Oleh Aning Juningsih
Ibu Rumah Tangga
Data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan Indonesia berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual, terutama di tengah pandemi Covid-19.
Berdasarkan laporan, kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) mengalami peningkatan seiring meningkatnya aktivitas di dunia digital.
Komisi Nasional Perempuan mencatat, terdapat 2.500 kasus kekerasan terhadap perempuan pada periode Januari-Juli 2021. Angka itu melampaui catatan 2020 yang tercatat 2.400 kasus. Kasus pada 2020 itu sendiri melonjak 68 persen dari 2019.
Sangat miris sekali jika kita melihat banyak berita menyuguhkan berbagai macam kasus-kasus pelecehan dan kekerasan pada kaum perempuan.
KBGO merupakan bagian dari kekerasan seksual. Kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. Kebanyakan korban kekerasan seksual adalah perempuan dan anak perempuan sehingga kekerasan seksual juga merupakan kekerasan berbasis gender yang menyasar pada manusia karena jenis kelaminnya perempuan atau mengalami diskriminasi karena relasi kuasa yang timpang.
Kekerasan seksual menimbulkan dampak luar biasa kepada korban, meliputi penderitaan psikis, kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik. Dampak kekerasan seksual sangat mempengaruhi hidup korban. Dampak semakin menguat ketika korban adalah bagian dari masyarakat yang marginal secara ekonomi, sosial dan politik, ataupun mereka yang memiliki kebutuhan khusus, seperti orang dengan disabilitas dan anak.
Hingga kini hukum positif belum mampu memberikan perlindungan komprehensif korban. Termasuk di dalamnya menjamin kerugian fisik dan psikis korban, rehabilitasi korban dan juga pelaku, belum mampu melindungi hak-hak korban, menangani kasus secara komprehensif, dan mencegah keberulangan terjadinya kejahatan seksual.
Pendekatan pendidikan masyarakat juga tidak kalah pentingnya untuk memberikan penyadaran moral dan teologis bahwa kekerasan seksual tidak saja mencederai harkat dan martabat kemanusiaan, melainkan lebih dari itu. Kekerasan seksual melanggar moral dan nilai-nilai agama yang tidak hanya dipertanggungjawabkan di dunia, melainkan juga di akhirat kelak. Salah satu upaya membangun kesadaran itu adalah dengan terus menerus mensosialisasikan, bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan besar yang menjadi musuh utama agama, di samping penuhanan kepada selain Tuhan Yang Maha Esa.
Islam menjelaskan secara gamblang dan akurat peran laki-laki dan perempuan dalam kehidupan ini, serta memberikan pedoman yang rinci tentang bagaimana seharusnya mereka berinteraksi antara satu dengan yang lain dalam setiap aspek kehidupan. Sehingga tidak dikenal adanya penindasan atau diskriminasi yang dilakukan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya.
Islam adalah agama sekaligus ideologi yang sempurna. Ia mampu menjadi solusi untuk segala permasalahan hidup yang sedang dihadapi manusia, sejak kehadirannya sampai kiamat tiba.
Solusi yang Islam berikan tidak hanya berbicara solusi kuratif (penanggulangan), namun juga memberikan solusi preventif (pencegahan). Solusi tersebut tercakup dalam tiga mekanisme sebagai berikut :
Pertama, membentuk sebuah sistem yang baku berlandaskan syariát Islam.
Islam memandang kejahatan seksual (jarîmah jinsiyyah) pada dasarnya dipicu oleh hasrat dan dorongan seks (dawâfi’ jinsiyyah) yang meluap-luap.
Hasrat dan dorongan seks ini lahir dari naluri seksual (gharizatu an-nau’) yang ada pada diri manusia. Naluri ini sebenarnya merupakan fitrah dalam diri manusia, yang bisa terangsang lalu menuntut dipenuhi.
Rangsangan muncul karena dua faktor: Pertama, pemikiran (al-fikr), termasuk fantasi (al-wahm) dan khayalan (at-takhayyul);
Kedua, fakta (lawan jenis) bagi masing-masing pria dan wanita. Selama tontonan (iklan ,Film, sinetron dll), medsos, dan lagu-lagu yang ada di sekeliling kita masih dipenuhi dengan unsur-unsur porno, belum lagi fakta perempuan-perempuan di sekeliling kita baik di jalan, di mall, di pasar ataupun di tempat-tempat kerja dan pendidikan masih leluasa/bebas membuka aurat tanpa batas. Maka wajar akan mengundang gejolak pada naluri seksual untuk dipenuhi .
