Publik di kejutkan dengan dengan kasus ibu mengorok anak, Kunti Utami (35), seorang ibu di Brebes, Jawa Tengah (Jateng), diduga menggorok tiga anaknya sendiri. Satu anaknya tewas dengan luka sayat di leher, sementara dua lainnya dilarikan ke rumah sakit (RS) dilansir detik news, senin (23/2/2022)
Dikutip dari Suara.com (22/3/2022), Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra menyampaikan, yang dilakukan Kanti Utami itu pasti ada pemicunya. Bisa jadi karena menyimpan tekanan luar biasa dan tidak ada tempat untuk menumpahkan perasaannya.
Psikolog Ratih Ibrahim mengungkap adanya keputusasaan dan kemarahan sangat besar dari pelaku yang juga ibu kandung tiga anak tersebut. Sebelumnya Ahmad Latif suami Kanti Utami adalah karyawan swasta, karena diberhentikan saat pandemi, ia beralih menjadi wiraswasta.
Mungkinkah ekonomi menjadi pemicu aksi Kunti Utami? Karena dalam sebuah unggahan video yang viral dia menyampaikan bingung mau bayar kontrakan dan tidak ingin anaknya menderita sepertinya. Ia pun sempat berkata, ingin disayang suami. Apakah ada konflik dengan suaminya? Sehingga ia tega melakukan perbuatan tersebut?
Depresi kaum istri atau ibu, disebabkan tidak terpenuhi dengan layak kebutuhannya akan tiga hal: fisik, jiwa dan spiritual. Sebab, rata-rata stres pada ibu, erat kaitannya dengan kondisi ekonomi keluarga yang kurang. Pengakuan atas peran istri yang kurang dan lemahnya mengkaitkan antara ujian hidup dengan pemahaman atas qoda dan qadar. Berikut rinciannya:
1. Kebutuhan Fisik
Kebutuhan fisik berupa terpenuhinya aspek materi bagi seorang istri. Baik uang belanja untuk keluarga maupun kebutuhan pribadinya. Nah, istri kerap stres karena minimnya kebutuhan ini. Uang belanja minim, sementara kebutuhan hidup semakin banyak. Bertambah anak bertambah banyak. Tetapi uang belanja tidak juga bertambah.
Mengapa istri yang stres dan bukan suami? Karena umumnya yang mengatur rincian uang belanja adalah istri. Dialah yang memikirkan semuanya. Kebutuhan akan makan-minum, perabot rumah tangga, perbaikan barang yang rusak, renovasi genteng yang bocor, keran yang rusak dan bahkan pendidikan anak-anak.
Sementara suami hanya berpikir global, merasa sudah gugur kewajiban setelah menyerahkan uang belanja. Tanpa tahu menahu rinciannya. Tidak begitu peduli dengan rincian kebutuhan fisik rumah tangga. Suami kurang tanggung jawab dalam memenuhinya, kurang gigih bekerja dan bahkan ada yang berpangku tangan kepada istrinya.
Akibatnya istri stres karena dia sendiri yang harus turun tangan mencari solusi memenuhi kebutuhan fisiknya, hal yang seharusnya ditanggung suami. Maka itu, jika tidak ingin istri depresi, harus ada saling keterbukaan antara suami dan istri dalam merinci kebutuhan ekonomi rumah tangga. Saling memikul beban bersama, karena sendiri itu berat dan lebih ringan jika dibagi berdua.
2. Kebutuhan Jiwa
Kebutuhan jiwa berupa terpenuhinya penghargaan atas eksistensi peran seorang istri, sehingga mewujudkan ketenteraman, ketenangan, kenyamanan dan kebahagiaan. Hal ini bisa dipenuhi dengan memberikan apresiasi atas segala kinerjanya. Walaupun ibu rumah tangga bekerja di ranah domestik dan tidak mendapatkan imbalan secara langsung berupa uang, tetapi jasanya sungguh luar biasa. Nah, sebetulnya ibu-ibu ini juga butuh dipuji, didukung dan dihargai.
