Penulis Opini Bela Islam AMK
Tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden (KSP) Wandy Tuturoong mengatakan, pemindahan ibu kota negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur bukan hanya menjawab tantangan domestik Indonesia, seperti soal ketimpangan Jawa dan luar Jawa. Melalui pemindahan IKN, Indonesia sedang mencoba menjawab tantangan global yang nyata, yakni pemanasan global.
"Berdasarkan data penelitian, tanpa pengurangan emisi karbon, suhu bumi akan naik 1,5 sampai 3 derajat Celsius pada 2050. Ini tantangan nyata yang sedang dijawab Indonesia dengan pemindahan IKN," kata Wandy, dikutip dari siaran pers KSP, Senin (7/2/2022).
Wandy menegaskan, Indonesia telah mengungkapkan komitmennya untuk turut berpartisipasi menurunkan 29 persen emisi karbon pada 2030. Bahkan dengan bantuan internasional, Indonesia bisa meningkatkannya menjadi 41 persen.
"Kita butuh akselerasi (proses percepatan) dan upaya out of the box untuk menunjukkan komitmen itu. Apalagi 2030 hanya berjarak delapan tahun dari sekarang," ujar Wandy.
Kegagalan demi kegagalan telah dipertontonkan kepada khalayak. Masalah pandemi Covid-19, hingga sekarang pemerintah belum bisa mengatasinya. Demikian pula dengan infrastruktur laut yang ditargetkan Jokowi di periode pertamanya hanya terealisasi 50%. Kegagalan sektor perhubungan udara tampak mubazir masih sepi pengunjung. Proyek perumahan rakyat juga dinilai gagal belum memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Belum lagi kegagalan infrastruktur jalan tol, banyak proyek yang mangkrak. Masihkah kita mempercayai janji-janji manisnya?
Benarkah dengan kepindahan IKN dapat menurunkan pemanasan global?
Pertama, pemindahan IKN terus menimbulkan polemik hingga digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Disinyalir, UU IKN berpotensi melanggar UUD 1945. Menyikapi hal tersebut, wajar jika rezim mencari cara untuk meyakinkan publik bahwa pemindahan IKN merupakan sesuatu keharusan yang tidak boleh tidak, harus dipindahkan. Dengan dalih, untuk menjawab tantangan lokal utamanya tantangan global, yakni tentang pemanasan global. Publik pun sudah bisa menebak arah tujuan alasan tersebut, tidak lain merupakan bentuk pengalihan dan mencari pembenaran agar pemindahan IKN berjalan mulus dan tidak diusik. Sejatinya, pemindahan IKN untuk kepentingan oligarki dan pemilik modal, bukan untuk kepentingan rakyat.Tercatat ada 162 konsensus tambang, perkebunan kelapa sawit, dan PLTU berada di atas wilayah IKN yang pemiliknya tidak lain adalah para oligarki. Tercium aroma busuk, adanya konspirasi di antara rezim, DPR, dan oligarki baik asing maupun aseng. Anehnya, Indonesia optimis bisa berkonstribusi terhadap penurunan pemanasan global, apalagi dapat bantuan internasional. Lupa, tidak ada istilah makan siang gratis.
Kedua, dalam pasal 6 UU IKN disebutkan, cakupan wilayah IKN meliputi daratan seluas 256.142 hektare, terdiri dari 56.180 kawasan IKN dan 199.962 hektare kawasan pengembangan IKN. Adapun 59,5 % luas wilayah IKN merupakan wilayah kawasan hutan. Artinya pemindahan IKN dari Jakarta ke Kalimantan Timur untuk mewujudkan kota di dalam hutan atau hutan dijadikan kota. Berarti pembangunan IKN sarat dengan pembabatan dan pembakaran hutan yang berpotensi merusak lingkungan, ekosistem, dan fungsi hutan. Salah satu fungsi hutan sebagai pabrik oksigen alami dan menyerap karbon dioksida untuk proses fotosintesis. Oleh sebab itu, tidak bisa diterima akal, jika pemindahan IKN dapat memberikan konstribusi dalam mengatasi pemanasan global. Justru sebaliknya, ikut andil terhadap peningkatan emisi karbon atau pemanasan global.
