Kurikulum Islam di Era Transformasi Digital


Oleh Iit
Muslimah Peduli Umat


Kurikulum Merdeka telah diluncurkan pada 11/2/2022 lalu sebagai bagian dari kebijakan Merdeka Belajar episode ke-15. Bersamaan dengan itu, Pemerintah juga meluncurkan aplikasi pembelajaran bagi guru untuk memudahkan implementasi kurikulum baru tersebut, yakni Platform Merdeka Mengajar.

Kurikulum Merdeka diadopsi dari penyederhanaan kurikulum di masa pandemi, yakni Kurikulum Darurat. Menurut Mendikbudristek, penyederhanaan kurikulum dalam bentuk kurikulum darurat efektif memitigasi ketertinggalan pembelajaran pada masa pandemi. Kurikulum Merdeka juga dinilai memiliki beberapa keunggulan. Misalnya, struktur kurikulum lebih fleksibel, jam pelajaran ditargetkan untuk satu tahun, bukan per minggu sebagaimana yang selama ini berjalan. Lalu, fokus pada materi esensial, tidak terlalu padat seperti sekarang. Berikutnya, memberikan keleluasaan bagi guru menggunakan berbagai perangkat ajar sesuai kebutuhan dan karakteristik peserta didik. Dalam hal ini guru juga dapat memberikan pembelajaran sesuai dengan konteks dan muatan lokal. Dan terakhir, adanya aplikasi yang menyediakan berbagai referensi bagi guru untuk terus mengembangkan praktik mengajar secara mandiri.

Dari nama yang di usung yakni Merdeka, kemerdekaan inilah yang selalu digaungkan, baik bagi siswa maupun guru atau pendidik. Sayangnya, justru dari sinilah celah masalah itu muncul.

Pertama, tidak adanya pemaksaan (keseragaman) dalam penggunaan Kurikulum Merdeka (setidaknya hingga 2024) justru berpeluang memunculkan disparitas dalam kualitas pembelajaran.

Kedua, kebebasan yang bertumpu pada membangun minat siswa juga berpotensi masuknya pembelajaran unfaidah bagi siswa. Sebagai contoh, tentu disayangkan ketika sebuah sekolah akhirnya mengadopsi pembelajaran ekstra kurikuler -seperti- e-sport atau yang lainnya, hanya gegara banyaknya siswa yang berminat pada bidang tersebut. Padahal sejatinya, e-sport atau yang semisalnya, tidak layak masuk kurikulum pendidikan, apalagi pada jenjang menengah. Sebab, dalam e-sport bukan hanya terjadi transfer keahlian dalam dunia digital, namun juga penanaman budaya. Jika demikian, hadirnya Kurikulum Merdeka berpeluang menjadi ancaman ideologis, yakni masuknya budaya dan ideologi asing (Barat). Ini tentu bisa menjadi jalan pembajakan potensi generasi demi kepentingan eksistensi peradaban Barat.

Ketiga, kebebasan yang memberikan fleksibilitas bagi guru dalam menentukan metode pembelajaran juga bukan tanpa peluang masalah. Dalam kondisi banyaknya problem guru (seperti beban ekonomi, dll.), hal itu tidak serta-merta memudahkan guru untuk memampukan dirinya mengikuti perkembangan belajar siswa. Padahal, Kurikulum Merdeka sangat menjaga kemerdekaan siswa. Jika siswa mampu berlari, guru harus mampu memfasilitasinya. Sebaliknya, guru juga harus bersabar terhadap kondisi siswa yang tertinggal.

Kurikulum Merdeka lebih banyak bertumpu pada guru dan sekolah. Seharusnya, negara memegang peran sentral dalam pemenuhan semua kebutuhan pendidikan. Negara seharusnya menyediakan kurikulum pendidikan berkualitas beserta semua perangkat yang dibutuhkan, baik kerangka maupun implementasinya. Negara—pemerintah pusat hingga daerah—harus memastikan pembelajaran berjalan bagus sesuai tujuan yang diharapkan. Sebab, kurikulum menentukan performa output pendidikan.

Dalam kebijakan Merdeka Belajar saat ini, negara lebih mengandalkan pelatihan yang bersifat mandiri melalui platform (Merdeka Mengajar) ataupun pelatihan digital, baik yang bisa di akses melalui aplikasi maupun lewat flashdisk bagi yang terkendala dalam jaringan dan perangkat. Berbagai komunitas pembelajaran yang difasilitasi pemerintah tidak sepenuhnya berjalan dengan baik untuk mendongkrak kompetensi guru. Pertemuan pun hanya formalitas sehingga tidak semua guru bersemangat untuk belajar bersama. Pada akhirnya, berbagai komunitas tersebut pun banyak mandul.

Pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Setiap manusia berhak mendapatkan layanan pendidikan yang dikelola negara agar mereka menjadi manusia yang berkepribadian Islami, menguasai ilmu (tsaqafah dan pengetahuan umum), serta menguasai kecakapan hidup untuk mengelola bumi dengan sebaik-baiknya. Inilah fungsi penting pendidikan dan ini pula yang harus diwujudkan oleh negara.

