Menyoal Keamanan dan Kenyamanan Kebijakan PTM



Oleh: Susi Damayanti, S. Pd 

(Aktivis Muslimah)


Perkembangan mutasi covid-19 dari Alpha, Beta, Delta hingga Gamma terus bergelombang. Mulai gelombang 1, dilanjutkan gelombang 2, hingga berlanjut ke Gelombang ke-3 pada Februari hingga Maret tahun ini dengan varian Omicron yang berbahaya karena masuk dalam varian of convern (VOC) yang ditentukan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO). “Omicron ini varian of concern (VOC), itu berbahaya, serius dampaknya, ada potensi menyebabkan kematian dan keparahan “ujar Dicky, seorang Epidemiolog Griffath University Australia pada minggu 23 Januari 2002.


Tindakan pencegahan (preventif) hingga Pengobatan (kuratif) dalam penanganan virus yang berbahaya ini masih dianggap kurang maksimal, bahkan jauh dari yang dibutuhkan oleh masyarakat. Masyarakat banyak yang kollaps, tertular dan terpapar tanpa memandang usia tua atau muda.


Pemberian Vaksin pun digalakkan, dengan menyasar semua kalangan. Bahkan, vaksin Booster pun diluncurkan.  Mengingat masyarakat sangat membutuhkan, terutama guru, sosok mulia yang terus bersinggungan dengan para siswa. Seperti halnya tenaga kesehatan (nakes), guru juga berada di Garda depan menghadapi resiko terpapar covid-19 karena berinteraksi dengan banyak pelajar setiap hari.


"Jadi sudah selayaknya guru mendapat Booster vaksinasi untuk melindungi diri, keluarga dan peserta didik. “Papar Iman Zenatul Haeri, Kepala Bidang advokasi P2G. P2G juga mendesak pemerintah untuk meningkatkan vaksinasi anak 6- 11 tahun (siswa sekolah dasar). Bahkan Bapak Iman kemudian mengapresiasi Walikota Solo yang menunda PTM 100% karena vaksinasi anak 6- 11 tahun belum tuntas. Inilah pertimbangan PTM 100%. Dan bahkan abainya prokes menjadi hal yang lumrah di tengah masyarakat. Hal ini membuat PTM 100% menuai kekhawatiran dan terkesan tergesa-gesa.


Sesungguhnya Tindakan pengobatan (kuratif) dan budaya prokes dalam waktu yang lama ini tak akan menjadi beban bagi masyarakat dan dunia kesehatan, jika pemerintah melakukan tindakan pencegahan (preventif) sedini mungkin. Yakni mengunci wilayah dari daerah wabah. Celakanya, di saat virus corona menggila di China, justru Indonesia membuka selebar-lebarnya pintu masuk wisatawan asing. Hingga pandemi terjadi di bumi pertiwi ini dengan menelan banyak korban jiwa.


Satu-satunya alasan negara membuka pintu gerbang bagi warga asing adalah karena faktor ekonomi. Sayangnya alasan ekonomi tersebut justru membuat rakyat harus menantang maut hingga perekonomian pun berada di titik nadir. Penanganan covid 19 pun diragukan oleh rakyat jika hal tersebut memang untuk kemaslahatan dan kesehatan umat. Di mata masyarakat, penanganan covid tak lepas dari modus bisnis pemerintah yang banyak menguntungkan sebagian kalangan. Masih segar di ingatan kita terkait adanya korupsi bansos di tubuh petinggi negeri.


Ketika suatu permasalahan tidak tertangani berdasarkan sebab musababnya ibarat suatu penyakit yang salah diagnosis maka salah pula obat yang akan diberikan. Demikian pula permasalahan yang ada di dunia kesehatan hingga berujung kalang kabutnya dunia pendidikan. Pendidikan yang selama ini berbasis online menuai banyak sekali keluhan dari masyarakat, terutama untuk pembelajaran tingkat awal, misalnya tingkat TK bahkan SD dan begitu juga pada tingkat-tingkat yang lebih tinggi.


Pendidikan yang selama ini dilakukan dengan jalan daring-luring nyatanya tanpa persiapan dan kesiapan tenaga pelajar, orang tua dan fasilitas penunjangnya. Hingga dunia pendidikan pun tidak bergerak. Para siswa tidak belajar dengan semestinya, orang tua stress tak mampu memberikan pengajaran yang dibebankan kepadanya, hingga masalah fasilitas penunjang yang tak tersedia. Ketika kebijakan PTM diberlakukan, hal ini memberikan angin segar bagi orang tua yang sangat membutuhkan pengajaran bagi putra-putrinya.


