Yaqut Cholil Qoumas selaku Menteri Agama (Menag) sudah mencetuskan Surat Edaran (SE) No 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid Dan Mushola.
Dalam edaran ini, dirinya turut mengatur durasi penggunaan pengeras suara masjid atau mushola pada tanggal 1 syawal/10 Zulhijjah dengan menggunakan pengeras suara luar sampai dengan pukul 22.00 waktu setempat. Usai jam 22.00, masjid dan mushola bisa melanjutkannya dengan pengeras suara dalam.
Lalu, dalam edaran ini juga sudah mengatur upacara peringatan Hari Besar Islam atau pengajian menggunakan suara bagian dalam.
Kecuali apabila pengunjung tablig melimpah ke luar arena masjid atau mushola bisa menggunakan pengeras suara bagian luar (Suara.com; 28/02/2022).
Ketua Komisi VIII DPR RI, Yandri Susanto, menanggapi Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala yang dikeluarkan Menteri Agama (Menag). Menurutnya pengaturan tersebut tak bisa digeneralisasi diterapkan di seluruh daerah.
"Memang saya mengkritik juga, surat edaran itu tidak bisa digeneralisir, tidak bisa diberlakukan dari Sabang sampai Merauke. Ada daerah-daerah tertentu memang suara adzan itu nggak bisa diatur-atur, atau bahkan di Sumatera itu kan rumahnya jauh-jauh, kalau cuma 100 dB (desibel) enggak akan kedengaran," kata Yandri, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (25/2).
Dia juga mengingatkan agar jangan sampai surat edaran tersebut memunculkan konflik horizontal. Karena itu dirinya meminta agar Kementerian Agama mengevaluasi agar tidak menggeneralisasi aturan tersebut.
"Jangan digeneralisir semua persoalan dan saya meyakini ini tidak bisa dilakukan secara keseluruhan. Misalnya di Sumbar, Aceh di kantong-kantong pondok pesantren, itu sudah menjadi budaya, sudah menjadi kearifan lokal. Tapi misalnya di Bali, di Sulut, di NTT di Papua, itu sudah bagus kok toleransinya," ujarnya (Republika.co.id; 25/02/2022).
Menteri agama mengatur volume suara untuk mesjid yang dipasang, agar terdengar ke rumah-rumah, jangan lebih dari 100 db (100 desibel). Yang dibolehkan keluar melalui mesjid juga dibatasi hanya adzan, iqomah, dan membaca ayat quran sebelum adzan, paling lama 5-10 menit saja.
Sesaat setelah peraturan Menag tersebut dikeluarkan, beberapa pihak dari kalangan tokoh agama dan tokoh masyarakat menentang peraturan itu. Mereka menganggap bahwa tidak ada dasar yang jelas atas peraturan toa masjid tersebut. Apalagi selama ini warga Indonesia tetap hidup berdampingan meskipun berbeda keyakinan.
Umat yang pro menganggap tidak ada perlu dipermasalahkan. Tetapi, umat yang kontra, menganggap SE (Surat Edaran) membatasi kebebasan penggunaan pengeras suara di masjid atau di musala.
Mengeneralisasikan penggunaan toa untuk azan di masjid dan mushalla/surau menggangu pemeluk agama lain dan mengatasnamakan toleransi adalah keliru dan berlebihan. Seharusnya, tidak boleh seorangpun yang merasa terganggu dengan suara azan, apalagi melarangnya. Karena, azan adalah syariat dan syi’ar Islam yang harus dihormati oleh pemeluk agama lain, terutama muslim itu sendiri.
Sebagaimana selama ini umat Islam menghormati ajaran agama lain seperti bunyi lonceng gereja sebagai panggilan syiar ibadah umat Kristen dan asap pembakaran dupa sebagai syiar ibadah umat hindu. Inilah toleransi yang benar.
Pernyataan Menag ini menunjukkan sifat dan sikapnya yang islamophobia, karena hanya ditujukan khusus untuk umat Islam, sedangkan penggunaan pengeras suara untuk keperluan lainnya, semisal konser musik, pentas seni, pertandingan olah raga, pesta perkawinan dan lainnya yang sering kali lebih keras dibanding suara azan, tidak ditertibkan.
Sangat disayangkan, ada orang yang menganggap dirinya paling toleran dan suka menuduh radikal orang lain, namun pernyataannya ini mencerminkan sikap intoleransi dan radikalisme.
Dengan beragam alasan yg dibuat-buat, regulasi pemerintah makin memojokkan Umat Islam dan menghambat Syiar Islam.
Ulama nasional K.H. Rokhmat S. Menilai peristiwa ini makin menegaskan Indonesia adalah negara sekuler. “Memisahkan agama dari kehidupan dan memisahkan agama dari negara. Salah satu wujudnya adalah pluralitas, wajib menyamakan kedudukan semua agama secara sama rata, tidak boleh ada yang menonjol. Bahkan, meski jumlahnya mayoritas,” urainya.
Selain itu peraturan perundang-undangannya tidak pernah didasarkan kepada Syariat Islam, bahkan untuk mengatur perkara ibadah.
Menegaskan bahwa dalam rezim demokrasi, islam menjadi sasaran untuk dikerdilkan dan Umat Islam diperlakukan sebagai obyek yg dianggap pencetus intoleransi dan gagal membangun harmoni.
