Menyoal KDRT, Bagaimana Solusinya dalam Islam


Oleh Nining Sarimanah
(Pemerhati Umat)

Jagat maya tanah air mendadak  dihebohkan dengan penggalan video ceramah Ustadzah Oki Setiana Dewi yang isinya dianggap sebagai normalisasi KDRT. Dalam video tersebut, ustazah Oki memberikan tausiyah terkait seorang istri yang sebaiknya menutup aib suaminya termasuk jika pihak istri mendapat kekerasan fisik.

Sontak saja hal tersebut mendapat kecaman dari warganet dan publik. Usai mendapatkan banyak kecaman, Oki pun meminta maaf. Ceramah Oki Setiana Dewi ini ternyata menarik perhatian para pemuka agama kenamaan Indonesia. Mereka lantas merespon dengan pandangannya masing-masing soal KDRT, diantaranya:

1. Gus Miftah

Pendakwah nyentrik yang aktif memberikan ceramahnya di media sosial dan televisi ini mengungkapkan pandangannya melalui akun @Pengajiangusmifta.

"Lebih baik memilih pasangan yang sederhana tapi menenangkan, daripada terlihat sempurna tapi menyakitkan."

2. KH Cholil Nafis

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat  KH Cholil Nafis, mengunggah pandangannya yang bijak lewat Instagram.

"Tidak semua kekerasan dalam rumah tangga harus disimpan rapat-rapat, juga jangan sampai setiap kekerasan dalam rumah tangga diceritakan ke mana-mana dan dilaporkan ke pihak penegak hukum. Nah, keluarga itu dibangun atas saling menyayangi dan mencintai. Jika terjadi KDRT baiknya upayakan untuk diceritakan kepada orang yang tepat guna mendapat nasihat dalam menghentikan kekerasan rumah tangga." 

Beliau pun berpesan jika suami istri telah melakukan cara kekeluargaan, namun tak juga menemukan solusinya maka bisa menempuh jalur hukum dan percerian. Namun, KH. Cholil mengingatkan bahwa pilihan tersebut adalah langkah terakhir jika benar-benar tidak bisa diselesaikan baik-baik. (okezone.com, 8/2/2022)

Kritikan pun datang dari Komnas Perempuan terkait isi ceramah Oki. "Komnas Perempuan menyesalkan ceramah yang berisi anjuran untuk tidak menceritakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan terhadap istri yang dialami perempuan kepada orang tuanya. Dari ceramah itu, ada tiga poin yaitu:

Pertama, tidak jadi masalah suami memukul istri. Kedua, istri tidak boleh menceritakan kekerasan yang dialaminya karena merupakan aib rumah tangga. Dan ketiga, tidak mempercayai korban dan menilai dilebih-lebihkan," kata komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah, saat dihubungi, Kamis (3/2/2022)

KDRT sebenarnya bukanlah konsep atau istilah baru. Kaum feminis yang mempopulerkan konsep ini dengan ide kesetaraan gendernya. Konsep ini berhasil masuk ke Indonesia dalam ranah perundang-undangan, yaitu dalam UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Pada kenyataannya, penerapan UU ini tidak mampu menyelesaikan masalah atau membuat kasus-kasusnya berhenti. Alih-alih menyelesaikan masalah, penerapannya justru memunculkan problem baru. Dalam beberapa kasus telah berakhir dengan pemenjaraan suami.

Ketika suami dipenjara, maka tidak ada lagi yang menafkahi keluarganya. Akibatnya istri harus bekerja dan terpaksa mengabaikan pengasuhan dan pendidikan terhadap anak-anak mereka. Anak-anak pun terlantar sehingga timbullah berbagai macam problem generasi. Misalnya kenakalan remaja, kejahatan anak, anak menjadi sasaran kejahatan seksual, dan sebagainya.

Artinya solusi yang ditawarkan belum menyentuh akar masalah-nya. Selama akar masalahnya belum tersentuh maka akan semakin banyak persoalan yang dihadapi bangsa ini, termasuk soal KDRT. Lalu apa akar masalah KDRT ini dan bagaimana solusi Islam terhadap persoalan tersebut?.

Memukul, menampar, melukai dengan benda, dan sebagainya termasuk tindakan KDRT. Tindakan ini biasanya diawali dengan pertengkaran yang dipicu oleh banyak hal. Misalnya hubungan suami istri yang tidak harmonis, masalah ekonomi, minimnya ilmu rumah tangga, adanya orang ketiga, masalah anak, dan lainnya.

