Ironi Pemberantasan Korupsi Dalam Sistem Demokrasi


Oleh Ummu Ainyssa
Pendidikan Generasi dan Member AMK

Sedih, kaget, dan kecewa. Itulah yang dirasakan oleh Nurhayati saat menerima surat pemberitahuan dari Kanit Tipikor Polres Cirebon bahwa dirinya dinyatakan sebagai tersangka. Bagaimana tidak, ia yang telah berani melaporkan dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor), tetapi malah ia sendiri juga dijadikan tersangka. Selama kurang lebih 2 tahun ia bekerja keras untuk mengungkap kebenaran. Bahkan ia menuturkan sampai ia harus meninggalkan keluarganya demi tugas yang sedang ia emban. Namun, alih-alih mendapatkan apresiasi, justru malah gelar tersangka yang ia sanding. 

Semua berawal saat Nurhayati, mantan Bendahara atau Kaur (Kepala Urusan) Keuangan Desa Citemu, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat melaporkan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh atasannya, berinisial S, mantan Kepala Desa Citemu kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Korupsi yang dilaporkan terkait APBDes Citemu Tahun Anggaran 2018-2020 sebesar 818 juta rupiah. Selama kira-kira 2 tahun, Nurhayati bekerjasama dengan BPD untuk menyelidiki kasus atasannya itu. Hingga akhirnya BPD pun melaporkan S kepada aparat penegak hukum. Saat ini S sudah dinyatakan sebagai tersangka. Namun tidak lama setelah itu, Nurhayati pun ikut ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan ikut membantu memperkaya S. 

Selanjutnya kasus ini pun viral di media sosial dan menarik perhatian publik. Menuai kritik dan protes dari masyarakat termasuk kecaman dari para netizen di dunia maya. Akan tetapi selang beberapa hari setelah video ini viral, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, memberikan sinyal agar kasus Nurhayati ini tidak dilanjutkan. Netizen pun mengira bahwa dihentikannya kasus ini hanya karena telah viral dan banyak kecaman dari publik. Meski hal itu dibantah oleh Mahfud MD. Menurutnya kasus ini dihentikan karena memang belum cukup bukti. Padahal sebelumnya, waktu awal penetapan sebagai tersangka, kepolisian mengatakan bahwa penetapan ini sudah sesuai prosedur termasuk pengumpulan bukti-bukti. 

Sungguh ironi, di negeri yang katanya ingin memberantas habis tindak korupsi, nyatanya hal itu tidak lebih sebatas jargon saja. Genderang melawan korupsi hanya sebatas basa basi. Kasus Nurhayati ini jelas-jelas memperlihatkan ketidakseriusan negara dalam memberantas korupsi. Bagaimana tidak, jika memang negara serius untuk menghabisi tindak korupsi, seharusnya kasus ini dijadikan sebagai bentuk pelajaran bagi masyarakat agar mereka juga tidak takut untuk melapor. Tindakan keberanian Nurhayati seharusnya dijadikan cermin bagi masyarakat, bagaimana ikhlasnya ia membantu membongkar kasus yang telah merugikan negara. Namun yang ditunjukkan oleh aparat penegak hukum, justru malah semakin menampakkan kecacatan hukum negeri ini. Kasus ini bisa jadi membuat masyarakat semakin takut untuk melapor. 

Sementara kasus korupsi sendiri semakin subur, bak jamur di musim hujan dikarenakan mahalnya sistem yang diterapkan di negeri ini, yakni sistem demokrasi. Sistem yang mahal inilah yang akhirnya hanya melahirkan pejabat politik yang tersandera utang politik. Mereka terus memutar otak untuk mengembalikan modal yang tidak sedikit.

Sistem demokrasi yang berasaskan pada sekularisme, yang secara nyata menjauhkan peran Sang Pencipta dari urusan kehidupan, sudah pasti melahirkan para pejabat yang tidak lagi jujur dan amanah. Bahkan tidak ada lagi rasa takut dalam hatinya ketika melakukan tindakan yang jelas-jelas diharamkan oleh agama. Yang ada dalam isi kepala mereka bagaimana mereka mendapatkan manfaat demi kepuasan dirinya sendiri. Ditambah lagi sanksi yang tidak tegas, bukannya membuat mereka jera, tapi malah membuat mereka semakin diperlakukan bak raja. Tidak sedikit para pelaku tindak pidana korupsi tersenyum bagaikan tidak ada rasa penyesalan atau malu saat ditangkap oleh penegak hukum. Bahkan pernah terdengar kabar bagaimana seorang tersangka korupsi yang sedang ditahan di penjara pun bisa melenggang ke luar negeri. 

