Oleh Iit
Muslimah Peduli Umat
Dari Ibnu 'Umar radliyallâhu 'anhumâ, dari Nabi Shallallâhu 'Alayhi Wasallam beliau bersabda: "Barangsiapa menimbun bahan makanan selama 40 hari, maka ia terlepas dari (rahmat) dan Allah melepaskan diri darinya."
Diriwayatkan dari Sa'id bin Musayyab, dari Umar bin Al Khaththab radliyallâhu 'anh, dari Rasulullah Shallallâhu 'Alayhi Wasallam, beliau bersabda: "Orang yang mendatangkan bahan makanan itu diberi rezeki (yang banyak), sedangkan orang yang menimbun bahan makanan itu di kutuk."
Yang dimaksud dengan orang yang mendatangkan bahan makanan adalah orang yang membeli bahan makanan dari tempat lain, kemudian ia membawa ke tempat dimana mereka tinggal, lantas di jual lagi dengan segera. Orang yang seperti itu akan dikaruniai rezeqi yang banyak, karena orang-orang di sekitarnya dapat memperoleh manfaat atas usahanya itu. Sedangkan orang yang menimbun bahan makanan dengan maksud agar harganya mahal dikutuk, karena merugikan orang banyak.
Asy-Sya'bi meriwayatkan bahwa ada seseorang yang bermaksud menyerahkan anaknya untuk suatu pekerjaan, lantas ia mohon petunjuk kepada Nabi Shallallâhu 'Alayhi Wasallam, maka beliau bersabda:
"Jangan kamu serahkan anakmu kepada penjual gandum, tukang jagal, dan penjual kain kafan. Sekiranya penjual gandum menghadap Allah Ta'ala dalam keadaan berzina atau meminum minuman keras itu lebih baik baginya daripada ia menghadap Allah Ta'ala dalam keadaan menimbun bahan makanan selama 40 hari..."
Al-Faqih menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan menimbun bahan makanan adalah apabila seseorang memborong bahan makanan di daerahnya lantas ia menimbunnya, tidak mau menjualnya, sehingga orang-orang kesulitan untuk mendapatkannya. Itulah penimbunan bahan makanan yang dilarang. Dan ia berhak mendapat hukuman takzir.
Sebagian ulama berpendapat bahwa penimbunan yang haram itu hanya berlaku untuk bahan makanan pokok (baca: beras) karena pada umumnya masyarakat banyak akan kesusahan karena adanya pihak-pihak tertentu yang melakukan penimbunan bahan makanan pokok. Inilah pendapat Syafi’iyah dan Hanafiyah. Adapun Imam Malik dan Sufyan Ats-Tsauri, maka beliau berdua melarang penimbunan segala macam barang.
Pendapat yang kuat adalah pendapat yang kedua, dengan mempertimbangkan hadits, Dari Ma’mar bin Abdullah; Rasulullah bersabda, “Tidaklah seseorang melakukan penimbunan melainkan dia adalah pendosa.” (HR. Muslim, no. 1605)
Oleh karena itu, semua bentuk penimbunan barang itu terlarang dalam ajaran Islam, baik beras, sembako secara umum, atau pun non-sembako.
Hadits Riwayat Ibnu Majah, dan sanadnya hasan menurut Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah:
"Siapa yang suka menimbun makanan orang-orang Islam, maka Allah akan mengutuknya dengan penyakit kusta dan kebangkrutan." (HR Ibnu Majah, sanad hadits ini hasan)
Alasan hukum haramnya menimbun barang yang digunakan oleh para ulama adalah adanya kesengsaraan (al-madlarrah), di mana dalam menimbun ada praktik-praktik yang menyengsarakan (al-madlarrah) orang lain, yang hal tersebut tidak sejalan dengan tujuan syari’at Islam yaitu menciptakan kemaslahatan (tahqîq al-mashâlih) dengan langkah mendatangkan kemanfaatan (jalbul manfa’ah) dan membuang kesengsaraan (daf’ul madlarrah). Apalagi kalau diperhatikan perbuatan menimbun merupakan hanya berupaya mencari keuntungan bagi dirinya sendiri di atas penderitaan orang lain.
Penimbunan barang di Indonesia dewasa ini menjadi tradisi yang dijaga kelangsungannya, entah oleh siapa. Ini memang selalu terjadi, baik ketika menjelang Natal, bulan Ramadlan atau lebaran, juga setiap akan dinaikkannya harga BBM, atau ketika pemerintah hendak melangsungkan manuver-manuver project un-faidah bagi masyarakat kecil.
Mungkin ini juga yang menjadi alasan jika sampai saat ini di Indonesia tidak ada peraturan hukum yang secara jelas mengatur tentang penimbunan.
Ini semakin menampakkan bathilnya ketika menempatkan hak membuat hukum itu kepada manusia. Dengan kerakusannya, manusia membuat hukum untuk kepentingan pribadinya, termasuk kepentingan bisnis para pemilik modal. Tidak peduli rakyat semakin susah, tidak peduli lingkungan yang rusak.
Alhasil, syariah Islamlah yang bisa meminimalisir bencana akibat kerakusan korporasi serakah yang bekerja sama dengan politisi penghamba uang. Allâhu A'lam bish-shawab.[]
Post a Comment