Ketiga, apalagi di lokasi IKN ada potensi bencana kabut asap. Sebab, terdapat 1.106 titik panas api yang pernah membuat kebakaran hebat hingga seluas 6.715 hektare hutan pada tahun 2019. Itu membuktikan adanya aktivitas penambangan dengan pembabatan, pembakaran hutan, dan lahan yang dilakukan oleh pemilik modal atau oligarki yang tamak dan rakus. Tentu, dampaknya akan menambah jumlah emisi karbon. Akibatnya memicu pemanasan global yakni peningkatan suhu permukaan bumi.
Keempat, pada tahun 2015, melalui perjanjian Paris, para pemimpin dunia berjanji untuk memperlambat laju pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius, faktanya tidak bisa. Justru, pemanasan global mengarah pada kenaikan suhu sebesar 3 derajat Celcius.
Efeknya sungguh luar biasa. Sejak Juli 2021, telah terjadi beragam peristiwa alam ekstrem di berbagai negara. Seperti terjadi gelombang panas di Kanada, banjir di Filipina dan Eropa Barat, termasuk di Indonesia. Kebakaran hutan di Pulau Komodo, Yunani, Turki, dan Australia. Naiknya permukaan laut, mencairnya es di kutub dan lainnya. Fenomena tersebut, membuat Indonesia sulit untuk mewujudkan komitmennya, mengingat untuk akselerasi (proses percepatan) butuh biaya besar sekitar Rp500 triliun. Sedangkan Indonesia sudah terlilit utang sebesar Rp6.713, 24 triliun per Nopember 2021. Akankah menambah utang lagi?
Keempat, semua itu akibat diterapkannya sistem kapitalisme yang berasaskan sekularisme. Yakni sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Sistem yang mengagungkan kebebasan, yakni kebebasan beragama, berpendapat, bertingkah laku, dan kebebasan kepemilikan. Oleh sebab itu, tolok ukur perbuatan bukan haram dan halal, melainkan menghalalkan segala cara. Wajar, jika sistem ini melahirkan pemimpin dan individu-individu yang tamak dan rakus, serta tidak bermoral dan zalim. Selama kapitalisme mencengkeram negara-negara di dunia ini, sudah dapat dipastikan pemanasan global tidak akan bisa diturunkan, justru terus mengalami peningkatan.
Walhasil, pemindahan IKN tidak akan mampu menurunkan pemanasan global selama sistem kapitalisme mencengkeram negara ini. Apalagi, jika proyek IKN bakalan mangkrak seperti proyek lainnya. Sungguh, sudah jatuh tertimpa tangga.
Hanya sistem Islam yang mampu mensolusi semua problematika umat. Jalan satu-satunya campakkan demokrasi kapitalis sekuler dan ganti dengan sistem Islam. Islam tidak sekadar agama yang mengatur ibadah ritual saja, tetapi mengatur semua urusan di seluruh lini kehidupan dengan aturan Allah. Termasuk mengatur hubungan muslim dengan orang-orang kafir.
Allah melarang menjadikan orang kafir penolong setia atau pelindung, menyerahkan urusan yang berkaitan dengan kaum muslimin kepada mereka, dan menjadikan mereka sebagai orang kepercayaan.
Allah Swt. berfirman,
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai penolong setia atau pelindung dengan meninggalkan orang-orang beriman yang lain. Barang siapa yang melakukannya, maka dia telah lepas dari Allah. Kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)”. (QS. Ali ‘Imron [3]: 28)
Dalam Islam tidak ada istilah kebebasan, karena semua harus terikat dengan hukum Allah. Oleh sebab itu, umat Islam diwajibkan memiliki akidah Islam yang kuat dan kokoh. Dengan demikian akan menjadi individu yang takwallah, yakni melaksanakan perintah dan meninggalkan semua larangan-Nya.
Adapun negara diwajibkan menerapkan syariat Islam secara kafah agar berfungsi sebagai perisai dan pelindung bagi seluruh rakyatnya. Dengan demikian, terwujudlah rahmatan lil alamin. Sebab, keberkahan akan turun ke bumi sebagaimana firman Allah Swt.
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan" (QS. al-'Araf [7]: 96)
Wallahu a'lam bishshawab.
Post a Comment