Polemik: Logo Halal Baru Indonesia Versi Kemenag


Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Opini Bela Islam AMK

Menteri Agama (Menag) Yaqut Chalil Qoumas kebijakannya kembali menuai polemik di masyarakat. Yaqut mengatakan label halal yang dikeluarkan Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) tidak lagi menjadi wewenang Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Kepala BPJPH Kemenag, Muhammad Aqil Irham menetapkan label halal Indonesia (Kemenag) berbentuk logo, dituangkan dalam keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal, yang mulai berlaku 1 Maret 2022. Menurutnya, logo akan diberlakukan secara nasional yang pelaksanaannya bertahap. Penetapan logo tersebut merupakan amanat dari Undang-Undang 1945 khususnya Pasal 37 UU Nomor 33 Tahun 2014, tentang jaminan produk halal. (dikutip dari laman Kemenag, Sabtu 12/3/2022).

Sertifikasi halal menurut undang-undang diselenggarakan oleh pemerintah bukan ormas (MUI). Untuk itu Sekjen MUI, Amirsyah Tambunna mengatakan pemakaian logo halal lama masih bisa dipakai sampai lima tahun, merujuk pada poin a dan b dalam pasal 168. Terhitung sejak peraturan pemerintah ini diundangkan.

Logo halal baru yang ditetapkan oleh BPJPH Kemenag, menjadi sorotan dan terjadi polemik. Sejumlah kalangan menilai label baru ini Jawa sentris. Karena dinilai mengedepankan artistik dan budaya lokal tertentu ketimbang menonjolkan kata halal dalam bahasa Arab.

Polemik Logo Halal Baru Indonesia Versi Kemenag, dapat dianalisis sebagai berikut:

Pertama, wajar jika menuai polemik, kecurigaan, bahkan tudingan miring pada penguasa. Publik melihat penguasa tidak Islami artinya tidak paham tentang Islam. Hal ini dikarenakan negara asasnya sekularisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan. Agama tidak boleh turut campur dalam mengatur urusan publik, baik kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Itulah sebabnya, selama ini negara lepas tangan tidak mau menetapkan label halal. Sehingga selama kurun 32 tahun penetapan label halal diserahkan pada Ormas MUI. 

Anehnya, mulai 1 Maret 2022 penetapan label halal diambil alih oleh BPJPH kemenag (pemerintah), lantaran dalam UU sertifikasi halal diselenggarakan oleh pemerintah bukan ormas. Itulah wajah buruk demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat. Hukum bukan untuk rakyat, melainkan milik penguasa. Karenanya, dengan mudahnya mengubah dan mengkhianati UU yang telah dibuatnya sendiri. Dengan adanya undang-undang berarti logo halal diambil alih oleh Kemenag. Hal ini menginformasikan bahwa negara sedang berbisnis dengan rakyatnya. Padahal, seharusnya melayani dengan gratis, bukan malah keluar biaya.

Kedua, menimbulkan mosi tidak percaya. Selama ini penguasa tidak memihak pada Islam. Ulama kritis dikriminalisasikan, kebijakan-kebijakannya menabrak syariat Islam. Misalnya: Utang luar negeri dan perekonomian berbasis ribawi. Masjid dan penceramah dicurigai, LGBT harus dihormati, dan lainnya. Apa mungkin penguasa bisa membedakan mana yang halal dan haram? Sesungguhnya kontroversi label halal secara politik, ialah mengebiri peran ulama dalam menjaga kehalalan suatu produk. 

Ketiga, pemilihan label halal yang menggunakan media gunungan wayang dengan corak surjan (batik lurik), dan penulisan huruf Arab dalam kaligrafi yang sulit dibaca. Disertai logotype ‘Halal Indonesia’ yang ditulis di bawah logo tidak bersifat universal. Hal Ini lebih mengedepankan artistik dan budaya lokal ketimbang menonjolkan kata halal dalam bahasa Arab yang bersifat global. Artinya logo halal Indonesia bersifat lokal dan ini merupakan sebuah kemunduran. 

Bandingkan, dengan logo halal negara tetangga yang nonmuslim seperti, Cambodia, Myanmar, Philippines, dan lainnya, tetap menonjolkan huruf Arab. Bukan berarti mereka tidak bisa kreatif, tetapi logo itu harus informatif, mudah dibaca, dikenali, diingat, dan yang penting ada kesamaan logo produk pasar muslim di seluruh dunia, meskipun kita beli produk dari negara lain labelnya sama, yakni logo bertuliskan Arab. Sebab, sertifikasi halal menjamin dan menjaga kehalalan produk dengan konsistensi branding sehingga membuat masyarakat mudah mengenalnya. 

Keempat, negara mestinya hadir untuk menjaga kehalalan tidak hanya dengan label. Harusnya lebih dari itu, yakni melarang produksi yang haram seperti miras, narkoba, dan lainnya. Juga, melarang barang haram beredar di kalangan umat Islam. Sebab, faktanya di beberapa agama ada yang membolehkan makan babi dan minum khamr.

