Rajab ; Momentum Perjuangan, Menyongsong Kembali Tegaknya Khilafah


Oleh : Ummu Utsman 

Bulan Rajab adalah bulan haram (bulan mulia). Bulan Rajab merupakan bulan suci yang diagungkan oleh Allah SWT sebagaimana bulan Dzulhijah, Dzulkaidah, dan Muharram. Allah Swt. berfirman, 

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ 

“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram…”(QS at-Taubah : 36)  

Di bulan istimewa ini hendaknya umat muslim berlomba-lomba memperbanyak amal ibadah. Karena Allah SWT akan melipatgandakan pahalaNya. 

Selain sebagai bulan mulia, di bulan Rajab banyak peristiwa penting dalam sejarah Islam yang patut untuk kita renungkan.

Di antara peristiwa itu adalah hijrah pertama kaum muslim ke Habsyah yang terjadi pada tahun ke-5 kenabian, peristiwa Isra Mikraj pada tahun ke-10 kenabian, perang Tabuk melawan adidaya Romawi pada tahun ke-9 setelah hijrah, dan peristiwa pembebasan Baitul Maqdis, Palestina. Tepatnya pada Rajab tahun 583 H. Setelah perjuangan panjang melawan pasukan Salib, bi idznillah, Baitul Maqdis akhirnya kembali ke pangkuan umat Muslim.  

Adalah Shalahuddin al-Ayyubi, sang pemberani yang memimpin pembebasan Baitul Maqdis dari pasukan Salib. Kemenangan ini disambut haru dan gemuruh gema takbir yang dikumandangkan. Shalahuddin langsung memimpin salat Jumat di Masjid Al-Aqsha untuk pertama kalinya, setelah pembebasan kota Al-Quds.  

Pada saat itu, masyarakat Palestina diberikan perlindungan dan jaminan hidup di bawah kepemimpinan khilafah Islamiyah. Tak hanya itu, masyarakat yang majemuk di dalam khilafah, dapat menjalankan segala bentuk peribadatannya dengan bebas. Termasuk menjaga keamanan tempat-tempat ibadah mereka. Bahkan pada saat itu juga tentara salib banyak yang masuk Islam. Bukan karena mereka takut. Bukan juga karena paksaan, melainkan karena mereka merasakan kemuliaan Islam.

Kepemimpinan Islam pada saat itu terus meluas mencapai 2/3 dunia. Namun pada tanggal 27 Rajab 1342 H atau 3 Maret 1924 M Daulah Islamiyah yang tersisa di Turki berakhir akibat dihancurkan oleh Mustafa Kemal Attaturk yang merupakan antek Inggris. Daulah yang sebelumnya menerapkan syariat Islam diganti menjadi negara sekuler. Ini berarti tak ada lagi hak dan kewajiban warga negara sesuai dengan pengaturan Islam. Bahasa Arab yang menjadikan umat memahami tsaqofah Islam saat itu tak lagi menjadi bahasa nasional. Dan tak ada lagi junnah (pelindung) umat Islam atas serangan kaum imperialis baik secara fisik maupun nonfisik.

Keruntuhan khilafah benar-benar telah membuka pintu keburukan bagi umat Islam. Negeri-negeri Islam tercerai-berai, umat muslim masuk dalam cengkeraman penjajahan. Harta kekayaan mereka dijarah, kehormatan mereka dilanggar, pemikiran dan budaya mereka pun dirusak. 

Kini wilayah Daulah Islamiyah yang tadinya satu, dan dipimpin oleh seorang khalifah, terpecah menjadi lebih dari 50 negara. Umat Islam saat ini terpisahkan oleh sekat nasionalisme. Antara muslim di satu negeri tak saling peduli dengan keadaan muslim di negeri yang lain. Padahal Rasulullah SAW bersabda ''Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam saling mencintai, saling menyayangi dan mengasihi adalah seperti satu tubuh, bila ada salah satu anggota tubuh mengadu kesakitan, maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakannya, yaitu dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.'' 
(HR Bukhari dan Muslim).

Seharusnya sebagai saudara seiman dan seaqidah, kita tidak akan rela membiarkan saudara kita dalam nestapa. Seharusnya kesadaran, perasaan, dan jiwa kita senantiasa tersayat melihat saudara kita di negeri yang lain tengah menderita menghadapi kesulitan hidup dan kebiadaban penjajah. Namun karena tak ada lagi khilafah Islamiyah yang menyatukan umat muslim, hilanglah perasaan itu.

Muslim di Palestina yang dulu aman dan tentram di dalam naungan khilafah, kini dibantai dengan keji oleh zionis Israel. Masjid Al Aqsha dikuasai, rumah-rumah dihancurkan, tanahnya diambil, bahkan anak kecil yang tak berdosa pun harus tertumpah darahnya. Lantas, dimana saudara muslim yang lain? Sebagian tak peduli. Sebagian lagi ikut merasakan penderitaan, namun hanya sebatas rasa tapi tak berdaya. Mereka tak mampu menghentikan kebiadaban zionis.

Lagi, muslim di negeri lain seperti muslim Uighur, muslim Afrika, muslim Rohingya, muslim India, muslim Suriah, kondisinya tak jauh beda dengan muslim di Palestina. Mereka terjajah secara fisik. Namun lagi-lagi saudara muslim di negeri lain tak berdaya untuk menolong. 

Lantas, bagaimana dengan umat muslim di negeri kita? Di Indonesia, meskipun tidak dijajah secara fisik, akan tetapi disadari atau tidak negeri ini sedang dijajah dalam semua aspek kehidupan. Dari mulai ekonomi, politik, budaya, dan pertahanan keamanan. Sumber daya alam dikeruk dan dikuasai oleh swasta dan korporasi asing. Sesama muslim diadu domba dengan label muslim moderat dan radikal. Para ulama dan pengemban dakwah di kriminalisasi. Generasi muda muslim yang notabene merupakan harapan umat dijauhkan dari nilai-nilai dan ajaran islam.

Begitulah kondisi umat Islam ketika tak ada khilafah yang menyatukan mereka. Mudah sekali mereka terjajah. Tak ada perisai yang melindungi mereka. Umat Islam dihinakan oleh orang-orang kafir penjajah. Predikat sebagai khoiru ummah (umat yang terbaik) pun belum terlihat pada umat Islam saat ini.

Namun penderitaan umat tak selamanya. Nabi SAW dalam bisyarahnya bersabda, “Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan yang zhalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada.  Selanjutnya  akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR. Ahmad) 

Bisyarah Rasulullah SAW adalah sebuah keniscayaan. Tugas umat ini adalah berusaha untuk mewujudkannya. Datangnya bulan Rajab semestinya menjadi momentum yang tepat untuk merenungkan kembali sejarah umat Islam dan mengambil ibrah tentang apa yang semestinya dilakukan. 

Mari kita kokohkan tekad, menggelorakan semangat dan berpartisipasi semaksimal mungkin untuk mewujudkan penerapan syariah Islam secara kâffah. Karena, itulah wujud hakiki ketakwaan kita kepada Allah SWT. Ketakwaan seperti inilah yang bakal mewujudkan aneka keberkahan dari langit dan dari bumi.

Memperbanyak amalan shalat sunnah, puasa, membaca Alqur'an, dan berdzikir memang dianjurkan dan berpahala. Namun janganlah kita lupa bahwa menerapkan syariah Islam secara kaffah adalah kewajiban. Dan Islam kaffah hanya akan terwujud dalam institusi negara khilafah.

Post a Comment

Previous Post Next Post