Oleh Eno Fadli
(Pemerhati Kebijakan Publik)
Kembali umat Muslim di tanah air dihebohkan atas kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Agama (kemenag) mengenai logo sertifikasi halal. Menteri Agama Yaqut Cholil Qaumas mengatakan, bahwa logo halal yang sebelumnya dikeluarkan oleh MUI secara bertahap tidak berlaku lagi karena berdasarkan ketentuan Pasal 37 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, serta Peraturan Pemerintah No 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggara Bidang Jaminan Produk Halal, dimana kewenangannya berada di bawah kewenangan pemerintah dan diamanatkan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Muhammad Aqil Irham Kepala BPJPH Kemenag menyatakan karena amanat Peraturan Pemerintah inilah sehingga adanya peralihan dalam sertifikasi halal dan logo halal dari MUI ke BPJPH (KumparanNews.com,12/03/2022).
Peralihan logo produk halal ini berlaku efektif sejak 1 Maret 2022.
Namun perubahan logo halal ini menuai protes dari masyarakat dan sejumlah pihak. Karena logo halal yang baru dianggap tidak familier dan susah untuk dibaca, sebagaimana logo yang dikeluarkan BPJPH berbentuk gunungan dan motif surjan atau lurik yang dinilai mempunyai makna filosofi yang mengandung nilai-nilai keindonesiaan.
Selain itu, perubahan logo halal menyebabkan banyak dari pelaku UMKM yang mengeluhkan mengenai biaya produksi yang akan dikeluarkan karena membuat kemasan dengan logo baru tersebut, banyak dari mereka mencetak logo halal dengan logo yang lama 4-5 tahun kedepan untuk produksinya (SuaraTangsel.com, 13/03/2022).
Perubahan kewenangan sertifikasi halal dari MUI ke BPJPH tidak terlepas dari UU Omnibus Law atau Ciptaker yang disahkan pada tanggal 5/10/2020 yang termasuk dalam klaster Pemudahan Perizinan Usaha dimana adanya pelibatan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) selain MUI dalam penetapan fatwa halal.
Hal inilah yang menyebabkan adanya ruang BPJPH dan pihak lain dapat menerbitkan sertifikasi halal. Pihak yang terkait bisa dari ormas berbadan hukum, perguruan tinggi atau lembaga lain yang diakreditasi oleh MUI. Sejauh ini akreditasi LPH baru diberikan pada lembaga LPH PT. Sucofindo dan PT. Surveyor Indonesia dan ada juga beberapa ormas serta perguruan tinggi yang dalam proses akreditasi dan proses open recruitment.
Dalam UU Ciptaker juga menetapkan tentang penghapusan dari beberapa syarat auditor halal, di mana syarat tersebut diganti dengan mengikuti pelatihan sertifikasi halal. Tentunya penghapusan syarat auditor halal ini membuka ruang bagi siapa saja untuk menjadi auditor. Sebagaimana yang disyaratkan sebelumnya, auditor sertifikasi halal haruslah beragama Islam, WNI dan mempunyai wawasan luas terkait kehalalan produk dan syariat agama Islam, disertai syarat-syarat pendukung lainnya.
Dalam UU ini juga menetapkan mengenai pemangkasan jangka waktu verifikasi permohonan sertifikasi halal, dimana pemohon hanya cukup dengan melengkapi data pelaku usaha, nama dan jenis produk dan bahan yang digunakan, serta mencantumkan bagaimana proses pengolahannya. Karena proses dan alur yang selama ini berjalan ketat tidak dikehendaki pelaku bisnis sehingga dengan amanat UU Omnibus Law menjadikan proses untuk sertifikasi halal di persingkat maksimal satu hari kerja. Dalam UU ini juga tidak menjelaskan mengenai sanksi administratif berikut jenis pelanggarannya.
Tentunya kemudahan-kemudahan terkait UU yang mengatur mengenai sertifikasi halal ini membuka peluang berbagai pihak yang menjadikannya sebagai industri baru yang menjadi ladang bisnis dalam meraup untung dengan menjadi salah satu lembaga pemeriksa halal (LPH) atau auditor halal.
Padahal, sertifikasi halal bertujuan untuk memenuhi jaminan keamanan untuk umat Muslim dalam mengkonsumsi suatu produk. Dengan jaminan kehalalan dari produk yang beredar di masyarakat ini membuat masyarakat mendapatkan kepastian tentang produk tersebut telah sesuai dengan syariat atau tidak dan tidak lagi merasa was-was karenanya.
Karena itu hendaknya pemerintah memperhatikan logo halal dengan menonjolkan kata halal dalam bahasa Arab karena mudah dipahami dan familiar di masyarakat ketimbang hanya mengedepankan filosofi dari logo tersebut. Karena terkait halal dan haram haruslah terang dan tidak berhubungan sama sekali dengan filosofi atau seni manapun karena telah jelas dalam syariat Islam mengenai ini.
Bukan hal yang aneh dalam pemerintahan kapitalis dalam pengurusan terhadap rakyat selalu mempertimbangkan untung dan rugi, sehingga ketika dilihat berkembangnya budaya konsumerisme pada masyarakat dan produk pangan halal yang mahal menjadikan pemerintah melihat adanya peluang investasi. Sehingga karena hal ini pula perlu adanya untuk menghilangkan segala hal yang akan menghambat investasi.
Ketika peluang investasi ini yang menjadi pertimbangan dalam sertifikasi halal pangan, tentunya hal ini akan menjadikan standar halal-haram menjadi bias dan kabur. Sehingga menimbulkan rasa tidak aman terhadap produk makanan yang hendak dikonsumsi. Oleh karena itu, seharusnya hal ini membuat umat sadar bahwa dibutuhkan sistem pemerintahan Islam (Khilafah) yang akan mengatur masalah-masalah publik dan muamalat, bersandarkan pada syara’. Bukan malah mengembalikannya pada kebutuhan pasar yang akan menimbulkan perbedaan dan hanya berdasarkan pada untung dan rugi.
Wallahu a’lam bishshwab
Post a Comment