Masalah kelangkaan minyak goreng di negeri ini semakin parah terjadi, Bahkan minyak goreng dipatok dengan harga eceran tertinggi. Namun di tengah kondisi tersebut pemerintah menetapkan kebijakan satu harga untuk minyak goreng yakni sebesar Rp 14.000 per liter.
Menurut Ekonom dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Hidayatullah Muttaqin menyampaikan bahwa usaha pemerintah menstabilkan harga minyak goreng melalui penetapan HET minyak goreng curah Rp 11.500, kemasan sederhana Rp 13.500, dan kemasan premium Rp 14.000 per liter belum membuahkan hasil. Pasalnya di tengah penetapan satu harga minyak goreng ini terjadi kelangkaan.
Rakyat rela mengantri berjam-jam demi mendapatkan 1-2 liter minyak goreng. Bahkan seorang ibu di Kabupaten Berau Kalimantan Timur meninggal dunia pada Sabtu, 12 Maret 2022 saat mengantri minyak goreng.
Ratusan pedagang kaki lima (PKL) dari sejumlah wilayah di Mataram, Lombok Tengah, dan Lombok Barat menggelar aksi unjuk rasa ke DPRD NTB di jalan Udayana, Kota Mataram (Jum'at 11/03/22). Unjuk rasa tersebut memprotes sikap DPRD NTB yang sibuk berpolitik dan mengurusi kepentingan sendiri untuk bagi-bagi kekuasaan saat minyak goreng langka.Rakyat rela mengantri berjam-jam demi mendapatkan 1-2 liter minyak goreng. Bahkan seorang ibu di Kabupaten Berau Kalimantan Timur meninggal dunia pada Sabtu, 12 Maret 2022 saat mengantri minyak goreng.
Ratusan pedagang kaki lima (PKL) dari sejumlah wilayah di Mataram, Lombok Tengah, dan Lombok Barat menggelar aksi unjuk rasa ke DPRD NTB di jalan Udayana, Kota Mataram (Jum'at 11/03/22). Unjuk rasa tersebut memprotes sikap DPRD NTB yang sibuk berpolitik dan mengurusi kepentingan sendiri untuk bagi-bagi kekuasaan saat minyak goreng langka.
Inilah gambaran watak rezim neoliberal dan politisi sekuler dalam sistem pemerintahan demokrasi. Saat rakyat bertaruh nyawa untuk memenuhi kebutuhan pangan. Penguasanya sibuk mengamankan kursi kekuasaan bahkan memanfaatkan kondisi terpuruknya rakyat demi kepentingan politik. Tak heran jika kelangkaan dan mahalnya minyak goreng terjadi di negeri produsen minyak sawit terbesar di dunia.
Namun, jika menelusuri konsep pemerintahan demokrasi bukan hal yang tabu, sebab asas politik dalam demokrasi adalah manfaat dan kepentingan karena itu di mana ada kepentingan, di situ ada partai mengharap keuntungan. Sementara rakyat dibutuhkan saat kompetisi pemilu selebihnya peran dan suara rakyat diabaikan. Sistem demokrasi hanya menghasilkan pemimpin tidak amanah dan aktivitasnya jauh dari mengurusi kepentingan umat, namun dekat dengan mengurusi kepentingan pemilik modal. Sejatinya persoalan-persoalan ekonomi termasuk melonjaknya harga minyak goreng bisa terjadi tidak lepas dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme saat ini. Kapitalisme telah membuka celah yang lebar kepada para pemilik modal untuk menguasai sumber kekayaan negara, termasuk hajat kebutuhan pokok rakyat. Lalu ke Manakah Peran Negara?
Sebab negara diusung oleh sistem sekuler kapitalisme, yang tak mengindahkan aturan agama dan menjadikan materi sebagai standar ukur. Membuat negara seolah nampak tak peduli bahkan menutup mata dari penderitaan rakyat.
Negara hanya berfungsi sebagai regulator (penyedia layanan) bagi para korporat (pemilik modal) untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari hak yang seharusnya diberikan kepada rakyat. Ibarat tidak ada makan siang gratis. Dikarenakan negara memberikan jalan, maka tentu para pemangku kekuasaan tidak akan lepas pula dari cipratan keuntungan yang didapatkan oleh para korporat tersebut.
Saatnya Kembali kepada Solusi Paripurna
Sepanjang sejarah, dapat kita temukan, satu-satunya peradaban yang mampu bertahan dalam rentan waktu yang sangat panjang dan melakukan pengurusan rakyat paling maksimal hanyalah ketika Islam masih menjadi sistem kehidupan yang terterapkan dalam lingkup negara yang disebut Daulah Khilafah.
Kegemilangan yang terjadi di masa peradaban Islam, tidak lepas dari kesadaran para khalifah (pemimpin) akan perannya sebagai pelayan dan pengurus rakyat. Rasulullah SAW bersabda: "Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus." (HR. al-Bukhori dan Muslim).
Dengan kesadaran tersebut meniscayakan lahirnya sifat amanah dalam diri para khalifah untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan tuntunan Islam yang telah disyariatkan.
Misalnya saja dalam aturan distribusi barang di pasaran, negara tidak akan mematok harga sebab Rasulullah SAW melarang hal tersebut, sebagaimana dalam sabdanya: "Allahlah yang Zat maha mencipta, menggenggam, melapangkan rezeki, memberi rezeki, dan mematok harga." [HR. Ahmad dari Anas].
Harga barang dan jasa akan dibiarkan mengikuti mekanisme pasar sesuai hukum penawaran dan permintaan, dengan ini persaingan dalam muamalah akan berjalan secara alamiah dan menjadikan harga tetap stabil dan terjangkau.
Jika tengah terjadi peningkatan harga barang sekalipun, dikarenakan jumlah penawaran yang kurang, sementara permintaan besar. Maka negara tak akan berlepas tangan dan membiarkan para produsen mempermainkan harga, tetapi negara akan menambah penawaran barang agar ketersediaan barang dapat tetap stabil.
Hal ini pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Ketika wilayah Syam mengalami krisis, khalifah Umar kemudian menyuplai kebutuhan warga Syam akan barang tersebut dari kota Irak.
Di samping itu, dalam sistem ekonomi Islam terdapat tiga pilar kepemilikan yang terdiri dari kepemilikan individu, negara, maupun umum. Dengan mekanisme seperti ini, celah para asing maupun swasta untuk menguasai kekayaan negara Islam yang merupakan milik umum akan ditutup serapat-rapatnya dan di dukung oleh sistem hukum yang tegas.
Wallahu a'lam bishshawab
Post a Comment