Maka dengan melihat kasus ini, sudah seharusnya menjadi pengingat pada seluruh umat bahwa sesungguhnya umat wajib mencari alternatif sistem atau alternatif hukum yang benar-benar bisa melindungi segenap masyarakat dari bahaya korupsi. Sistem yang benar-benar akan memberantas habis para koruptor hingga ke akar-akarnya. Alternatif sistem itu tidak lain adalah sistem yang berasal dari Sang Pencipta manusia, alam dan kehidupan yakni Allah Swt. Sudah saatnya umat untuk kembali pada syariat Islam dan menegakkan Islam agar kejahatan korupsi benar-benar bisa dibasmi dari bumi pertiwi. Adapun pemberantasan korupsi di dalam sistem Islam ini bisa dilakukan melalui beberapa upaya diantaranya: 

Pertama, penanaman iman dan takwa, khususnya kepada mereka para pejabat dan pegawai. Aspek ketakwaan inilah yang akan menjadi standar utama dalam pemilihan para pejabat. Dengan ketakwaan ini, akan mencegah mereka melakukan tindakan kejahatan korupsi. 

Kedua, sistem penggajian yang layak. Dengan penggajian yang layak serta terpenuhinya segala macam kebutuhan, maka tidak ada lagi alasan untuk melakukan korupsi

Ketiga, ketentuan serta batasan yang sederhana dan jelas tentang harta ghulul (penggelapan harta) serta penerapan pembuktian terbalik. Harta yang diperoleh para pejabat, pegawai dan penguasa selain gaji yang ia terima, baik itu berupa hadiah, pungutan, fee, suap, dll merupakan ghulul yang hukumnya adalah haram. Maka untuk mengetahui ada atau tidaknya harta ghulul yang ia miliki, harus di audit secara teliti. Jika ada penambahan harta yang tidak wajar, maka pemilik harta harus bisa membuktikan dari mana harta tersebut ia peroleh. Jika tidak bisa, maka harta tersebut akan disita dan dimasukkan ke kas negara. Sanksi penyitaan harta ghulul ini bisa ditambah dengan denda, atau biasa disebut sebagai pemiskinan terhadap koruptor. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim, Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa yang kami angkat untuk suatu tugas dan telah kami terapkan atasnya gaji, maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul."

Keempat, hukuman yang bisa memberikan efek jera dalam bentuk sanksi ta'zir. Hukuman ini bisa berupa tasyhir (pewartaan/ekspos), denda, penjara yang lama, atau bahkan hukuman mati, tergantung tingkat dan dampak korupsinya. 

Penerapan hukum di atas bukan hanya diterapkan kepada para pejabat, tetapi juga kepada orang-orang dekatnya.

Seperti yang pernah diterapkan oleh Khalifah Umar bin al-Khattab, pemimpin yang sangat antikorupsi. Ia bersikap sangat tegas ketika melihat unta milik anaknya sendiri Abdullah bin Umar, yang paling gemuk di antara unta-unta yang digembalakan di padang gembalaan umum. Ia pun menyuruh Abdullah untuk menjual untanya, lalu meminta kelebihan dari modalnya untuk dimasukkan ke kas negara. Hal ini ia lakukan karena ia menilai unta itu paling gemuk karena mendapatkan rumput terbaik mengingat Abdullah bin Umar adalah putra Khalifah. 

Selain itu Umar juga selalu mengawasi harta yang diperoleh bawahannya. Beberapa kali ia mencopot jabatan atau menyita harta bawahannya hanya karena melihat harta bawahannya tersebut semakin bertambah di luar gaji yang diberikan oleh negara. Seperti contoh, Khalifah Umar pernah mencopot jabatan Atabah bin Abi Sufyan ra., gubernur di Thaif. Ketika bertemu dengan Atabah, Umar melihat Atabah membawa uang sebesar 30 ribu dirham. Umar pun menanyakan perihal uang tersebut. Atabah menjawab bahwa uang tersebut ia dapatkan dari hasil jerih payahnya selama menjabat gubernur. Umar kemudian menyanggah pernyataan Atabah dengan mengatakan bahwa harta yang dihasilkan pejabat selama berkuasa, selain dari gaji, tidak ada jalan lain kecuali diserahkan kepada Baitul Mal.

Dari sini jelas, bahwa sistem yang benar-benar antikorupsi hanya bisa dijalankan di bawah kepemimpinan yang bertakwa, amanah dan takut kepada Allah Swt. Dengan ketakutannya kepada Allah,ia akan berkomitmen secara tegas untuk menjaga harta rakyat dan negara. Pemimpin seperti inilah yang akan menunjuk dan memilih pejabat dari orang-orang terbaik, bertakwa, serta memiliki profesionalitas. Bukan menunjuk pejabat hanya karena kedekatan, hubungan kekerabatan, kolega, pertemanan atau kelompok. Pemimpin seperti ini hanya akan kita temukan dalam sistem yang juga menjunjung tinggi ketakwaan kepada Allah Swt., yakni sistem Islam. Kesempurnaannya akan bisa kita rasakan dalam penerapannya secara kafah dalam bingkai Khilafah ala minhajin nubuwwah. 
Walalhu a'lam bi ashshawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post