POLEMIK MINYAK GORENG BUKTI KESALAHAN SISTEM

By : Ummu Nahla Tanjung

Fenomena kelangkaan minyak goreng di negeri ini semakin parah mulai akhir tahun 2021. Bahkan minyak goreng dipatok dengan harga eceran tertinggi. Namun di tengah kondisi tersebut pemerintah menetapkan kebijakan satu harga untuk minyak goreng yakni sebesar Rp 14.000 per liter.

Menurut Ekonom dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Hidayatullah Muttaqin menyampaikan bahwa usaha pemerintah menstabilkan harga minyak goreng melalui penetapan HET minyak goreng curah Rp 11.500, kemasan sederhana Rp 13.500, dan kemasan premium Rp 14.000 per liter belum membuahkan hasil. Pasalnya di tengah penetapan satu harga minyak goreng ini terjadi kelangkaan. 

Rakyat rela mengantri berjam-jam demi mendapatkan 1-2 liter minyak goreng. Bahkan seorang ibu di Kabupaten Berau Kalimantan Timur meninggal dunia pada Sabtu, 12 Maret 2022 saat mengantri minyak goreng.

Ratusan pedagang kaki lima (PKL) dari sejumlah wilayah di Mataram, Lombok Tengah, dan Lombok Barat menggelar aksi unjuk rasa ke DPRD NTB di jalan Udayana, Kota Mataram (Jum'at 11/03/22). Unjuk rasa tersebut memprotes sikap DPRD NTB yang sibuk berpolitik dan mengurusi kepentingan sendiri untuk bagi-bagi kekuasaan saat minyak goreng langka.

Di tengah kelangkaan minyak goreng yang terjadi, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru penghapusan HET minyak goreng kemasan. Airlangga Hartarto Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian menyatakan, harga minyak goreng kemasan tidak akan lagi diatur pemerintah seperti sebelumnya, melainkan akan menyesuaikan dengan harga keekonomian (Republika.co.id, 16/3/2022).

Pemerintah mengharapkan, dengan harga yang disesuaikan dengan nilai keekonomian, minyak goreng di pasar tradisional maupun modern dapat tersedia. Arief Prasetyo Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) meyakini dalam seminggu ke depan ketersediaan minyak goreng di pasaran akan kembali normal. Ia memprediksi harga minyak goreng setelah pemerintah mencabut HET akan berada di kisaran RP23.000 hingga Rp24.000 per liter (Bisnis.com, 16/3/2022).
 Dilansir dari laman Bisnis.com (22/2/2022), komisi Pengawas Persaingan Usaha (KKPU) mendalami indikasi kartel dalam dugaan penimbunan minyak goreng di Deli Serdang, Sumatera Utara. Sebelumnya, Satgas Pangan Sumut yang terdiri dari tim Polda Sumut,Biro Perekonomian Setdaprov Sumut dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumut, Jumat (18/2/2022) menemukan 1,1 juta kilogram minyak goreng berada di salah satu gudang di kawasan Deliserdang.

Belakangan diketahui, pemilik dari timbunan minyak goreng yang siap edar ini adalah anak perusahaan PT Indofood Sukes Makmur Tbk., PT Salim Invomas Pratama Tbk. (SIMP) memberi klarifikasi soal temuan sekitar 1,1 juta kilogram minyak goreng di gudang produsen di Deli Serdang, Sumatera Utara. Menurut manajemen SIMP, mereka memprioritaskan pemenuhan kebutuhan minyak goreng untuk pabrik mie instan grup perusahaan tersebut.

“Dugaan penimbunan minyak goreng merupakan ranah hukum pihak kepolisian. Tapi KPPU menjadikan kasus itu sebagai salah satu bahan untuk mendalami adanya kemungkinan kartel di perdagangan komoditas itu,” ujar kepala KPPU wilayah I Ridho Pamungkas di Medan,dikutip dari tempo.com Minggu(20/2/2022).

Apa itu kartel? Kartel adalah suatu hubungan adanya kerjasama anatara beberapa kelompok produsen atau perusahaan dalam hal melakukan produksi barang serta memasarkannya yang bertujuan menetapkan harga untuk membatasi suplai dan kompetisi. Oleh karena itu praktik kartel dilarang di Indonesia karena bisa mengakibatkan ketimpangan ekonomi di seluruh kehidupan masyarakat. 

Sedangkan dugaan adanya penimbunan minyak goreng memang sangat lumrah menjadi salah satu penyebab kelangkaan dan mahalnya minyak goreng. Banyak ditemukan bukti penimbunan minyak goreng, selayaknya hal ini segera ditindak tegas, meskipun terdapat dalih bahwa pemicu penimbunan karena adanya kebijakan pemerintah yang menetapkan Program Minyak Goreng Satu Harga dan penerapan kebijakan Domestic Price Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO). Sehingga para pelaku usaha yang menggunakan minyak goreng sebagai bahan baku tak ingin menaati kebijakan tersebut.

