Larangan Hijab di India Bukti Islamofobia Semakin Menggejala



Oleh Ummu Ainyssa
(Pendidik Generasi dan Member AMK)

Muskaan Khan, nama mahasiswi Muslim 19 tahun dari Perguruan Tinggi pra-Universitas Mandya di India ini mendadak viral. Ia disebut sebagai singa betina bagi Muslim India di tengah derasnya pertikaian tentang hijab atau kerudung di sana. Pasalnya, sebagai seorang gadis muda ia begitu lantang membela haknya sebagai seorang Muslim untuk tetap mengenakan hijab. Dengan berani ia tetap bertahan dan berdiri teguh dalam identitas iman Islamnya. Tanpa rasa takut, ia meneriakkan ucapan "Allahu Akbar" di tengah kerumunan para pemuda Hindu yang menghalangi dan memaksanya untuk melepaskan hijabnya jika ia ingin masuk ke lingkungan kampus.

Hal serupa juga menimpa para siswi di sekolah pra-Universitas Negeri (Goverment Pre-University College) di negara bagian Karnataka yang tidak diizinkan masuk kelas lantaran mereka mengenakan hijab. Perguruan Tinggi tersebut juga melarang para siswi berbicara dalam bahasa Beary dan Urdu, serta melarang mengucapkan salam Islami. Muskaan Khan dan banyak siswi muslim lainnya adalah korban dari sentimen antimuslim di India. (Republika.co.id, 11/2/2022)

Sebagai informasi, pada awal Februari Menteri Pendidikan Karnataka, Bellur Chandrashekharaiah Nagesh (BC Nagesh) menetapkan larangan mengenakan jilbab (yang dimaksud hijab atau kerudung) di lembaga pendidikan India. Protes warga khususnya kaum Muslim terkait kebijakan diskriminatif ini pun terus meluas. Unjuk rasa besar dilaporkan bukan hanya terjadi di wilayah ibu kota Bengaluru saja, tetapi juga di ibu kota Benggala Barat bahkan sampai ke New Delhi. Mereka mengatakan tidak akan berhenti sampai larangan tersebut dicabut.

Namun tampaknya pemerintah setempat tidak tergesa-gesa untuk mengambil keputusan. Alih-alih mencabut larangan, ketua Menteri Karnataka Basavaraj Bommai dari Partai Nasionalis Bharatiya Janata (BJP) malah mengumumkan penutupan sekolah di negara bagian untuk beberapa waktu.

Meski 12 persen penduduk di negara bagian itu beragama Islam, namun pemerintah di bawah kepemimpinan BJP turut mendukung larangan tersebut. BJP berdalih murid sekolah hanya menuntut ilmu bukan mengamalkan syariat agamanya. "Lembaga pendidikan bukan tempat untuk mengamalkan agama, tetapi murid harus fokus pada pendidikan. Datang ke kampus untuk belajar bukan untuk menegaskan identitasnya." ucap juru bicara BJP, Ganesh Karnik, seperti dikutip dari Al Jazeera. (KumparanNews.com, 10/2/2022)

Aksi kebencian terhadap umat Islam ini bukan kali ini saja. Sebelumnya berbagai pembunuhan pada kaum Muslim, pelecehan terhadap Muslimah, maupun perampasan hak kaum muslim masih saja kerap terjadi. Terlebih semenjak Partai BJP yang dipimpin Perdana Menteri Narendra Modi berkuasa sejak 2014. Diskriminasi dan penganiayaan terhadap Muslim semakin meningkat.

Pemerintahan Modi kerap membuat undang-undang yang mendiskriminasi kaum Muslim. Misal pada Desember 2019 lalu, Modi telah menandatangani Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan, yang isinya memberikan status kewarganegaraan bagi pengungsi atau imigran ilegal nonmuslim dari negara-negara tetangga. Sementara undang-undang tersebut tidak berlaku bagi pengungsi muslim.

Sikap pemerintah India yang membiarkan aturan pelarangan hijab di sekolah tersebut sejatinya telah membuka wajah bobrok demokrasi. India yang notabene merupakan negara demokrasi terbesar, justru kerap melakukan diskriminasi terhadap warga minoritas. Kaum Muslim di India sering kali mendapat ketidakadilan yang begitu menyengsarakan. Diskriminasi ini tak lain karena islamofobia yang semakin menggejala di sana. Terlebih pada bulan Desember 2021 dalam sebuah konferensi Partai Politik Mahasabha, pembicara menyeru pada jemaahnya untuk melakukan genosida terhadap kaum muslim demi melindungi dan menjaga India menjadi negara Hindu.

Hak Asasi Manusia (HAM) yang terlahir dari rahim demokrasi pun seolah tidak berguna. Jika memang demokrasi membela hak asasi manusia, tentu pelarangan hijab ini tidak akan terjadi, dimana pemakaian hijab merupakan kewajiban bagi seluruh Muslim. Jadi apa yang demokrasi unggul-unggulkan, termasuk mengagung-agungkan individu sesungguhnya hanyalah omong kosong belaka.

