Pegiat Literasi
Saat Omicron mulai merajalela, tidak sedikit pakar dan pengamat kesehatan yang memperkirakan pandemi segera berlalu dan varian tersebut adalah yang terakhir. Kalaupun belum, setidaknya sakitnya sudah seperti flu biasa. Alhamdulillah semoga benar adanya.
Tapi jangan senang dulu. Invasi Rusia ke Ukraina sejak beberapa waktu lalu juga bakal berdampak besar bagi dunia, tak kalah dengan pandemi. Utamanya di sektor energi. Dunia yang dengan kemajuan teknologi informasi sekarang ini ibarat kampung yang besar, sedang terancam krisis energi akibat tetangga yang menjual minyak sedang konflik dengan tetangga sebelahnya lagi.
Ya, Rusia memang merupakan negara kedua terbesar pengekspor minyak dunia. Analogi tetangga sebelah di atas tentu bukan hendak mengecilkan gambaran perang sebatas konflik antar tetangga, namun ingin menggambarkan betapa seluruh dunia bisa sangat merasakan imbas dari invasi tersebut. Tak terkecuali bagi negeri zamrud khatulistiwa.
Salah satu imbasnya yang sudah kita saksikan sendiri, jatuhnya sanksi ekonomi pada Rusia oleh Amerika dan Uni Eropa berupa pelarangan impor migas dari Rusia di awal perang membuat harga minyak mentah dunia melonjak hingga menyentuh angka 130 dolar AS per barel. Konsekuensinya, potensi kelangkaan minyak berikut produk turunannya membayangi dunia.
Terlebih bagi negara-negara importir minyak termasuk Indonesia. Ketergantungan pada harga minyak dunia menjadi sangat tinggi. Untuk Indonesia, hal ini otomatis akan membebani APBN yang selanjutnya pasti berimbas pula pada pemulihan perekonomian bangsa yang sudah sengkarut diterpa pandemi. Seperti kata pepatah, sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Mungkin tak banyak yang tahu bahwa PT Pertamina sudah mulai menaikkan harga BBM non subsidi untuk jenis Pertamax Turbo, Pertamina Dex, dan Dexlite. (kompas.com, 4/3/2022) Walaupun BBM bersubsidi belum mengalami kenaikan, tetapi dengan naiknya harga minyak dunia bukan mustahil melonjaknya harga Pertalite, salah satu yang masih disubsidi tinggal tunggu waktu. Ini karena pemerintah harus memberikan kompensasi pada Pertamina yang menjual BBM di bawah harga pasaran dunia sementara sudah diketahui bersama, APBN sudah lama defisit meski belum terjadi kenaikan harga minyak.
Tak cukup sampai di situ, bisa dipastikan pula efek domino yang akan menyusul. Dalam kondisi APBN yang minus bahkan mungkin sudah jebol, hanya dua jalan keluar utama pastinya yang bisa ditempuh Pemerintah seperti yang sudah biasa dilakukan selama ini. Yaitu dengan menambah utang luar negeri dan menggenjot pajak. Lalu siapa yang akan menanggung keduanya? Sudah pasti rakyatlah yang terbebani. Ditambah lagi turut melambungnya biaya angkut hasil produksi akan menaikkan harga pangan. Selanjutnya inflasi tak terhindarkan. Daya beli masyarakat pun ikut terjun bebas.
Masalah semakin rumit karena bukan hanya harga minyak bumi yang melangit tapi juga minyak kelapa sawit. Harga CPO (minyak sawit mentah) internasional sudah mencapai hampir Rp 23.000 per liter. Sedangkan di dalam negeri hampir Rp 16.000 per liter. Faktor ini pula antara lain yang memicu terjadi kelangkaan minyak goreng. Sebab kuat dugaan banyak produsen yang berspekulasi dengan menjual bahan baku ke luar ketimbang dalam negeri demi keuntungan yang berlimpah. (bisnis.com, 9/3/2022) Amboi, lagi-lagi ujungnya hanya mengantar rakyat ke jurang derita dan kesengsaraan.
Masih ingat dengan lirik lagu, “Bukan lautan hanya kolam susu, ikan dan udang menghampiri dirimu?” Ya, Indonesia memang tanah surga yang mengandung sumber daya alam berlimpah termasuk minyak bumi di dalamnya. Namun mengapa harus impor?