Anehnya, ini terjadi di negeri yang penduduknya mayoritas muslim. toleransi dalam Islam konsepnya sudah jelas yakni dengan memberikan kebebasan masing-masing agama untuk menjalankan ajaran mereka. Demikian pula Umat Islam bebas menjalankan syariat mereka.
Umat dengan jumlah mayoritas tidak berkutik saat syariat mereka satu per satu diusik. Ide toleransi sejatinya bukan sekadar istilah. Dalam perkembangannya, ide ini menjadi senjata politik untuk membungkam sikap kritis umat Islam juga mengaburkan Islam Kaffah.
Kondisi inilah yang Rasulullah SAW. gambarkan dalam salah satu hadisnya. Beliau bersabda, ”
الَ لُ اللَّهِ لَّى اللهُ لَيْهِ لَّمَ: الْأُمَمُ اعَى لَيْكُمْ ا اعَى الْأَكَلَةُ لَى ا، الَ ائِلٌ: وَمِنْ لَّةٍ يَوْمَئِذٍ؟ الَ: لْ لَكِنَّكُمْ اءٌ اءِ السَّيْلِ، لَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ الْمَهَابَةَ لَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ لُوبِكُمُ الْوَهْنَ، الَ ائِلٌ: ا لَ اللَّهِ، ا ا ا الَ: الدُّنْيَا، اهِيَةُ الْمَوْتِ
"Berbagai bangsa nyaris saling memanggil untuk melawan kalian sebagaimana orang-orang saling memanggil untuk menyantap hidangan mereka". Salah seorang bertanya, "Apakah karena kami ketika itu sedikit"? Rasul menjawab, "Bahkan kalian pada hari itu banyak. Akan tetapi, kalian laksana buih di lautan. Sungguh Allah mencabut ketakutan dan kegentaran terhadap kalian dari dada musuh-musuh kalian. Allah pun menanamkan di hati kalian al-wahn". Salah seorang bertanya, "Apakah al-wahn itu, ya Rasulullah"?Beliau menjawab, "Cinta dunia dan benci kematian". (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Apa yang Umat Islam hadapi saat ini adalah petaka yang terjadi bukan karena sedikitnya jumlah kaum muslim. Bahkan sebaliknya, jumlah kaum muslim banyak, tetapi tidak berbobot, lemah dan tidak terjalin dalam ikatan yang kuat sehingga mudah tercerai berai.
Hal ini bukan semata aspek perang pemikiran yang Barat lancarkan pada kaum muslim, tetapi juga sistem hidup yang menjauhkan umat dari syariat Allah. Sistem sekuler telah membuat umat ini mudah menggadaikan akhirat hanya untuk nikmat dunia yang sesaat.
Jabatan dunia telah mengikis militansi generasi Umat Islam. Mereka yang seharusnya bersuara lantang membela Islam mendadak sumbang karena jabatan. Inilah sejatinya kekuasaan yang menyandera itu. Kita layak bertanya kepada para pejabat yang notabene generasi muslim, gerangan apa yang membuat mereka begitu fobia terhadap syariat mereka sendiri? Jika hanya karena takhta, sesungguhnya tahta itu dipergilirkan, bukan sesuatu yang abadi.
Kriminalisasi terhadap ajaran Islam dilakukan, hingga membuat seorang muslim fobia terhadap agamanya sendiri, kehormatan muslim dan kemuliaan ajaran Islam akan terus diinjak-diinjak oleh makar jahat musuh-musuh Islam, selama tak ada yang mempersatukan kekuatan umat.
Pada masa kepemimpinan Islam, kumandang azan tidak pernah dipermasalahkan. Kaum muslim dan nonmuslim pun hidup tenang secara berdampingan. Lantas, mengapa sekarang menjadi hal besar yang patut yang dipersoalkan?
Benarkah ini menunjukkan kepada kita terkait hadis Rasulullah saw?
سيَأتي علَى النَّاسِ سنواتٌ خدَّاعاتُ يصدَّقُ فيها الكاذِبُ ويُكَذَّبُ فيها الصَّادِقُ ويُؤتَمنُ فيها الخائنُ ويُخوَّنُ فيها الأمينُ وينطِقُ فيها الرُّوَيْبضةُ قيلَ وما الرُّوَيْبضةُ قالَ الرَّجلُ التَّافِهُ في أمرِ العامَّةِ
“Akan datang tahun-tahun penuh dengan kedustaan yang menimpa manusia, pendusta dipercaya, orang yang jujur didustakan, amanat diberikan kepada pengkhianat, orang yang jujur dikhianati, dan ruwaibidhah turut bicara.” Lalu beliau ditanya, ‘Apakah al-ruwaibidhahitu?’ Beliau menjawab, ‘Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan perkara umum.’” (HR Ahmad).
Hadis di atas menjadi peringatan bagi kita tentang bahaya dan dampak ketika berbicara tanpa landasan ilmu. Hendaknya umat Islam memilih pemimpin yang memiliki kualifikasi dan kemampuan, baik ilmu, amanah, dan kejujuran, di samping pertimbangan lainnya. Namun, pemimpin yang demikian hanya kita dapatkan jika sistem Islam tegak. Mustahil lahir pemimpin yang amanah dan bertakwa dari sistem yang mencampakkan aturan Islam.
Semoga Allah selalu mengarahkan kita pada jalan kebenaran, meskipun saat ini kita berhadapan dengan orang-orang yang membelokkan jalan kita dari kebenaran. Wallahualam bissawab.
Post a Comment