Jelas, masyarakat butuh pendidikan tatap muka secara langsung. Sayangnya rencana PTM yang dilakukan oleh dunia pendidikan belum memenuhi unsur kesiapan, sehingga masih menuai pro dan kontra. Mengingat gelombang pandemi yang masih belum stabil. Rencana evaluasi berkala PTM 100% pun sebatas program. Tindak lanjut berupa peningkatan pengawasan terhadap prokes dan penyediaan sarana dan fasilitas kesehatan yang memadai di sekolah-sekolah belum menjadi prioritas pemerintah.


Sesungguhnya, Allah telah mewajibkan setiap hamba untuk menuntut ilmu mulai dari lahir hingga sepanjang hayat. Maka pemerintah pun juga harus siap berperan dalam menyambut kewajiban dari sang Kholik tersebut. Pendidikan harus benar-benar menjadi prioritas negara. Negara mempunyai kewajiban menyediakan pendidikan secara berkualitas, aman, nyaman, murah bahkan cuma-cuma dengan tujuan menghasilkan output yang sangat luar biasa. Semua itu tidak lepas dari peran negara yang mendukung kebutuhan rakyatnya. Rakyat dibebaskan di dalam menuntut ilmu dan difasilitasi semaksimal mungkin untuk mengembangkan ilmu yang dimiliki baik itu sains dan teknologi ataupun yang lain. Hal ini dilakukan dengan cara pertemuan langsung antara pendidik dan siswa.


Jika kita menengok ke belakang, akan kita dapati sejarah emas pendidikan dalam sistem Islam yang menghasilkan penemuan sains dan teknologi yang menjadi cikal bakal kemajuan teknologi masa modern kini. Peradaban Islam telah mengubah wajah dunia menjadi wajah yang penuh dengan kemajuan dunia kesehatan, sains teknologi, dunia perpolitikan, dan yang lainnya.


Negara dalam sistem Islam pun memberikan penghargaan yang luar biasa kepada para ilmuwan ilmuwan dan temuannya. Hal tersebut dikarenakan para pelajar fokus berkarya tanpa memikirkan biaya yang digunakan untuk belajar atau bahkan melakukan riset-riset baru. Maka disinilah dibutuhkan kebijakan negara yang mampu memberikan pembelajaran efektif dan efisien secara tatap muka, tentu dengan keamanan dan kenyamanan yang terjamin. Semua itu tidak akan mampu kita peroleh jika kita hidup dalam suatu sistem kapitalis yang hanya berputar pada keuntungan materi, namun tidak mendukung untuk tercapainya pendidikan yang berkualitas dan menyenangkan.


Kegemilangan dunia pendidikan pernah terjadi ketika Islam dijadikan sebagai sandaran kehidupan. Hal ini terjadi ketika ideologi Islam dijadikan sebagai parameter kehidupan. Pandemi pernah terjadi di zaman Rasulullah maupun kekhilafahan, dan itu semua di kembalikan kepada Bagaimana Allah mengatur kehidupan. Sehingga masalah pandemi dapat teratasi dengan mudah, cepat dan singkat serta tidak menyebar luas. Masyarakat pun dapat belajar dengan nyaman dan bisa memberikan karya-karya mereka yang gemilang untuk negara.


Sistem kehidupan ini sesungguhnya butuh pengaturan dan penanganan dari pemerintah yang berdasarkan pada aturan yang sudah Allah tetapkan. Di mana negara harus memberikan periayahan secara benar kepada masyarakat, termasuk dalam kasus pandemi. Yakni melakukan tindakan preventif maupun kuratif semaksimal mungkin. Negara akan menjaga wilayah nya tetap sehat dengan metode mengunci wilayah (lockdown) sebagai tindakan preventif atau pencegahan terhadap sebaran virus penyakit. Masyarakat diberikan pemahaman tentang pentingnya kesehatan dan menjadi pembiasaan serta kebiasaan warga negara. Negara juga memberikan pengobatan yang dibutuhkan oleh masyarakat secara murah bahkan gratis untuk masyarakat. Jaminan kesehatan yang diberikan oleh negara tanpa mengharap keuntungan materi, semata-mata untuk meraih ridho Allah. Jika masyarakat sudah teredukasi terkait kesehatan dan negara menjamin kesehatan masyarakat, Maka insya Allah masyarakat bisa melakukan aktivitasnya untuk menunjang kemajuan bahkan kemakmuran suatu negara karena dalam pemikiran yang sehat Insya Allah juga terdapat jiwa yang kuat.  Wallahu'alam bi shawab. 

Post a Comment

Previous Post Next Post