Subsidi Dicabut Diganti HET: Minyak Goreng Murah di Tangan Korporasi

Oleh: Nurul Rabiatul Adawiyah S.Pd

Persoalan minyak goreng saat ini masih diperbincangkan. Sebab sebelumnya harga minyak goreng sempat melejit, kini pemerintah menetapkan Harga Ecerah Tertinggi (HET) minyak goreng. Namun, justru fakta dilapangan tidak semanis wacana. Keberadaan minyak goreng justru menghilang alias langka.

Kementerian Perdagangan menetapkan batas harga bahan baku minyak goreng agar terjangkau oleh produsen. Kebijakan ini juga didukung oleh kewajiban pemasokan bahan baku ke dalam negeri dari eksportir bahan baku minyak goreng.

Setelah mengevaluasi kebijakan itu, Mendak Lutfi mengeluarkan kembali kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 20% bagi eksportir bahan baku minyak goreng, serta, Domestic Price Obligation (DPO) untuk harga bahan baku minyak goreng di dalam negeri.

Kebijakan mengenai harga minyak goreng 14.000/liter tersebut tidak lagi berlaku mulai tanggal 1 Febuari 2022 karena harga CPO (Crude Palm Oil) sudah ditetapkan dan bahan bakunya sudah diturunkan (harganya) melalui DPO. Maka, dalam hal ini pembayaran selisih harga dari harga keekonomian ke harga HET tidak lagi diperlukan. (Kompas.com 27/01/22).

Pada kebijakan pekan lalu, Permendag nomor 01/2022 dan Permendag 03/2022, Pemerintah menggelontorkan subsidi sebesar Rp 7,6 triliun dari dana Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) guna menstabilkan harga. Skemanya, selisih harga akan dibayarkan kepada produsen minyak goreng sebagai pengganti selisih keekonomian.

Namun dengan kebijakan baru ini, berarti pemerintah menganggap perannya dicukupkan dengan menetapkan HET dan pemaksaan pada produsen sawit untuk menjual 20% sawit untuk produksi minyak dalam negeri. Benarkah mampu menjadi solusi?

Meski Indonesia selama ini dikenal sebagai penguasa minyak sawit secara global, akan tetapi perkebunan kelapa sawit di Indonesia banyak yang dikelola oleh investor asing. Jadi, mengenai naik turunnya harga komoditas sawit itu dikendalikan oleh bursa negeri jiran Malaysia. Dan harga minyak sawit yang dijual Indonesia juga mengacu pada bursa komoditas yang berada di Rotterdam, Belanda.

Teramat kejam sekaligus ironis menyaksikan polemik naik turunnya harga minyak goreng. Semuanya tidak lepas dari akal bulus kapitalisme yang rakus meraup fulus. Terlebih, keberadaan harga adalah salah satu aspek yang sangat penting dalam ekonomi kapitalisme untuk memainkan produksi, konsumsi, dan distribusi.

Jadi, adanya polemik minyak goreng bukan hanya soal kelangkaan sehingga penetapan HET menjadi solusi pemerintah. Namun, berhubung harga adalah alat pengendali dalam sistem kapitalisme. Pada titik inilah para kapitalis sangat leluasa bermain sehingga dapat meraih profit sebesar-besarnya dalam wujud kebijakan apa pun.

Tidak heran, para pemodal dalam kapitalisme akan menciptakan mekanisme harga atau struktur harga komoditas di pasaran, karena menurut mereka harga akan mempengaruhi keseimbangan ekonomi secara otomatis.

Hal ini tentu berbeda dengan tata aturan dalam sistem ekonomi Islam. Dalam Islam, Allah SWT. telah memberikan hak kepada setiap orang untuk membeli dengan harga yang ia sukai. Ini sebagaimana hadis, “Sesungguhnya jual beli itu (sah karena) sama-sama suka.” (HR Ibnu Majah).

Namun, ketika negara mematok harga untuk umum maka Allah SWT. telah mengharamkan. Allah melarang tindakan pemberlakuan harga tertentu barang dagangan untuk memaksa masyarakat agar melakukan transaksi jual-beli sesuai harga patokan tersebut.

Ini sebagaimana hadis, “Harga pada masa Rasulullah saw pernah melambung. Lalu mereka melapor, ‘Ya Rasulullah, seandainya saja harga ini engkau patok (tentu tidak membumbung seperti ini).’ Beliau saw menjawab, ‘Sesungguhnya Allah-lah Maha Pencipta, Maha Penggenggam, Maha Melapangkan, Maha Pemberi Rezeki dan Maha Menentukan Harga. Sesungguhnya aku sangat ingin menghadap ke hadirat Allah sementara tidak ada seorang pun yang menuntutku karena suatu kezaliman yang aku lakukan kepadanya dalam masalah harta dan darah." (HR Ahmad).

Kondisi melambungnya harga barang memang suatu realitas yang kadang tidak bisa kita hindari. Hal ini misalnya terjadi pada masa peperangan, krisis politik, dan sebagainya. Yang memang merupakan akibat tidak tercukupinya barang di pasaran karena adanya penimbunan barang atau karena barangnya memang sedang langka. Namun, solusi masalah ini bukan dengan mematok harga.

Jika kelangkaan barang terjadi karena penimbunan, penimbunan tersebut jelas Allah haramkan. Jika kelangkaan barang terjadi karena barangnya memang langka, penguasa harus melayani kepentingan umum tersebut.

Penguasa semestinya berusaha mencukupi pengadaan barang tersebut di pasaran dengan cara mengusahakannya mengambil dari kantong-kantong logistik barang yang bersangkutan sehingga keberadaan barang terjaga, tidak harus menjadi langka. Dengan demikian, melambungnya harga dapat terhindarkan.

Wallahualam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post