Kedudukan Adzan Dalam Islam



Oleh Iit
Muslimah Peduli Umat


Adzan secara etimologi artinya menginformasikan semata-mata. Sedangkan secara terminologi adalah menginformasikan (memberitahukan) tentang wak tu-waktu shalat dengan kata-kata tertentu.

Adzan telah diperintahkan sejak tahun pertama Hijrah Nabi ke Madinah. Yaitu ketika Abdullah bin Zaid bermimpi ada orang yang mengajarinya, kemudian diceritakan hasil mimpinya itu kepada Rasulullah, lalu Rasulullah memastikannya untuk dipergunakan.

Juwaibir meriwayatkan dari Adh-Dhahak di mana ia berkata, "Ketika Abdullah bin Zaid bermimpi tentang adzan dan mengajarkannya kepada Bilal kemudian Nabi Shallallâhu 'Alayhi Wasallam memerintahkan Bilal untuk naik ke atas bangunan dan mengumandangkan adzan. Tatkala adzan itu dimulai, terdengarlah suara gemuruh di Madinah, lalu Nabi Shallallâhu 'Alayhi Wasallam bertanya kepada para sahabatnya:

"Tahukah kamu apakah suara gemuruh itu? Mereka menjawab, 'Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau bersabda, 'Sesungguhnya Tuhan menyuruh supaya pintu-pintu langit dibuka sampai ke 'Arasy, karena adzan (yang dikumandangkan oleh) Bilal. Abu Bakar Ash-Shiddiq lalu bertanya, 'Apakah ini khusus untuk Bilal atau orang-orang yang adzan secara umum?' Beliau menjawab, 'Untuk orang-orang yang mengumandangkan secara umum. Sesungguhnya roh orang-orang yang adzan itu bersama sama dengan roh orang-orang yang mati syahid. Dan apabila hari kiamat datang, ada seruan yang memanggil, 'Di manakah orang orang adzan?' Maka berdirilah mereka di atas bukit kasturi dan kapur barus."

Adzan menurut Imam Hanafi dan Imam Syafi'i adalah sunnah mu'akkad (yang dikuatkan). Sedangkan menurut Imam Hanbali hukumnya adalah fardlu kifayah di desa-desa dan di kota-kota pada setiap shalat lima waktu bagi lelaki yang mukim, bukan musafir. Adapun Imam Maliki berpendapat, Wajib fardhu kifayah di suatu desa (negara) yang didirikan shalat Jum'at. Bila penduduk desa (negara) tersebut meninggalkannya (mengabaikannya), maka mereka harus diperangi.

Dari Aisyah radliyallâhu 'anh, ia berkata, "Ayat yang berikut ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang mengumandangkan adzan, "Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih, dan berkata, "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri."" (Qs. Fushshilat: 33).

Yang dimaksud adalah memanggil orang yang banyak untuk mengerjakan shalat dan mengerjakan shalat sunnah di antara adzan dan iqamah.

Diriwayatkan dari Sa'd bin Abu Waqqash radliyallâhu 'anh, dari Khaulah binti Al-Hakim as-Salamiyyah, bahwa Rasulullah Shallallâhu 'Alayhi Wasallam bersabda: "... Orang yang mengumandangkan adzan itu adalah penjaga pintu Allah..".

Al-Faqih menjelaskan bahwa sebutan dengan penjaga pintu Allah bagi muadzin mengandung arti kiasan, dimana ia memberitahu kepada orang banyak tentang masuknya waktu untuk menghadap Tuhan, jadi seperti penjaga pintu bagi seorang raja. [Tanbihul Ghafilin jilid I hlm. 507]

Al-Faqih menuturkan dari Muhammad bin Al-Fadhl dengan sanad dari Mu'adz bin Jabal radliyallâhu 'anh bahwa Nabi Shallallâhu 'Alayhi Wasallam bersabda:

"Nanti pada hari qiyamat Allah membangkitkan Bilal dengan berkendaraan unta dari unta-unta surga seraya mengumandang kan adzan di atas punggung unta. Apabila ia mengucapkan Asyhadu allâ ilâha illallâh - Asyhadu anna Muhammadar Rasûlullâh, sebagian orang memandang sebagian yang lain lalu berkata, 'Kami juga bersaksi sebagaimana yang kamu persaksikan' hingga tiba di mahsyar. Dan setelah sampai di Mahsyar maka diberi perhiasan surga, dan orang yang pertama kali diberi perhiasan adalah Bilal dan para muadzin yang shalih."