Jadi, suami jangan pelit memberi penghargaan, berupa apresiasi dan kata-kata penyejuk pada istri. Ucapan terima kasih dan sentuhan fisik berupa pelukan dan pijatan, cukup sebagai bukti bahwa suami peduli dengan peran istri. Jangan sampai istri kurang perhatian dan penghargaan di rumahnya sendiri, sehingga merasa menjadi perempuan paling menderita sendiri.
Apalagi bagi istri yang bekerja. Di luar, ia mungkin mendapat penghargaan dari atasannya, anak buahnya atau relasinya. Lantas mengapa di rumah sendiri malah tidak dihargai suami? Sudah tahu istrinya ikut bekerja, bukannya berterima kasih atau menghiburnya di kala lelah. Memijitnya, ikut membantu mengurus kebutuhan rumah tangga dan anak-anak. Malah gengsi dan asyik dengan dunianya sendiri. Tidak peka dengan kerepotan istri. Nah, jangan sampai ini terjadi. Kelihatannya tidak penting bagi suami, tetapi ini kebutuhan dasar yang penting bagi seorang istri.
Kebutuhan mental harus mendapatkan perhatian yang seimbang dengan kebutuhan fisik. Jika kebutuhan mental seseorang tidak mendapat porsi yang cukup, bahkan kurang sama sekali; akhirnya lapar jiwa ini membuat hidup tidak bahagia.
Kebutuhan jiwa ini berkaitan dengan interaksinya dengan pihak lain, sehingga bisa dipenuhi oleh orang-orang di sekitarnya. Tentu saja orang terdekat adalah suami dan lingkungan pertemanan atau kekerabatan.
3. Kebutuhan Spritual
Senantiasa jaga terpenuhinya kebutuhan spiritual istri, yaitu menjaga suasana keimanan agar selalu ada di hatinya. Hal ini penting untuk menjaga kewarasannya. Kita tahu, sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan, membuat individu yang hidup di dalamnya terkena debu-debu pemikiran yang merusak. Seperti godaan gaya hidup materialistis dan hedonis, sehingga menggerus rasa syukur istri.
Nah, peran suami untuk terus mendampingi sisi ruhiyah istri. Jangan sampai suami abai mendidik istri dan anak-anaknya dalam aspek spiritual. Tidak mengajak kepada kedekatan kepada Allah. Memang, seharusnya istri sendiri memiliki kesadaran akan ketakwaan ini, namun suami juga ikut berkontribusi karena ada kewajiban untuk mendidik istri.
Demikianlah, semoga depresi pada istri bisa dicegah sehingga tidak merasa sendiri dalam menanggung beban mengurus rumah tangga dan mengasuh anak-anak. Bersama suami, hendaklah bekerjasama saling memahami kebutuhan akan fisik, jiwa dan spiritual.
Strategi Islam Mengasuh Anak yang Membahagiakan
Anak adalah amanah Illahi, rezeki yang tak ternilai. Mengasuhnya mendatangkan keberkahan dunia akhirat. Mendidiknya bisa menjadi jariyah kebaikan. Sungguh malang, jika sebagai orang tua, menyia-nyiakan anak dengan pola asuhan yang tidak sesuai syariat Islam.
Sekalipun ketika telah baligh anak akan memiliki pertanggungjawaban sendiri, alangkah indahnya jika anak memiliki pemahaman Islam yang benar dan akidah Islam yang kokoh. Oleh sebab itu, mendidik anak pun butuh ilmu dan tsaqofah Islam.
Berikut strategi Islam dalam pengasuhan anak. Pertama, sebagi orang tua, harus menyadari, anak adalah amanah yang akan diminta pertanggungjawaban. Sehingga, sebagai orang tua harus benar-benar dan sungguh-sungguh dalam melakukan pendidikan tersebut. Kedua, orang tua harus menancapkan akidah Islam yang kuat kepada anaknya.
Ketiga, orang tua harus mampu menjadi teladan anaknya. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Begitu pun anak, anak itu butuh teladan kebaikan. Teladan kebaikan, yang pertama dilihat anak adalah orang tuanya. Karenanya, orang tua harus mampu menjadi teladan.