Inilah realitasnya keadaan kaum Muslim tanpa junnah. Mereka tertindas, hak-hak mereka terzalimi, teraniaya, dan didiskriminasi, terutama bagi mereka yang minoritas. Keadaan yang sungguh jauh berbeda dengan kehidupan dalam penerapan sistem Islam.

Namun heran, banyak pihak yang justru mengira bahwa penerapan sistem Islam tak jauh berbeda dengan keadaan tersebut. Alasan pihak yang menolak diterapkannya syariat Islam salah satunya adalah karena adanya pluralitas agama. Mereka mengira bahwa ketika syariat Islam diterapkan semua wajib beralih ke agama Islam, hak nonmuslim atau minoritas akan diabaikan.

Padahal kenyataan yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. sejak mendirikan negara Islam di kota Yatsrib (Madinah) tidaklah seperti demikian. Syariat Islam diberlakukan secara sama kepada semua warga negara baik Muslim maupun nonmuslim (ahlu dzimmah). Di dalam kitab Ad Daulah Al Islamiyah hal. 338 dijelaskan bahwa setiap warga negara Islam akan mendapatkan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan hukum syarak. Negara Islam tidak akan membedakan individu rakyat dalam aspek hukum, peradilan, maupun dalam jaminan kebutuhan rakyat. Seluruh rakyat diperlakukan sama tanpa melihat ras, agama, warna kulit, dan lain-lain.

Rakyat nonmuslim dibiarkan memeluk akidah dan menjalankan ibadahnya di bawah perlindungan peraturan umum. Sementara dalam hal makanan, minuman, dan pakaian, diperlakukan sesuai dengan agama mereka sebatas yang diperbolehkan oleh hukum syarak. Negara memberlakukan semua hukum syarak bagi seluruh rakyat Muslim maupun nonmuslim dalam hal muamalat, uqubat (sanksi), bayyinat (pembuktian), sistem ekonomi, pemerintahan, pendidikan, dan sebagainya.

Sejarah mengungkapkan telah banyak fakta yang menunjukkan ketidakdiaman khalifah terhadap kezaliman yang menimpa orang-orang nonmuslim. Diriwayatkan dalam sebuah kitab tentang kasus kezaliman yang dilakukan oleh seorang anak Gubernur di wilayah provinsi Mesir pada masa Khalifah Umar ibn al-khaththab r.a. Khalifah segera memanggil anak Gubernur dan juga ayahnya (Amr bin A'sh r.a.). Dalam sidang, anak Gubernur itu mengaku bahwa dia telah mencambuk anak Qibthi yang beragama Nasrani.

Sesuai dengan hukum pidana di dalam Islam, khalifah memberikan pilihan kepada korban, apakah akan membalas cambuk (qishash), atau menerima ganti rugi (diyat). Anak Qibthi tersebut memilih qishash. Ia pun mencambuk anak sang Gubernur. Setelah selesai pelaksanaan qishash, Khalifah Umar berkata, "Hai anak Qibthi, orang itu berani mencambukmu karena dia anak Gubernur, maka cambuk juga ayahnya." Akan tetapi anak Qibthi itu menolaknya, dan mengaku sudah puas dengan keadilan hukum qishash yang diperolehnya.

Selain itu keadilan hukum juga kerap Rasulullah saw. contohkan. Beliau pernah menerapkan hukum rajam kepada dua orang Yahudi yang berzina, sebagaimana beliau juga menjatuhkan hukum rajam kepada dua orang muslim yang berzina.

Seperti inilah fakta yang menggambarkan kepada kita bahwa konsep dan pelaksanaan hukum Islam yang penuh dengan keadilan. Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada penduduk Yaman sebelum masuk Islam yang mayoritas dari mereka adalah Yahudi dan Nasrani, "Siapa saja yang masih dalam agama Yahudi dan Nasrani yang dipeluknya, dia tidak akan difitnah, dan wajib baginya membayar jizyah." (Ahkam adz-Dzimmi, An-Nabhani, As-Syakhshiyah Islamiyah, juz 2/237).

Beginilah hukum Islam yang pernah dicontohkan sejak Rasulullah saw dan dilanjutkan oleh para Khalifah setelahnya hingga 14 abad. Oleh karena itu sebuah kebohongan besar jika ada yang mengatakan bahwa jika negara Islam tegak, Orang-orang nonmuslim akan mendapatkan bahaya dan diskriminasi.

Justru sistem kapitalisme yang berasaskan sekularisme inilah yang nyata-nyata melakukan kebohongan. Mereka mengklaim melindungi kebebasan individu, nyatanya ketika ada individu muslim hendak memperjuangkan hak dan kewajiban mereka, justru malah mendapatkan sikap diskriminasi.

Karenanya, tatkala Islam diterapkan sudah jelas akan mampu memimpin seluruh masyarakat yang pluralitas. Maka manakah yang akan kita pilih, menerapkan syariat Islam untuk menyelesaikan seluruh problematika umat ataukah menolaknya hanya karena sekadar kekhawatiran karena beragamnya masyarakat? Tentu sebagai seorang muslim sudah wajib bagi kita menginginkan kembalinya Islam sebagai Rahmatan lil Alamiin. Wallahu a'lam bishawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post