Amburadulnya harga minyak goreng yang disebabkan berbagai faktor menunjukkan betapa buruknya tata kelola komoditas minyak goreng di negeri ini. Pemerintah sendiri mengakui bahwa terdapat kesalahan penetapan kebijakan yang menyebabkan harga minyak goreng
tak terkendali. Megingat selama ini harga minyak goreng dalam negeri sangat bergantung pada harga CPO Internasional sehingga ketika CPO naik maka harga minyak goreng dalam negeri pun ikut naik.

Tata kelola minyak goreng di negeri ini memang cukup rumit, terutama tentang pendistribusian. Sudah menjadi rahasia umum bahwa distribusi minyak goreng di negeri ini hanya akan dikuasai oleh pemilik modal besar.

Miris, masalah minyak goreng di negeri ini tidak kunjung selesai. Setelah berbagai kebijakan digulirkan, tidak satu pun yang bisa memberi jalan keluar. Dan kini, kebijakan yang keluar semakin membuat rakyat harus menelan “pil pahit” yang dibuat oleh penguasa.

Kehidupan rakyat kecil yang sudah terhimpit, kini dibuat semakin tercekik. Beban hidup rakyat yang semakin berat semakin bertambah sekarat. Bagaimana tidak, setelah terjadi kelangkaan, kini minyak goreng muncul dengan harga yang melambung bersamaan dengan kebutuhan pokok yang lainnya.

Negara Tidak Berdaya

Minyak goreng, seakan menjadi primadona sejak mengalami kenaikan pada bulan September 2021. Setiap hari menjadi tranding di berbagai laman media, baik dalam bentuk protes, keprihatinan, sampai kritikan kepada para pemangku kebijakan.

Namun, sekali lagi pemerintah tetap tidak mampu untuk mengembalikan harga minyak goreng kepada harga semula. Yang ada, kebijakan yang dibuat semakin membuat minyak goreng langka dan naik harganya.

Hal ini jelas membuat masyarakat bertanya-tanya, Indonesia salah satu negara penghasil sawit terbesar di dunia, namun terjadi kelangkaan minyak goreng. Walaupun akhirnya setelah HET dicabut, minyak goreng tersedia namun dengan harga yang melejit.
Pemerintah seakan tidak berdaya untuk sekadar memenuhi kebutuhan minyak goreng murah untuk rakyatnya. Terbukti rakyat dibuat sengsara dengan kebijakan-kebijakan yang sudah berkali-kali dicoba. 

Para pengusaha perkebunan sawit dan pelaku bisnis minyak goreng yang menguasai sektor hulu hingga ke hilir, telah sukses membuat pemerintah tidak berdaya untuk membuat kebijakan yang berpihak kepada rakyatnya.

Padahal menurut data terpercaya, produksi CPO Indonesia di tahun 2021 mencapai 46,88 juta ton. Sementara, konsumsi minyak sawit untuk kebutuhan rumah tangga, dalam negeri di tahun 2021 mencapai 18,42 juta ton saja. Pertanyaannya, ke mana larinya selisih CPO tersebut? 

Beberapa ahli menyampaikan analisanya, mengenai selisih produksi dan konsumsi CPO tersebut adalah akibat pergeseran dalam konsumsi CPO di dalam negeri. Sebelumnya, penggunaan CPO sangat dominan untuk industri pangan, termasuk minyak goreng. Namun, setelah pemerintah mencanangkan megaproyek solarisasi sawit (mencampur solar dengan minyak sawit), maka produksi CPO menjadi terbagi.

Para pengusaha lebih cenderung menyalurkan CPO-nya ke pabrik biodesel, karena pemerintah memberi jaminan kepada mereka dengan kucuran subsidi, jika harga yang ditentukan lebih rendah dari harga internasional. Sehingga terjadilah dilema antara CPO untuk pangan (minyak goreng) dan CPO untuk energi. Karena pemerintah juga lah yang menerapkan kebijakan mandatori biodiesel, maka alokasi CPO untuk campuran solar mengalami kenaikan.

Alhasil, kenaikan harga minyak goreng dan masalah yang timbul hingga saat ini adalah akibat dari peraturan pemerintah sendiri, yang mengeluarkan kebijakan tersebut. Pengusaha jelas memilih menjual CPO kepada industri yang berani memberi harga tinggi, sesuai dengan harga internasional. Karena inilah perspektif bisnis ala korporasi.

Ketidakberesan tata kelola minyak goreng sebenarnya diakibatkan oleh penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang dianut negeri ini. Sistem kapitalisme memberi peluang para pengusaha atau kapitalis dalam menentukan kebijakan yang mana kebijakan tersebut disesuaikan dengan kepentingan kapitalis. Adapun para penguasa faktanya telah terbeli oleh para kapital demi mempertahankan kekuasaan mereka. Walhasil, kolaborasi penguasa dan pengusaha tumbuh subur di alam kapitalisme.

