme bukanlah persoalan utama rakyat, melainkan isu pesanan dari negara-negara Barat (Amerika dan teman-temannya) atas nama dunia internasional untuk menjauhkan umat Islam dari agama dan ideologinya.
Dengan melarang rakyat dan aparat (TNI dan Polri) untuk mengundang dan mendengarkan tausiah para ustadz tersebut, penguasa berharap tidak ada lagi yang akan membedah kezaliman penguasa dan sistem kapitalisme yang mereka terapkan, sekaligus memberi solusi Islam terhadapnya.
Cara ini persis yang ditempuh kaum Quraisy di Makkah ketika menghalangi dakwah Rasulullah saw. Mereka melarang orang-orang mendengarkan dakwah Rasulullah saw. dan mengembuskan isu bahwa beliau adalah penyihir melalui lisannya.
Post a Comment