Mereka membutuhkan penguatan syakhshiyyah (kepribadian). Bahkan, ini merupakan bagian terbesar yang harus dipastikan pembentukannya sejak pendidikan dasar dan berlanjut hingga pendidikan tinggi. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa pembinaan keislaman di satuan pendidikan justru mendapat bagian yang amat minim, bahkan tidak jarang dicurigai sebagai bagian dari radikalisme.

Sistem pendidikan Islam telah mencontohkan dengan sangat gamblang cara mewujudkan peradaban manusia yang unggul. Selama belasan abad, Islam menjadi landasan bagi Negara dalam mengelola dan melayani kebutuhan pendidikan warganya, termasuk dalam menyusun kurikulum. Oleh sebab itu, mengubah kurikulum saja tidak cukup, apalagi tanpa mengubah asas yang sekuler kapitalistik. Butuh perjuangan keras untuk dapat menghadirkan Institusi Islam sebagai satu-satunya sistem yang mampu menerapkan kurikulum shahih tersebut.

Kurikulum diterapkan dengan memperhatikan tumbuh kembang peserta didik. Peserta didik yang sudah baligh belajar secara terpisah dengan peserta didik yang belum baligh. Peserta didik laki-laki belajar secara terpisah dengan peserta didik perempuan. Kurikulum ini berlaku tanpa membedakan agama, madzhab, kelompok ataupun ras.

Kalender pendidikan didasarkan pada hitungan Tahun Hijrah. Setiap tahun terbagi menjadi 4 periode dengan kebolehan mengambil cuti satu periode di setiap tahunnya. Untuk menuntaskan jenjang pendidikan sekolah, peserta didik diwajibkan menyelesaikan 36 periode belajar (dawrah). Dengan demikian seorang peserta didik bisa menyelesaikan jenjang ini paling cepat di usia 15 tahun kemudian berlanjut ke jenjang pendidikan tinggi.

Negara berkewajiban untuk menyediakan pendidik dan tenaga kependidikan yang berkualitas: amanah, kompeten dan etos kerja yang baik serta mampu menjadi teladan bagi peserta didik. Negara wajib memberikan pendidikan berkelanjutan bagi peningkatan kualitas pendidik serta tunjangan dan jaminan kesejahteraan.

Negara juga berkewajiban membangun sarana dan prasarana belajar seperti gedung sekolah, kampus, perpustakaan, laboratorium, asrama, ruang seminar, pusat kajian dan penelitian, pusat informasi dan publikasi, percetakan, berbagai buku, jurnal, majalah, surat kabar, radio, televisi, dll. Hal ini wajib untuk meniscayakan lahirnya ulama mujtahid dan para ahli yang menghasilkan karya inovasi baik temuan (discovery) maupun ciptaan (invention).

Sistem Pendidikan Islam mengalami kecemerlangan yang ditandai dengan tumbuhnya lembaga-lembaga pendidikan Islam, majelis ilmu pengetahuan, serta lahirnya ulama dan ilmuwan yang pakar dalam berbagai disiplin pengetahuan. Cendekiawan Barat, Montgomery Watt, menyatakan, “Cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi ‘dinamo’-nya, Barat bukanlah apa-apa.” Pendidikan Islam menjadi mercusuar peradaban dan rujukan dunia.

Peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, ulama, serta inventor telah memberikan kemaslahatan yang besar bagi umat. Negara memberikan jaminan kesejahteraan juga penghargaan yang besar baik berupa beasiswa, tunjangan, bahkan hadiah kepada mereka kala itu.
Sungguh, sistem pendidikan Islam telah mencontohkan dengan sangat gamblang cara mewujudkan peradaban manusia yang unggul. Selama belasan abad, Islam menjadi landasan bagi Negara dalam mengelola dan melayani kebutuhan pendidikan warganya, termasuk dalam menyusun kurikulum.

Oleh sebab itu, mengubah kurikulum saja tidak cukup, apalagi tanpa mengubah asas yang sekuler kapitalistik. Butuh perjuangan keras untuk dapat menghadirkan kembali kedaulatan Islam sebagai satu-satunya sistem yang mampu menerapkan kurikulum shahih tersebut. Sebab, pendidikan hak setiap warga negara. Setiap manusia berhak mendapatkan layanan pendidikan yang dikelola negara agar mereka menjadi manusia yang berkepribadian Islami, menguasai ilmu (tsaqafah dan pengetahuan umum), serta menguasai kecakapan hidup untuk mengelola bumi dengan sebaik-baiknya.

Inilah fungsi penting pendidikan dan ini pula yang harus diwujudkan oleh negara. Bahkan, ini merupakan bagian terbesar yang harus dipastikan pembentukannya sejak pendidikan dasar dan berlanjut hingga pendidikan tinggi.
Semoga pandemi ini makin membawa semangat perjuangan untuk mewujudkan kembali kedaulatan Islam sebagai solusi problematik pendidikan khususnya, dan problem umat umumnya. Allãhumma âmîn. WaLlâhu A'lam bish-shawab []

Post a Comment

Previous Post Next Post