Qatadah menuturkan, bahwa Abu Hurairah radliyallâhu 'anh berkata, "Orang-orang yang mengumandangkan adzan itu adalah orang yang paling panjang lehernya nanti pada hari qiyamat. Dan orang yang pertama kali diputuskan oleh Allah nanti pada hari kiamat sesudah para Nabi adalah orang-orang yang mati syahid lalu orang-orang yang mengumandangkan adzan. Lalu dipanggillah muadzin Baitul Maqdis, kemudian muadzin-muadzin yang lain."

Dari Ibnu Mas'ud radliyallâhu 'anh, ia berkata, "Seandainya aku menjadi muadzin, niscaya tidak apa-apa meskipun tidak ikut berperang." 

Dari Sa'ad bin Abu Waqqash radliyallâhu 'anh, ia berkata, "Seandainya aku menjadi muadzin, niscaya tidak apa-apa meskipun tidak ikut berjihad'.

Dari Ali bin Abu Thalib radliyallâhu 'anh, ia berkata, "Aku tidak menyesal atas sesuatu, hanya aku ingin meminta kepada Nabi shallallâhu 'alayhi wasallam supaya adzan itu ditugaskan kepada Al-Hasan dan Al-Husein."

Diriwayatkan dari Nabi Shallallâhu 'Alayhi Wasallam beliau bersabda: "Tidak ada kota yang di dalamnya banyak orang yang mengumandangkan adzan, melainkan kurang dinginnya (bencana)."

Adzan adalah bagian dari Syi'ar Allâh. Dikatakan juga bahwa adzan adalah da'wah atau seruan yang sempurna.

Dari Jābir -raḍiyallāhu 'anhu- secara marfū', "Siapa yang ketika (selesai) mendengar adzan membaca doa,

اللَّهُم ربِّ هذه الدَّعْوَة التَّامة، والصَّلاة القَائمة، آتِ محمدا الوَسِيلَة والفَضِيلة، وابْعَثْه مَقَامًا محمودًا الَّذي وعَدْتَه، حلَّت له شَفَاعَتِي يوم القيامة»

"Ya Allah, Rabb pemilik seruan yang sempurna dan seruan penegakan shalat ini. Limpahkanlah kepada Muhammad kedudukan tinggi dan keutamaan. Tempatkan beliau di tempat terpuji yang Engkau janjikan kepadanya," niscaya ia mendapatkan syafaatku kelak di hari Kiamat." [Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari]

Adzan dinamakan "Da'wah" atau "seruan" karena mengandung panggilan umat manusia agar mendirikan shalat.

"Sempurna", artinya menyeluruh, karena adzan mengandung unsur-unsur aqidah dan keimanan, yaitu tauhid (meng-Esakan Allah) dan tashdiq (pengakuan dan pembenaran) atas kerasulan Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-.

Permulaan adzan adalah takbir di dalamnya terdapat dua kalimat syahadat yang merupakan Rukun Islam yang pertama. Juga terdapat seruan untuk mendirikan shalat, lalu ditutup dengan takbir.

"washalâtil qâimah", "(Dan seruan) penegakan shalat"  disini ada dua makna: 1. Shalat yang akan didirikan. 2. Shalat yang tidak akan pernah di rubah atau di nasakh (di hapus) oleh syariat lain. Shalat itu akan ada terus dan langgeng selama langit dan bumi masih ada.

"Al-Wasīlah" yaitu sesuatu yang mendekatkan kepada yang lain. Jadi, “Al-wasīlah ilallāh” berarti, sesuatu yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah dengan amal shalih. Adapun “al-wasīlah” yang dimaksud dalam hadits ini adalah kedudukan yang tinggi di surga, sebagaimana dinyatakan dengan jelas dalam shahih Muslim dari hadits Abdullah bin 'Amru bin Al-Āṣ -raḍiyallāhu 'anhumā-, di dalamnya disebutkan, "Jika kalian mendengar muadzin maka ucapkanlah..., kemudian mintalah wasilah untukku, karena wasilah adalah kedudukan tinggi di surga yang tidak pantas kecuali untuk satu hamba dan diriku berharap akulah hamba itu".

