Suara Azan Dibatasi, Syiar Islam Dikebiri


Oleh: Nelliya Azzaha
 (penulis)

Azan pertama kali dikumandangkan oleh sahabat Rasulullah Saw. yaitu Bilal bin Rabbah pada tahun pertama Hijriyah. Sebelum ada azan, kaum muslimim yang baru tiba di Madinah menunggu-nunggu waktu salat tanpa seorang pun dari mereka yang mengetahui kapan waktu salat tiba. Hingga muncul ide untuk membuat sebuah simbol untuk digunakan sebagai penanda waktu salat.

Sahabat Umar Bin Khattab memberi usul bagaimana jika ada seseorang yang bertugas memanggil orang-orang salat. Usul itu pun disetujui oleh Rasulullah Saw. 

Saat ini suara azan dipermasalahkan. Sampai-sampai Menag Yaqut Cholil Qoumas mengeluarkan surat edaran nomor 5 tahun 2022 yang berisi pengaturan suara azan. Dalam point 3. b Surat Edaran (se) Menag menyatakan bahwa penggunaan azan menggunakan toa diatur volumenya sesuai kebutuhan dan maksimal 100 desibel. 
Pengaturan suara azan ini jelas tidak bisa dibenarkan. Azan bukan hanya penanda waktu salat, tetapi azan merupakan bagian dari syiar Islam. 
Panggilan sakral mengajak kaum muslimin beribadah kepada Rabb-Nya. 

Rasulullah saw berikut:

“Seandainya orang-orang mengetahui besarnya pahala yang didapatkan dalam adzan dan shaf pertama kemudian mereka tidak dapat memperolehnya kecuali dengan undian niscaya mereka rela berundi untuk mendapatkannya…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kebijakan ini tentu saja memicu perdebatan dan kegalauan umat Islam. 
Seharusnya negara ini tidak perlu mempermasalahkannya karena waktu azan dan salat hanya sebentar. Senada dengan apa yang disampaikan Ketua Komisi VIII DPR, Yandri Susanto. Beliau mengatakan pengaturan suara adzan tidak bisa digeneralisasi. Senada dengan apa yang disampaikan Ketua Komisi VIII DPR RI, Yandri Susanto, menanggapi Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala yang dikeluarkan Menteri Agama (Menag). Menurutnya pengaturan tersebut tak bisa digeneralisasi diterapkan di seluruh daerah.

"Memang saya mengkritik juga, surat edaran itu tidak bisa digeneralisir, tidak bisa dia diperlakukan dari Sabang sampai Merauke. Ada daerah-daerah tertentu memang suara adzan itu nggak bisa diatur-atur, atau bahkan di Sumatera itu kan rumahnya jauh-jauh, kalau cuma 100 dB (desibel) enggak akan kedengaran," kata Yandri, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Dilansir oleh Republika. co.id. Jumat (25/2/2022).

Apa yang saat ini dilakukan oleh rezim semakin menunjukkan wajah rezim hari ini. Fhobia terhadap Islam sampai simbol dan syiarnya pun dikebiri. Bahkan Menag menyamakan suara azan dengan gonggongan anjing. Tentu saja ini melukai dan memancing amarah umat muslim.

Mengapa negara getol sekali mengulik ibadah umat Islam. Apakah azan menganggu sampai-sampai harus diatur. Seakan azan adalah sebuah kebisingan yang sangat mengganggu dan menghilangkan keharmonisan dalam keberagaman.
Alih-alih meriayah rakyat dengan baik, malah membuat kebijakan yang seharusnya tak perlu dilakukan.

Inilah ironi sistem demokrasi-kapitalisme. Kebebasan beragama digembor gemborkan, tapi pada faktanya terjadi penjegalan. Sistem yang tidak berasal dari Allah sudah jelas kelemahan serta keterbatasannya maka tak pantas dilanjutkan. Sudah saatnya kita beralih pada sistem Islam. Sistem yang menjaga akidah umat Islam. 

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post