Keadilan, Ilusi Dalam Negeri Demokrasi




Oleh  Waryati
(Ibu Rumah Tangga)

Tragedi di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek pada 7 Desember 2020 lalu, masih menyisakan duka di benak publik. Rasa marah, kecewa, hanya mampu diluapkan masyarakat lewat cuitan-cuitan di media sosial. Tak sedikit dari masyarakat Indonesia menuntut terhadap pemerintah untuk menghukum pelaku seberat-beratnya.

Harapan tinggal harapan. Putusan pengadilan membebaskan terdakwa pembunuhan anggota laskar FPI yakni Ipda M Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan kian menambah luka di hati rakyat. Betapa tidak, keduanya telah terbukti melakukan pembunuhan dengan sengaja, namun pihak pengadilan hanya menyatakan mereka melakukan pembelaan semata.

Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) menilai Yusmin dan Fikri terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana pembunuhan secara bersama-sama. Jaksa lantas menuntut keduanya dengan hukuman enam tahun penjara, (CNNIndonesia, 18/03/2022).

Namun anehnya, putusan pengadilan kepada kedua tersangka hanya dipandang masuk dalam kategori pembelaan diri yang terpaksa dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Sehingga keduanya tidak dapat dijerat pidana. Dengan demikian, terdakwa dinyatakan bebas dan pengadilan memulihkan hak-hak terdakwa.

Berharap keadilan ditegakkan dalam sistem yang menjauhkan nilai-nilai agama dari kehidupan dan negara, mustahil terjadi. Diduga kuat, para penegak hukum bekerja hanya berdasarkan kepentingan semata. Sedikit pun tak mengindahkan nilai-nilai kebenaran yang seharusnya menjadi dasar untuk mengadili pihak yang bersalah. Karenanya, untuk menyatakan yang hak dan bathil akan sulit dilakukan, selama tidak menghadirkan Allah di setiap perbuatan.

Ketidakadilan akan terus terjadi dan dipertontonkan secara terbuka, selama hukum yang digunakan masih dari produk manusia. Para penegak hukum tak ubahnya seperti pemain film yang memainkan peran sesuai arahan sutradara. Mereka bekerja sesuai script yang ada dan berinovasi sedikit demi  keberhasilan perannya. 

Lemahnya landasan hukum, akan melemahkan hasil hukum itu sendiri. Benar bisa dikatakan salah dan yang salah dibenarkan oleh pihak pemuja nafsu dunia. Itulah demokrasi, tak pernah memenuhi janji-janji memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Berbagai tragedi terus terjadi dan kerap ditemui tanpa ada penegakkan hukum yang adil. Kepentingan selalu menjadi nomor wahid dan tak segan mengorbankan orang tak bersalah.

Membunuh adalah dosa besar dan pelakunya di azab Allah Ta'ala kekal di neraka. Sebagaimana firman-Nya, "Siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya." (TQS an-Nisaa [4] : 93).

Islam telah datang sebagai ideologi pengatur kehidupan bagi seluruh manusia. Islam pun sangat melindungi jiwa. Barang siapa membunuh tanpa haq, maka seperti membunuh manusia seluruhnya. Begitu berharganya nyawa di mata Islam, sehingga pelaku pembunuhan dijatuhi hukuman keras.

 Alhasil, jika Islam diterapkan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat niscaya memberikan keadilan bagi seluruh penduduk bumi, tanpa terkecuali.

Wallahu a'lam bishawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post