Ini adalah konsekuensi logis yang harus diterima, selama suatu negara tetap terus menerapkan sistem kapitalisme sekuler dalam mengatur ekonomi dan pemerintahannya. Para korporasi bebas mendapatkan untung yang sebesar-besarnya, karena kebebasannya dalam memiliki sesuatu. Parahnya, negara seakan tidak berdaya untuk mengaturnya, tersebab negara hanya sebagai regulator pembuat undang-undang yang menguntungkan pihak korporasi. Sementara rakyat harus rela antre bahkan sampai ada yang mati demi mendapatkan seliter minyak goreng.

Selama negeri ini masih dikelola dengan sistem ekonomi kapitalisme liberal, rakyat kecil akan tetap berada dalam kubang derita. Karena yang berkuasa adalah mereka yang punya modal yakni para pengusaha, oligarki ekonomi atau politik. Sistem inilah yang membuat negara tidak berdaya mengentaskan rakyatnya dari derita.

Kasus minyak goreng adalah contoh nyata, yang dipertontonkan di depan kita bagaimana berkuasanya oligarki atas negara. Mereka bisa mengendalikan negara dengan cengkeraman oligarkinya. Negara bisa dikendalikan kebijakannya dengan kekuatan uangnya.

Islam Solusi Hakiki

Untuk keluar dari masalah ini, Islam menawarkan solusi yang akan bisa mengatasinya. Islam dengan seperangkat aturannya akan mengatur segala aktivitas manusia agar selamat di dunia hingga akhirat.

Karena Islam bukan hanya sekadar agama ritual saja, namun sebuah ideologi yang harus diemban oleh umatnya. Islam adalah aturan sempurna dari Zat yang Mahasempurna.

Sistem Islam akan mencegah campur tangan para pemilik modal dalam menentukan kebijakan, dan membuat hukum dalam pemerintahan. Demikian juga dalam mengatur kepemilikan, syariat Islam mengatur batasan yang jelas sesuai ketentuan.

Berdasarkan syariah Islam kepemilikan dibagi menjadi tiga. Pertama, kepemilikan individu. Kedua, kepemilikan umum. Ketiga, kepemilikan negara.

Sumber daya alam, dan bahan galian tambang merupakan hak kepemilikan umum dan haram diserahkan kepemilikannya kepada individu/korporasi. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW dari Ibnu Abbas Rasulullah bersabda: “Umat Islam berserikat dalam tiga hal yaitu air, rumput, dan api.” (HR. Ibnu Majah).

Pembagian kepemilikan ini sangat penting agar tidak terjadi hegemoni ekonomi, yaitu hegemoni dari pihak yang kuat, menindas pihak yang lemah.

Dengan pembagian kepemilikan harta yang tegas dan benar maka tidak akan terjadi perampasan hak rakyat atas kepemilikan umum. Sehingga negara bisa mengatur pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pembangunan ekonomi sektor ekonomi riil, bukan non riil. Selain itu, adanya pendistribusian harta kekayaan oleh individu, masyarakat, maupun negara akan bisa menjamin terpenuhinya semua kebutuhan asasi rakyatnya.

Pandangan Islam yang khas tentang  pembuat hukum adalah hak Allah SWT dan manusia tinggal melaksanakan hukum tersebut. Hal inilah yang akan menutup intervensi manusia dalam membuat hukum. Dengan sistem yang baik, akan lahir pemimpin yang amanah dan adil. Sistem inilah yang akan mendapatkan ridha dari Allah SWT.

Sistem Islam dalam bingkai khilafah ini, telah terbukti selama 13 abad, mampu menjadi mercusuar peradaban manusia. Sistem yang mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya baik Muslim maupun non-Muslim.

Dalam sejarah, sistem ini tidak pernah di intervensi oleh sekelompok oligarki atau orang kaya yang menyetir negara. Sehingga muncullah kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Sehingga hanya dengan penerapan syariah Islam secara kaffah, negara akan diatur dengan benar, termasuk pengelolaan sumber daya alamnya. Oleh karena itu, jika ingin menghilangkan cengkeraman oligarki, maka jalan satu-satunya adalah penerapan Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan, agar terwujudlah rahmat seluruh alam.

Karena sejatinya Khilafah Islam, membawa misi semata-mata untuk menebar manfaat ke seluruh alam, sebagaimana firman-Nya: “Dan tidaklah kami mengutusmu (wahai Muhammad) kecuali untuk membawa rahmat bagi seluruh alam.” (TQS Al-Ambiya: 107).

Wallahu a'lam bishshawab. []

Post a Comment

Previous Post Next Post