Oleh : Helmy Agnya
Sungguh miris, menjamurnya kasus kejahatan di negeri ini. Mulai dari terungkapnya kasus pelecehan seksual, provokasi atas tuduhan maling yang menewaskan korban, hingga publik digegerkan dengan penemuan kerangkeng manusia. Mirisnya, kerangkeng manusia tersebut berada di kediaman bupati yang notabene adalah seorang pejabat negara.
Temuan kerangkeng manusia di salah satu rumah milik seorang Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin Angin, yang disebut sebagai tempat rehabilitasi narkoba yang dibuat sang kepala daerah secara pribadi. BNN memastikan kerangkeng tersebut bukanlah tempat rehabilitas, (Detiknews, 25/01/2022).
“Pusat menyatakan bahwa kerangkeng itu bukan tempat rehab, kenapa kita nyatakan bukan tempat rehab, rehab itu ada namanya persyaratan materiil dan formil,” kata Kepala Biro Humas dan Protokol Brigjen Sulistyo Pudjo Hartono saat dihubungi, Rabu (25/01/2022).
Komnas HAM bersama kepolisian Polda Sumatera Utara saling berkoordinasi terkait temuan fakta di lapangan atas kasus kerangkeng manusia milik Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin. Data milik kedua instansi pun mendukung satu dengan yang lainnya. Komisioner Komnas HAM Chairul Anam menyampaikan, menurut hasil pengumpulan alat bukti dan keterangan sejumlah saksi sementara ini menunjukkan korban meninggal lebih dari satu saat mendekam di kerangkeng manusia di Langkat itu, (Liputan6, 30/01/2022).
Terungkapnya hal itu, diketahui pada saat operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK. Ternyata kerangkeng manusia itu telah ada sejak 2012. Jumlah orang yang tinggal di kerangkeng manusia itu sebanyak 48 orang. Namun, saat pengecekan, hanya ditemukan 30 orang saja. Disebutkan bahwa kerangkeng manusia tersebut merupakan tempat rehabilitasi narkoba yang dibuat sang kepala daerah secara pribadi. Informasi awal yang diberikan itu dijadikan tempat rehabilitasi untuk orang atau masyarakat yang tercandu narkoba atau ada yang menitipkan dari orang tuanya terkait dengan kenakalan remaja,” kata Kabid Humas Polda Sumut Kombes Hadii Wahyudi kepada wartawan, Senin (24/1/20220).
Namun, Kepala Biro Humas dan Protokol Brigjen Sulityo Pudjo Hartono mengatakan tempat rehabilitasi itu harus ada syarat formil dan materiil. Syarat formil yang harus dipenuhi seperti izin lokasi, izin mendirikan bangunan, dan izin operasional yang dikeluarkan oleh dinas. Sementara, syarat materiil yaitu harus ada lokasi, ada program rehabilitasi tergantung jenis narkoba yang digunakan. Kemudian adanya sejumlah dokter jiwa, psikiater, dokter umum, pelayanan dan kelayakan ruangan, (news.detik.com, 25/1/2022).
Menurut informasi dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) setidaknya ada 17 temuan yang diperoleh di TKP. Para penghuni penjara tidak semuanya pengguna narkoba bahkan ada yang berasal dari luar Kabupaten Langkat. Mereka diperlakukan layaknya tahanan dan ada pembatasan kunjungan. Untuk enam bulan pertama tidak boleh dikunjungi dan setelahnya hanya hari Minggu dan hari besar. Kondisi penjaranya pun sangat tidak layak di mana tempat tidur, dapur, dan kamar mandi menjadi satu ruangan. Tidak ada scedule dan tidak ada modul untuk rehabilitasi justru para tahanan dipekerjakan di Pabrik Kelapa Sawit milik Bupati. Kegiatan peribadatan pun juga dibatasi.
Para tahanan itu dipekerjakan di pabrik kelapa sawit dan mereka diperlakukan layaknya budak. Mereka bekerja minimal 10 jam per hari kemudian digembok lagi dalam kerangkeng. Para pekerja itu dibagi menjadi dua shift, bila kelompok pertama bekerja maka kelompok kedua berada dalam sel, begitu pula sebaliknya. Mereka diperlakukan secara tidak layak dan hanya diberi makan dua kali sehari, tidak digaji, tidak ada akses komunikasi dan bersosial, serta mengalami kekerasan fisik yang menyebabkan luka-luka, bonyok, dan memar. Bahkan berita terbaru akibat tindak kekerasan ini ada beberapa korban meninggal dunia.