Selain itu orang tua harus menjadikan anak mampu meneladani Rasulullah Muhammad Saw, sahabat, dan orang-orang shalih. Agar anak memahami teladan utama Muslim adalah Nabi Muhammad SAW, kalau anak melihat orang tuanya tidak sempurna dan melakukan kesalahan-kesalahan, anak mampu mengambil sikap, mana yang harus dicontoh dan tidak.
Keempat, memberikan tsaqofah Islam kepada anaknya. Tugas orang tua memberikan tsaqofah Islam kepada anaknya, bisa dengan mengajarinya dan mengajaknya dalam kajian anak. Hal ini penting untuk menumbuhkan haus ilmu sejak dini pada anak. Kelima, pola pengasuhan anak akan berhasil jika didukung oleh sistem dan negara. Karena melalui otoritas negara, anak-anak bisa terlindungi dari konten-konten sekuler yang merusak. Karena itu, butuh peran negara agar pendidikan anak sukses. Yakni, sukses di keluarga dan sukses di tengah-tengah masyarakat.
Memahami hal tersebut, selain orang tua, masyarakat dan negara memiliki peran penting untuk mendukung pengasuhan anak dengan baik. Karena sejatinya, anak shalih-shalihah adalah aset berharga pembangun peradaban Islam, penerus tonggak perjuangan negara. Di sini negara memiliki kewajiban penuh dalam mendidik dan menyelenggarakan pendidikan yang Islami dan melahirkan generasi emas.
Selain itu, negara wajib melakukan pengawasan, apakah orang tua telah menjalankan peranannya dalam menjadi sekolah pertama anak? Tidak hanya itu, negara pun menyelenggarakan pendidikan yang bisa dijangkau semua lapisan masyarakat dengan sistem Islam demi mendapatkan bibit unggul.
Dari situlah sesungguhnya menyadarkan bahwa hidup dalam naungan khilafah Islam adalah kewajiban dan kebutuhan sebagai Muslim. Karena, sumber malapetaka multidimensi yang terjadi hari ini dikarenakan sistem yang tidak Islami, yakni kapitalisme sekuler.
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Sungguh kapitalisme berpotensi menciptakan stres dan depresi berlapis, sehingga memicu konflik keluarga yang berujung saling bunuh. Kapitalisme sekuler ini adalah biang kerok kesengsaraan dan konflik yang melanda manusia saat ini. Penting mengatur kebutuhan sesuai syariat Islam.
Mengapa pemenuhan kebutuhan naluri harus sesuai Islam? Karena hanya Islam yang mampu mengarahkan solusi pemenuhan dengan jawaban yang menentramkan hati, sesuai fitrah manusia, dan memuaskan akal. Akar masalah terciptanya manusia-manusia berperilaku sadis juga diakibatkan penerapan kapitalisme sekuler. Kapitalisme telah menciptakan kesengsaraan dan kejahatan yang berdampak pada rusaknya tatanan sosial. Jadi, kerusakan yang ditimbulkan adalah kerusakan multidimensi.
2. Trauma masa kecil tidak bisa dianggap sepele dan akan mudah hilang begitu saja. Dampak yang ditimbulkan bisa berujung pada perilaku destruktif saat dewasa, seperti menyabotase dan memusuhi diri sendiri, agresi menggunakan kekerasan, hingga melakukan perbuatan jahat.
Selain itu, sifat mudah tersinggung, marah dan berteriak, serta mudah memutus relasi sosial, juga merupakan dampak dari luka batin saat kecil. Inilah yang disebut “inner child.” Hal itu juga bisa memicu dendam. Anak yang mengalami hal tersebut, jangan sampai jadi dendam kepada ibunya atau orang tuanya. Karena ini akan menciptakan konflik tidak berujung. Dampak lebih jauh lagi adalah dosa dan balasan di akhirat kepada pelakunya.
3. Strategi Islam dalam mengasuh anak adalah sebagai berikut. Orang tua memiliki kesadaran yang benar, orang tua menancapkan akidah Islam dan menjadi teladan. Selain itu, membekali anak dengan tsaqofah Islam dan perlu dukungan negara dalam menyelenggarakan pola pengasuhan yang komprehensif.
Post a Comment