Sementara itu, akar masalah terjadinya KDRT menurut pandangan kaum feminis adalah adanya ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga. Kedudukan laki-laki sebagai pemimpin perempuan dalam rumah tangga, memandang perempuan berada di bawah kekuasaan laki-laki. Sehingga perempuan berada di posisi yang lemah dan akhirnya menjadi objek kekerasan laki-laki.

Tentu saja cara berpikir seperti ini salah. Jika kaum feminis menganggap kepemimpinan laki-laki berdampak buruk pada perempuan. Lalu bagaimana dengan kepemimpinan laki-laki dalam organisasi, perusahaan, daerah, atau bahkan negara? Apakah akan menjadikan mereka bertindak semena-mena terhadap yang dipimpinnya?
Apakah kasus KDRT yang menjadi korban seluruhnya adalah perempuan? Jelas tidak.

Perbedaan pendapat dalam mensikapi KDRT baik di kalangan pemuka agama, pengusung ide jender, dan masyarakat awam sekalipun adalah sesuatu yang lumrah terjadi di sistem sekularisme saat ini. Sistem ini meniscayakan tumbuh suburnya beragam pendapat. Baik pendapat yang sejalan dengan Islam maupun  yang jelas-jelas melanggar syariat. Sistem ini bahkan menjadi pelindung dari perbedaan pendapat yang terjadi di tengah umat. Benar atau salah tidak menjadi ukuran dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi.

Terlebih sekularisme telah mengamputasi nilai ketakwaan dalam diri umat Islam, sehingga solusi yang ditawarkan sangat jauh dari nilai syariat Islam. Apalagi kaum feminis, mereka getol menyudutkan hukum Islam. Seolah-olah Islam sumber petaka yang dialami perempuan saat ini.

Akar permasalahan KDRT bukanlah terletak pada kepemimpinan suami atas istri, tapi karena tidak adanya penerapan aturan yang benar yang mengatur hubungan antara suami istri. Hubungan antara pemimpin dan yang dipimpinnya.

Maka, tidak ada aturan yang layak untuk dijadikan solusi mendasar dalam mengatasi hubungan antara suami istri, selain aturan yang berasal dari Sang Pencipta manusia, Allah Swt., yaitu aturan Islam. Hanya Islam yang mampu mengatasi persoalan yang dihadapi manusia, termasuk persoalan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan. Dengan penerapan aturan Islam yang sempurna, maka akan terwujudlah keluarga sakinah, mawadah wa rahmah, jauh dari pertengkaran, apalagi sampai melakukan tindakan kekerasan.

Islam memiliki aturan yang sempurna dan paripurna terkait kehidupan rumah tangga. Sekaligus solusi terhadap berbagai masalah yang menimpanya. Aturan tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, Islam menetapkan bahwa kehidupan rumah tangga adalah kehidupan persahabatan.

Pergaulan yang terjalin antara suami istri adalah pergaulan persahabatan, yaitu yang dapat memberikan kedamaian dan ketenteraman antara keduanya. Demikianlah yang Allah Swt. tetapkan (lihat QS Al-A'raf [7]189, Ar-Rum [30]:21)

Syariat Islam telah menjelaskan bagaimana hak istri atas suaminya, juga sebaliknya hak suami atas istrinya agar persahabatan antara suami istri terwujud dalam persahabatan yang damai dan tenteram (sakinah). Hal ini sebagaimana firman Allah, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.“ (QS Al-Baqarah[2]: 228)

Kedua, Islam memerintahkan pergaulan yang makruf (baik) antara suami dan istri

Allah Swt. memerintahkan suami istri dalam rumah tangga agar membangun pergaulan yang baik. Sesuai firman-Nya,
"Dan bergaullah dengan mereka secara makruf (baik).” (QS An-Nisa [4]: 19)

Hal ini terlihat bagaimana rumah tangga Rasulullah Saw. dengan para istrinya, beliau sangat akrab dengan istri-istrinya, bergaul dengan mereka dengan pergaulan yang sangat baik. Diriwayatkan bahwa beliau saw. bersabda, “Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarga (istri)nya. dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluarga (istri)ku.” (HR Al-Hakim dan Ibnu Hibban dari jalur Aisyah ra.)

Allah juga memerintahkan seorang istri agar taat kepada suami. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Jika seorang istri tidur malam meninggalkan tempat tidur suaminya niscaya para malaikat akan melaknatnya sampai ia kembali.” (Muttafaq ‘alaih dari jalur Abu Hurairah).