"Al-faḍīlah" yaitu keutamaan di atas makhluq Allah.
Artinya, Utamakanlah Muhammad atas semua makhluq-Mu. "Tempatkanlah dia di tempat terpuji", yakni di hari Qiyamat saat umat manusia bangkit dari kubur mereka. Yaitu tempat yang terpuji di hari Qiyamat nanti.

"Tempat yang terpuji," artinya setiap kedudukan yang menarik pujian karena banyaknya kemuliaan. Namun yang di maksud disini adalah syafa'at udẓhmā (syafaat terbesar) saat Allah memutuskan nasib para makhluq. Di mana pemilik syafa'at tersebut akan di puji manusia pertama dan manusia terakhir; yaitu saat semua makhluq merasa telah lama di padang makhsyar tanpa tahu kepastiannya. Maka mereka mendatangi Nabi Adam untuk meminta syafa'atnya dengan cara memohonkan kepada Allah agar dikeluarkan dari kondisi yang mereka rasakan. Namun Nabi Adam tidak sanggup dan memohon maaf. Kemudian mereka mendatangi Nabi Nuh, dan beliau pun tidak sanggup dan memohon maaf. Dan berturut-turut mendatangi Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isa -'alaihim as-salām. Terakhir mereka mendatangi Nabi Muhammad -shallallahu alihi wa sallam- dan beliau bersabda, "Sayalah pemilik syafa'at itu." Lalu beliau bersujud dengan menghaturkan puji-pujian kepada Allah. Lantas difirmankan kepadanya, “Angkat kepalamu dan mintalah pasti engkau diberi!” Maka beliau meminta syafa'at, sehingga bisa membebaskan umat manusia dari keadaan mereka pada saat itu.

"Yang Engkau janjikan kepadanya," artinya Allah menjanjikan syafaat udẓhmā itu kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- saat Allah memutuskan nasib semua makhluq-Nya.

Allah berfirman, “Dan dari sebagian malam bertahajjud-lah di dalamnya pasti Allah membangkitkanmu di tempat yang terpuji.” (Al-Isrā`: 79). 

“Maka niscaya ia mendapatkan syafaatku”. Kata “'asā” dalam al-Quran bermakna pasti. “Dia pasti mendapatkan syafa'atku.” Artinya, dia pasti dan berhak mendapatkannya karena doa ini. Dan syafa'at itu akan ia rasakan kelak di hari qiyamat. 

Rasulullah memberikan syafa'atnya dengan masuk surga tanpa hisab, di angkat derajatnya, atau terbebas dari neraka.

“Hari Qiyamat” dinamakan qiyamat karena hari itu penuh dengan perkara-perkara dahsyat dengan dibangkitkannya semua makhluq dari kubur mereka, adanya saksi-saksi atas manusia, berkumpulnya seluruh umat manusia di mahsyar dan perkara dahsyat lainnya.

Pada masa kepemimpinan Islam, kumandang adzan tidak pernah dipermasalahkan. Kaum muslim dan non muslim pun hidup tenang secara berdampingan.

Berbeda dengan era kepemimpinan setelahnya, yaitu era penuh dengan kedustaan, dimana pendusta dipercaya, orang yang jujur didustakan, amanat diberikan kepada pengkhianat, orang yang jujur dikhianati, dan ruwaibidhah turut bicara. Tahukah apa itu al-ruwalbidhahi? Yaitu Orang orang bodoh yang mengurusi urusan perkara umum.

Semoga Allah selalu mengarahkan kita pada jalan kebenaran, meskipun saat ini kita berhadapan dengan orang-orang yang membelokkan jalan kita dari kebenaran. Allâhumma âmin. WaLlalâhu A'lam bish-shawab []

Post a Comment

Previous Post Next Post