Sadar atau tidak sadar, aturan yang diterapkan di negara demokrasi-kapitalis-sekuler selalu memunculkan kontradiksi, tidak adil, tumpang tindih sehingga menimbulkan permasalahan, perselisihan, dan permusuhan. Karena hukum dibuat oleh manusia yang bersumber pada akalnya yang lemah dan terbatas. Sejatinya, yang berhak membuat hukum adalah Allah (QS. An-An’am [6]: 57). Jadi, demokrasi adalah sistem kufur karena bertentangan dengan Islam. Wajar, jika demokrasi menjadi biang kerok terjadinya kerusakan dalam tatanan kehidupan. Oleh sebab itu, saatnya demokrasi dicampakkan dan diganti dengan sistem Islam. 

Sistem Islam Solusinya

Kebijakan-kebijakan penguasa (khalifah) dalam negara Islam (khilafah) tidak akan menimbulkan kontrofersi. Karena bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis yang merupakan wahyu Allah Swt.

Syariat Islam mewajibkan negara untuk mengurusi urusan umat dengan hukum Allah secara kafah atau sempurna (baca: QS. Al-Baqarah [2]: 208). Termasuk dalam urusan kehalalan makanan, minuman, dan barang, dimana negara wajib menjamin kehalalannya. Serta memberikan sanksi tegas bagi semua yang melanggar.

Hal tersebut mudah dilakukan karena Negara Islam (khilafah) asasnya akidah Islam. Inilah yang mendorong semua individu, masyarakat, dan negara menjadi takwallah, yakni melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Dimana dalam aktivitasnya seorang muslim wajib bersandar pada akidah Islam (keimanan) dan terikat dengan hukum syarak. Sebab, semua perbuatan besok akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, sebagaimana firman-Nya:

“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti menanyai mereka semua tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. al-Hijr [15]: 92-93)

Pun demikian dengan masalah kehalalan-keharaman makanan, minuman, dan barang telah termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadis. Adapun dalil terkait makanan, Allah Swt. berfirman:

“Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. al- Baqarah [2]: 168).

Dan masih banyak ayat lainnya. Di antaranya Allah Saw. berfirman:

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih.” (QS. al-Maidah [5]: 3)

Terkait minuman yang diharamkan yaitu yang memabukkan. Seperti khamr, karena pengaruhnya bisa merusak akal dan kesehatan. Lebih dari itu, tidak hanya dapat membahayakan dirinya sendiri, melainkan juga membahayakan orang lain. Maka Rasulullah saw. mengancam dan melaknat dengan keras pada sepuluh golongan. Dari Anas bin Malik, dia berkata:

“Rasulullah saw. Melaknat sepuluh golongan dengan sebab khamr: orang yang memerasnya, orang yang minta diperaskan, orang yang meminumnya, orang yang membawanya, orang yang minta di antarkan, orang yang menuangkannya, orang yang menjualnya, orang yang makan hasil penjualannya, orang yang membelinya, dan orang yang minta dibelikan.” (HR. Tirmidzi, no. 1295; Syaikh al-Albani menilai hadis ini Hasan Shahîh) 

Sesungguhnya, hukum asal benda adalah mubah (boleh) selama tidak ada yang mengharamkannya, sebagaimana yang dijelaskan dalam kaidah hukum syarak:

“Asal dari sesuatu/benda adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.”

Berdasarkan hal tersebut, syariat Islam mewajibkan negara dalam sistem jaminan halal, tidak hanya mengatur pelarangan yang berlaku untuk komunitas muslim, tetapi juga pengaturan untuk nonmuslim. Melarang memproduksi yang haram (miras, narkoba, dan lainnya), serta melarang barang haram beredar di kalangan umat Islam. Juga memberlakukan sanksi untuk menegakkan hukum. Sebab, dalam Islam makanan, dan minuman menjadi bagian penting karena berpengaruh pada fisik, mental, dan perilaku manusia.

Sebuah keniscayaan bahwa negara yang menerapkan syariat Islam, akan membuat hukum yang menjamin semua makanan, minuman, dan kebutuhan akan barang yang dijual secara bebas harus terjamin kehalalannya. Tanpa mempersulit dan membebani produsen dan konsumen.

Alhasil, polemik label halal jangan sampai mengalihkan persoalan utama umat, yakni tidak diterapkannya syariah kafah dalam khilafah.
Sebab, hanya dengan khilafah semua problematika umat dapat diselesaikan dengan tuntas, termasuk makanan, minuman, dan barang akan terjaga kehalalannya. Saatnya kita perjuangkan dan kita tegakkan syariah dalam naungan khilafah ala minhajjin nubuwwah.

Allah Swt. berfirman:

أفحكم الجاهلية يبغون ومن أحسن من الله حكما لقوم يوقنون

“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. al-Maidah [5]: 50).

Wallahu a’lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post