Rasulullah saw. pernah bertanya kepada seorang wanita, “Apakah engkau sudah bersuami?” Wanita itu menjawab, “Ya.” Beliau lantas bersabda, “Sesungguhnya ia (suamimu) adalah surga atau nerakamu.” (HR Al-Hakim dari jalur bibinya Husain bin Mihshin)

Ketiga, Islam menetapkan kepemimpinan suami atas istri dalam rumah tangga.

Dalam kehidupan suami istri tidak selama berada dalam keadaan harmonis, adakalanya badai masalah menerjang biduk rumah tangga, yang membuat suasana tidak baik. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, 
Allah Swt. menetapkan kepemimpinan rumah tangga (qiyadah al bayt) berada di tangan suami. Allah Swt. berfirman, “Kaum laki laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS An-Nisa [4]: 34)

Ketika perintah suami (perkara yang tidak melanggar syariat) tidak dituruti istri, maka ia telah membangkang (nusyuz) terhadap suaminya, Allah telah memberikan hak pada suami untuk mendidik istrinya. (lihat QS An-Nisa [4]: 4)

Pukulan yang dimaksud harus merupakan pukulan ringan, yaitu yang tidak membahayakan (menyakitkan). Hal itu sebagaimana Rasulullah saw. jelaskan dalam khotbah beliau ketika Haji Wada. Saat itu beliau bersabda, “Jika mereka melakukan tindakan tersebut (yakni nusyuz), maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan (menyakitkan).” (HR Muslim dari jalur Jabir ra.)

Suami diberikan wewenang oleh syara untuk memberikan sanksi kepada istri jka si istri melakukan perbuatan dosa. Ini karena suami adalah pihak yang bertanggung jawab (qawwam) atas pengaturan dan pemeliharaan urusan rumah tangganya. Allah Swt. berfirman, “Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari cari jalan untuk menyusahkannya.” (QS An-Nisa [4]: 34)

Keempat, Islam menetapkan mekanisme penyelesaian masalah dalam rumah tangga.

Ketika terjadi persengketaan dalam kehidupan suami istri yang dapat mengancam ketenteraman. Islam mendorong mereka untuk bersabar dalam memendam kebencian yang ada. Ini karena bisa jadi pada kebencian itu terdapat kebaikan. (lihat QS An-Nisa [4]:19)

Para suami diperintahkan syara untuk menggunakan berbagai sarana yang bisa mengurangi sikap keras istrinya karena nusyuz mereka (lihat QS An-Nisâ’ [4]: 34).

Namun, jika hal itu tidak membuahkan hasil sementara masalah pembangkangan dan kebencian telah melampaui batas hingga sampai pada persengketaan, Islam memerintahkan agar ada pihak ketiga (dari keluarga suami istri) yang membantu menyelesaikan.
(lihat QS An-Nisa [4]: 35)

Penerapan hukum Islam dalam ranah keluarga tidak bisa dilaksanakan oleh individu-individu keluarga muslim, melainkan dibutuhkan juga kontrol masyarakat dan adanya keterlibatan negara. Adanya dakwah Islam kepada keluarga-keluarga muslim yang ada di sekitar kita agar mereka faham dan mau menjalankan aturam tersebut. Aktivitas itu menunjukkan kontrol masyarakat terwujud. Ketika terjadi pertengkaran, maka kita bisa menasehati keduanya agar menjadikan Islam sebagai acuan dalam menyelesaikan semua problem rumah tangga.

Sementara negara berperan dalam pelaksanaan aturan Islam secara kafah di seluruh aspek kehidupan, termasuk aturan keluarga. Penerapan Islam kafah akan menjamin terwujudnya masyarakat yang sejahtera, damai, dan aman. Juga akan menciptakan lingkungan yang sangat kondusif bagi terwujudnya keluarga-keluarga muslim taat syariat. 

Ketika terjadi pelanggaran seperti kekerasan suami yang mengancam keselamatan, Islam menetapkannya sebagai tindak kejahatan (jarimah). Negara akan memberlakukan sanksi berat kepada para pelakunya. Sanksi tersebut akan membuat pelaku jera dan mencegah siapa pun bertindak serupa. Pelaksanaan sanksi tersebut tidak akan berpengaruh pada perekonomian keluarga, karena negara akan menjamin penuh semua kebutuhan hidup mereka.

Inilah gambaran Islam dalam menuntaskan persoalan KDRT. Solusi terbaik dari Sang Khalik manusia, Allah Swt. Oleh karena itu, wajib bagi kita menjadikan Islam sebagai satu-satunya aturan yang layak untuk diterapkan sebagai solusi dalam seluruh masalah umat, bukan solusi kesetaraan gender ataupun solusi lainnya. 


Wallahua'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post