Dari data yang ada, tak kurang 500.000 barel minyak per hari minyak mentah diimpor dari luar. Alasannya, produksi minyak mentah di Indonesia hanya mampu mencapai 700.000 ribu barel per hari (bph). Padahal, konsumsi dalam negeri mencapai 1,4 juta bph hingga 1,5 juta bph. Maka impor pun terpaksa harus dilakukan. (ekonomi.bisnis, 24/2/2022)
Sungguh alasan absurd. Kenyataannya secara kasat mata terlihat produksi yang tidak mencukupi disebabkan karena 85% produksi minyak di Indonesia dikuasai oleh swasta dari hulu hingga ke hilir. Berarti negara hanya mengelola 15% di sektor hulu. Apalagi dalam UU Minerba No.4/2009 juga tertulis bahwa investor bisa memiliki, menambang, dan menjual sendiri hasil tambangnya. Wow!
Sampai di sini jelas, berlepas tangannya negara dari pengurusan sumber daya alam dengan menyerahkan ke swasta merupakan bukti konkret penerapan sistem ekonomi neo liberal yang bertumpu pada ideologi kapitalisme. Peran negara tak lebih dari regulator yang berfungsi bak polantas di perempatan lampu merah. Hadir mengatur tapi absen mengurusi. Masing-masing individu rakyat dibiarkan berjuang sendiri mengurus kebutuhannya masing-masing. Bahkan jika untuk itu harus mengantre 5 jam untuk mendapat 1 liter minyak goreng, misalnya. Miris.
Tetapi inilah yang terjadi selama kapitalisme dengan asas sekularismenya terus dibiarkan mencengkeram tak hanya di negeri ini, bahkan dunia seluruhnya. Paradoks demi paradoks bakal terus terjadi. Antara lain, produsen minyak tapi impor, negeri kaya sumber daya alam tapi mengandalkan utang dan pajak untuk membiayai kebutuhan rakyatnya, atau negeri mayoritas muslim tetapi alergi syariah, dan masih banyak lagi.
Alhasil sudah seharusnya kita mengucap sayonara pada kapitalisme dan selamat datang pada Islam. Sebab berbeda dengan ideologi lainnya yang notabene buatan manusia, Islam diturunkan oleh Sang Pencipta seluruh alam dengan manusia di dalamnya. Dalam Islam, negara adalah pihak yang bertanggungjawab mengatur seluruh urusan umat bukan dengan kepentingan dan hawa nafsu melainkan berlandas pada syariat semata.
Syariat menetapkan kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara, dalam hal ini Khilafah yang merupakan sistem pemerintahan warisan Rasulullah saw. Hasil pengelolaannya diserahkan ke Baitul Mal agar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat. Mulai dari membangun jalan, jembatan, bandara, rumah sakit dan lain sebagainya.
Sebaliknya, diharamkan bagi negara menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu maupun swasta terlebih asing.
Rasulullah saw. bersabda,
"Kaum muslim bersekutu dalam tiga hal; air, padang rumput dan api." (HR. Ahmad)
Imam as-Syaukani, dalam kitab Nailul Authar menyatakan, hadis ini secara keseluruhan menunjukkan adanya hak bersama (umum) untuk 3 hal di atas secara mutlak, tanpa kecuali.
Selain itu, BBM dalam konteks ekonomi termasuk barang publik yang wajib dikelola negara. Jika tidak, akan berpotensi memantik monopoli. Sebabnya BBM merupakan barang publik yang bersifat in elastis sempurna. Artinya, umat sangat bergantung kehidupannya dengan BBM. Jika dikelola swasta, swasta bisa dengan seenaknya menentukan harga, mirip dengan yang berlangsung saat ini.
Hanya saja aturan terkait kepemilikan umum baru sebagian saja dari Islam yang kafah. Penting dicatat bahwa mengambil dan mengamalkan syariah secara menyeluruh dalam kehidupan sehari-hari sejatinya konsekuensi dari keimanan kepada Allah Swt. dan kecintaan pada Rasul saw. Begitu pula memperjuangkan tegaknya Islam sebagai solusi segenap problem kehidupan tak lain bentuk sayang antar sesama muslim khususnya dan manusia pada umumnya agar dapat bersama meraih keridaan Allah Swt. Sang Maha Pencipta.
Wallaahu a’lam bish-shawab.
Post a Comment