Sedangkan aturan yang berlaku sarat dengan paham kebebasan(liberalisme), akhirnya inilah yang membuka pintu maraknya kejahatan seksual termasuk kekerasan seksual di negeri ini.
Oleh sebab itulah dibutuhkan penerapan sistem Islam yang berlandaskan pada aqidah Islam yaitu penerapan system pergaulan Islam yang mengatur interaksi laki-laki dan perempuan baik dalam ranah sosial maupun privat.
Mulai dari mengatur urusan berpakaian, berinteraksi sampai dalam masalah penjagaan terhadap unsur-unsur porno yang bertebaran di masyarakat, baik melalui medsos, TV , musik, dll .
Kedua, adanya aktivitas amar ma’ruf nahyi munkar.
Islam memandang, bahwa manusia bukanlah robot. Ketika seorang manusia diberi pemahaman tentang mana yang benar dan salah, akan tetap ada kecenderungan dalam diri manusia untuk mengingkari apa yang telah masuk ke dalam sistem berfikirnya.
Manusia punya kecenderungan memilih yang enak dan singkat tanpa susah payah. Artinya, kecenderungan untuk berbuat salah akan tetap muncul. Maka di sinilah Islam menempatkan peran amar ma’ruf, nahyi mungkar sebagai sebuah alat kontrol sosial.
Islam mewajibkan setiap elemen masyarakat saling memberikan nasihat untuk berbuat baik, dan mencegah berbuat buruk. Aktivitas ini tentu bukan hanya tanggung jawab para kiyai atau ustadz. Melainkan siapapun juga, selama ia memiliki ilmunya.
Ketiga, diterapkannya sanksi tegas untuk pelaku.
Islam punya sanksi yang tegas dan keras terhadap pelaku tindak kejahatan/kekerasan seksual. Contohnya tindak perkosaan, maka dalam hal ini para ulama’ menyatakan, bahwa sanksi bagi pelaku tindak perkosaan ini yang mempunyai saksi adalah had zinâ, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika pelakunya Muhshan (sudah menikah); dan dijilid (dicambuk) 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun, jika pelakunya Ghair Muhshan (belum menikah). Sebagian ulama’ menambahkan kewajiban membayar mahar kepada perempuan yang menjadi korban.
Ibn ‘Abd al-Barr menyatakan, “Para ulama’ sepakat, bahwa pria yang memperkosa wajib dikenai sanksi had zina, jika bisa dibuktikan dengan pembuktian yang mengharuskan had tersebut, atau si pelaku mengakuinya. Jika tidak, maka dia harus dikenai sanksi (maksudnya, jika had zina tidak bisa diberlakukan, karena dia tidak mengaku, tidak ada 4 saksi, maka hakim bisa menjatuhkan sanksi dan ta’zir kepadanya yang bisa mencegahnya dan orang seperti dia melakukan perkosaan).
Bagi korban tidak ada sanksi, jika benar bahwa pelaku memaksanya dan menindihnya (sehingga dia tidak berdaya). Jika dia menakuti, mengancam dan menghunus senjata, maka tindakan pelaku bisa dimasukkan dalam kategori hirâbah. Maka, bisa dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kakinya secara menyilang, atau diasingkan.
Islam memiliki kejelasan dalam memandang apa yang dimaksud kriminalitas (jarimah). Oleh sebab itu, Islam memiliki sanksi yang tegas bagi pelaku kriminal. Yang tentu saja hukuman tegas ini akhirnya akan memberikan efek jera (Zawajir) kepada si pelaku, dan sekaligus menjadi penghapus dosa (Jawabir) yang telah dilakukannya ketika sampai waktunya di yaumil hisab nanti.
Jelaslah bahwa penerapan sanksi dalam Islam bukan dalam rangka menerapkan pola kekejaman. Namun sebagai perlindungan bagi manusia agar takut untuk melakukan tindak kriminal yang dapat menjerumuskannya ke neraka, dan sekaligus mendukung terciptanya manusia-manusia bertaqwa yang takutnya hanya kepada Allah SWT saja.
Dan ketiga mekanisme di atas bukanlah hal yang utopis untuk direalisasikan. Ketiganya bisa benar-benar tegak bila negara membangun negerinya berlandaskan pada sudut pandang Islam.
Wallahu'alam bishawab.
Post a Comment