Penulis Opini Bela Islam Akademi Menulis Kreatif
Mulutmu harimaumu! Artinya, 'kata-kata yang pedas atau buruk sering kali mencelakakan diri sendiri'. Tampaknya, peribahasa ini tepat untuk menggambarkan maraknya pengaduan yang berujung pada peradilan. Namun, peribahasa ini tidak berlaku untuk Arteri Dahlan, Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan. Meskipun, menimbulkan kemarahan publik dan mengganggu stabilitas nasional. Mengapa? Karena memiliki imunitas (kekebalan) hukum.
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI menilai tepat hasil gelar perkara Polda Metro Jaya, bahwa Arteria Dahlan selaku anggota Komisi III memiliki hak imunitas. Hak tersebut, diatur di dalam Pasal 20 A ayat 3 UUD 1945 dan juga Pasal 224 UU MD3.
"Intinya, anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya, baik secara lisan maupun tertulis. Di dalam ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR," kata Wakil Ketua MKD DPR RI Nazaruddin Dek Gam kepada wartawan, Jumat (4/2/2022).
"Selain itu, anggota DPR juga tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, dan kegiatan. Baik di dalam dan di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR," imbuhnya. (detik.com, 4/2/2022)
Imunitas yang sifatnya mutlak tidak bisa menuntut Arteria Dahlan dipidanakan. Pernyataan Arteria, "Copot Kajati karena pakai Bahasa Sunda," menyulut kemarahan para demonstran yang terjadi di berbagai wilayah di tatar Sunda. Betapa tidak, pada waktu hampir bersamaan dengan kasus yang sama, yakni Edy Mulyadi yang menyatakan, "Tempat jin buang anak," telah ditetapkan sebagai tersangka. Ada apa dengan hukum di Indonesia?
Hal tersebut, membuktikan bahwa hukum di Indonesia timpang. Diduga Arteria Dahlan melakukan pelanggaran terhadap konstitusi, UUD 1945 Pasal 32 ayat 2, yang harus memelihara bahasa daerah, bukannya melarang. Namun, tidak bisa dipidanakan karena memiliki imunitas (kekebalan) bersifat mutlak, yang telah diatur di dalam Pasal 20 A ayat 3 UUD 1945 dan Pasal 224 UU MD3. Padahal, dalam pasal 27 ayat (1) dijelaskan, ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Artinya, semua warga negara di hadapan hukum harusnya sama.
Tampaknya hukum di negara ini ada pengkhususan, tidak adil. Wajar, jika disebut 'hukum tajam ke bawah, tumpul keatas'. Sebab, semua itu produk hukum yang dibuat oleh manusia dalam sistem demokrasi-sekularisme. Yakni paham yang memisahkan agama dengan kehidupan. Tentu, hukum yang bersumber pada akal manusia yang lemah dan terbatas adalah batil. Apalagi bertentangan dengan firman Allah QS. al-An'am ayat 57:
"Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah".
Sebenarnya, imunitas hukum untuk anggota dewan (DPR) tidak memberikan solusi, justru mengundang masalah. Sebab, bisa jadi disalahgunakan, ini sangat berbahaya. Dengan adanya ketidakadilan, diskriminasi akan menimbulkan kegaduhan dan kemarahan rakyat. Mirisnya, dapat memicu hukum jalanan atau hukum rimba. Hal tersebut bisa saja terjadi, mengingat dalam sistem demokrasi-kapitalisme kebebasan merupakan pilar utamanya. Yakni kebebasan berakidah, berpendapat, bertingkah laku dan berkepemilikan. Inilah biang kerok penyebab kerusakan dalam tatanan kehidupan.
Jadi, selama negara ini mengadopsi demokrasi-kapitalisme yang mengusung sekularisme, melarang agama mengatur urusan publik, maka dapat dipastikan hukum tidak akan memberikan keadilan. Sebuah keadaan yang ironis. Ironisnya, sila ke-5, "Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia," rupanya hanya sebuah slogan yang tidak bisa diwujudkan.
Islam Solusinya
Allah Mahaadil, karenanya Allah mencintai keadilan. Untuk itu, Allah memerintahkan hambanya agar berbuat adil, sebagaimana firman-Nya:
“Dan apabila kalian memutuskan hukum di antara manusia hendaklah kalian memberikan keputusan hukum dengan adil.” (QS. an-Nisaa’ [3]: 58)
Bagi seorang muslim, Allah adalah ahkamul hakimin alias sebaik-baik pemberi ketetapan hukum. Allah ta’ala berfirman, “Bukankah Allah adalah sebaik-baik pemberi ketetapan hukum?” (QS. at-Tiin: 8).
Oleh sebab itu, ciri orang beriman adalah yang patuh kepada ketetapan hukum Allah dan Rasul-Nya.
Sayangnya banyak manusia yang mengingkarinya. Mereka lebih taat dan takut pada hukum buatan manusia daripada hukum Allah.
Padahal, hukum Allah adalah hukum yang tegak di atas keadilan. Allah ta’ala berfirman, “Apakah hukum jahiliah yang mereka cari? Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin.” (QS. al-Ma’idah [5]: 50)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menerangkan, bahwa yang dimaksud hukum jahiliah adalah segala ketetapan hukum yang bertentangan dengan syariat. Ia disebut hukum jahiliah disebabkan hukum tersebut dibangun di atas kebodohan dan kesesatan. (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/82])
Akibatnya, negara yang menerapkan hukum jahiliah, sudah pasti tidak memberikan keadilan. Oleh sebab itu, Allah Swt. memperingatkan kepada manusia yang berhukum jahiliah akan dihukumi sebagai kafir, zalim, dan fasik.
Allah ta’ala berfirman, “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kekafiran.” (QS. al-Ma’idah ayat 44.
Allah ta’ala berfirman, “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kezaliman.” (QS. al-Ma’idah ayat 45).
Allah ta’ala berfirman, “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kefasikan.” (QS. al-Ma’idah ayat 47)
Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!"
Hadis di atas, menunjukkan betapa adilnya sistem Islam, karena dibangun di atas pondasi akidah Islam yang kokoh. Keputusan peradilan hanya bersandar pada syariat Islam. Semua warga negara khilafah di hadapan hukum diperlakukan sama dan adil. Semua itu dilakukan semata-mata demi mengharap rida Allah Swt.
Oleh sebab itu, jika berharap pada keadilan hanya ada pada sistem Islam. Islam adalah agama Allah Swt. sekaligus sebuah ideologi. Keadilannya sudah terbukti selama 13 abad dan bisa dirasakan oleh semua umat di dunia tidak terkecuali nonmuslim.
Wallahu a'lam bishshawab.
Post a Comment