Oleh: Ummu Al Mahira (Aktivis Muslimah)
Moralitas petinggi negeri yang berada di titik nadir menjadi bahan prediksi nasib Indonesia di masa mendatang. Pemerintah pun tidak dapat lagi menutupi skandal-skandal yang dilakukan oleh para elit politik. Lingkaran oligarki sudah dalam tahap kritis memainkan kebijakan rakyat untuk mengeruk keuntungan demi kepentingannya. Hingga mencuat prediksi “Bangsa Indonesia siap ambruk secara moral tahun 2024" yang diungkapkan oleh ekonom senior Faisal Basri (cnnindonesia.com, 29/1/2022).
Guru Besar juga Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Tamrin Tomagola mendukung prediksi tersebut. Ia menanggapi kabar habisnya kekayaan alam Indonesia, seperti hutan dan nikel oleh ulah para pejabat dan pengusaha yang mengantarkan masyarakat pada bencana demi bencana (pikiran rakyat, 3/2/2022).
Dosa besar penguasa tidak bisa ditutupi lagi. Faktor kepentingan sudah dalam kondisi kritis dalam setiap kebijakan yang tengah dibuat. Harta dan tahta menjadi fokus utama para petinggi negeri. Belum usai polemik UU Omnibus Law Ciptaker, muncul lagi legislasi RUU IKN menjadi UU. Hal ini membuat publik mengelus dada, mengingat regulasi tersebut banyak menuai penentangan dari rakyat.
Wajah buruk negeri pun tak mampu diperbaiki oleh panggung sandiwara pencitraan. Bentuk tanggungjawab, empati, perhatian dan semua sifat yang mestinya dimiliki oleh sosok pemimpin rakyat, rasanya telah menghilang. Di tengah kondisi rakyat sedang terkatung-katung sekadar bertahan hidup, perekonomian terpuruk, perlu uluran tangan, masih sempatnya menebar baliho di sepanjang jalan dengan foto wajah-wajah yang tersenyum berebut meminta suara menjelang Pemilu 2024.
Seolah tanpa rasa bersalah, bentuk pelayanan yang diberikan kepada rakyat pun terkesan harus hitung-hitungan dan meraih untung. Sebut saja dalam sektor kesehatan, pejabat tinggi melakukan jual-beli dengan rakyat, seperti tes PCR berbayar. Belum lagi urusan pendidikan anak negeri yang terbebani PPN, dan masih banyak lagi.
Negara pun menyerahkan Sumber Daya Alam (SDA) kepada perusahaan-perusahaan asing untuk menjarahnya. Akibatnya, banjirnya tenaga kerja asing pun tidak dapat dihindari. Sementara dalam negeri, banjir oleh pengangguran ‘terdidik’ dan hidup dalam garis kemiskinan akut tanpa mampu menikmati kekayaan alam yang sejatinya milik sendiri. Lebih lanjut, dampaknya bagi lingkungan juga tidak main-main, akibat ulah para pengusaha bencana demi bencana menyapa silih berganti. Dalam hal ini, UU Ciptaker Omnibus Law paling menjadi jembatan bagi oligarki merampok kekayaan alam dan membuat kerusakan secara legal.
Kini wajah buruk sistem pemerintahan tengah dipertontonkan. Sangat tajam tercium aroma ambisi kekuasaan semata, keuntungan pribadi dan partner, penguatan kekuasaan oligarki, sementara rakyat benar-benar terpinggirkan. Para petinggi sibuk menjalin hubungan bisnis yang harmonis dengan pihak ketiga, saat rakyat mengiba, mengharap perhatian. Sungguh, pemangku kuasa dalam kondisi krisis karakter.
Namun demikian tidak cukup sekadar menyoroti moral aktor kekuasaan, melainkan juga sistem yang menjadi muara atas praktik ini. Sistem kapitalisme-demokrasi lah yang paling bertanggung jawab terhadap lahirnya para pemimpin seperti ini, jauh dari sifat pelayan ideal bagi rakyat. Slogan manis, “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” hanyalah teori penuh dusta, sebaliknya dari penguasa, oleh oligarki dan untuk oligarki.
Bagaimana tidak, perhelatan pesta Demokrasi yang sangat mahal sebagian besar bergantung pada keterlibatan pemodal. Setelah berhasil menduduki singgasana kuasa, sebagai wujud balas budi maka segala kebijakan wajib memihak pada kepentingan pemodal tersebut. Sehingga jika mau jujur, dari sisi manapun oligarki semakin mencengkeram kehidupan kita yang masuk lewat pintu depan atas persetujuan negara.
Kita harus sadar, bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Praktik kapitalisme-demokrasi telah nyata tidak mengutamakan kepentingan rakyat. Inilah yang perlu diakhiri secepatnya untuk menyelamatkan bangsa ini.
Islam adalah jawaban terbaik atas persoalan yang ada. Dengan aturannya yang paripurna akan melahirkan penguasa yang amanah dan mencegah terjadinya praktik oligarki oleh segelintir elite.
Seorang pemimpin dalam Islam bertanggungjawab penuh mengurus seluruh urusan rakyatnya. Kebijakan-kebijakan yang ada senantiasa berpijak pada wahyu Allah SWT., untuk selalu memprioritaskan umat dalam segala situasi, apapun risikonya.
Sebelum mereka terpilih untuk memikul mandat rakyat, mempertimbangkan terlebih dahulu adanya kapasitas dan kapabilitas tinggi untuk menanggung amanah umat. Memang berat, akan tetapi dengan penuh kesadaran pemimpin akan menjalankan kewajibannya dengan sebaik-baik usaha agar bernilai pahala dari Allah SWT.
Dalam situasi rumit sebagaimana saat ini, pemimpin Islam akan memberikan pelayanan terbaik untuk memberikan solusi terbaik. Bukan melakukan perselingkungan dengan pemodal demi kepentingan pribadi beserta partnernya.
Hanya dengan penerapan Islam, umat akan terjamin kesejahteraannya. Tidak akan ada keluhan bahwa wakilnya sekadar mencari suara dari umat, selanjutnya memberi balasan berupa kezaliman. Sehingga penerapan aturan Islam secara Kaffah dalam naungan sistem Islam urgen untuk ditegakkan secepatnya.
Wallahu a’lam bi showwab
Post a Comment