Kerangkeng manusia itu baru terungkap saat OTT KPK pada akhir Januari lalu. Hal yang cukup mencengangkan padahal kerangkeng itu telah ada sejak tahun 2012. Jauh sebelum Bupati Langkat nonaktif diangkat menjadi bupati pada tahun 2018. Selama satu dekade aktivitas perbudakan itu tertutup rapat dari media. Padahal pada tahun 2017, BNNK (Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota) telah berkunjung ke tempat tersebut dan telah mengingatkan bupati untuk mengurus surat izin tempat rehabilitasi namun, tidak digubris. Anehnya bila pada tahun 2017 BNNK telah berkunjung dan mengetahui tempat tersebut mengapa tidak ditindaklanjuti kala itu.
Suburnya kasus dinegeri ini sebab, negara telah membuka ruang lebar-lebar bagi para pelaku kejahatan tersebut. Wajar jika hal itu terus terjadi, jika tidak ada ketegasan dari para penegak hukum.
Dan hal ini dapat kemudian kita melihat bahwa negara yang saat ini diterapkan didalamnya sebuah sistem kapitalisme. Gagal melindungi serta menjaga nyawa manusia, serta tidak mampu kemudian memberantas para pelaku penikmat barang haram tersebut. Sehingga, muncul kerangkeng manusia atas dasar inovasi pribadi yang justru menyalahi aturan.
Padahal sudah diketahui bahwa kerangkeng manusia itu bukan tempat rehabilitasi narkoba, aparat hukum hanya mendiamkan. Justru baru diungkap dan ditindaklanjuti ketika publik sudah gempar.
Hukum pisau dapur dalam sistem demokrasi kapitalisme sudah biasa terjadi. Bila pelaku kejahatan adalah para petinggi hukuman bisa ditumpulkan seketika. Namun, bila para pelaku kejahatan hanya rakyat biasa hukum bisa ditajamkan layaknya mata pisau yang diasah sedemikian rupa. Inilah watak asli dari sistem demokrasi yang menabrak hukum Allah Swt, agar kemudian tidak menjadi peran sebagai pengatur dalam kehidupan. Manusia membuat aturan sendiri dan mengolahnya sedemikian rupa atas dasar hawa nafsu mereka.
Jika itu kemudian hukum yang ada dalam sistem demokrasi kapitalisme. Maka berbeda halnya dalam Sistem Islam kafah yakni dalam bingkai khilafah diterapkan dalam sebuah negara, hukum yang diwahyu kan oleh Allah Swt melalu lisan mulia Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Aturan ini akan membawa keberkahan dan kebaikan atas seluruh alam. Bukan atas dasar hawa nafsu demi kepentingan semata. Dalam penerapan sistem Islam sungguh hukum yang diterapkan bukan hanya kemudian diberi keadilan pada yang memiliki jabatan tinggi, melainkan semua rakyat akan mendapatkan keadilan itu sendiri.
Sebab, oknun penegak hukum hanya diberi amanah untuk menjalankan dan menerapkannya dengan penuh tanggung jawab atas dasar keimanan.
Tidak ada sanksi tebang pilih dalam Islam. Seluruh rakyat diperlakukan dengan cara yang sama. Tidak kemudian memandang apakah itu seorang anak pejabat, konglomerat, aparat negara ataukah rakyat biasa. Apabila kemudian melakukan kesalahan tentu akan diberi sanksi seadil-adilnya berdasarkan hukum syariat.
Dalam kasus kerangkeng manusia itu terjadi pelanggaran hak manusia dan hak pekerja. Dalam sistem Islam terdapat akad ijarah atas para pekerja yang mencakup jam kerja, upah, jaminan keselamatan, dan yang lainnya. Dalam Islam kita juga diperintahkan untuk bersegera dalam menunaikan hak pekerja setelah selesai pekerjaannya.
Sebagaimana dalam sabda Nabi Saw. ”Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majjah, shahih).
Maka aparat penegak hukum yaitu polisi (syurthah) dan hakim (qadhi mustasib) bila mendapati kondisi para pekerja yang terancam jiwanya, maka akan segera ditindak lanjuti dan akan diberi sanksi atas pelanggaran yang terjadi. Jika pelanggaran tersebut sampai menghilangkan nyawa manusia maka sanksi yang akan ditegakkan adalah qishas yakni hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan rasul-Nya.
Jika pelanggarannya tidak memenuhi hak-hak pekerja maka sanksi yang akan ditegakkan adalah ta'zir yang hukumannya ditentukan oleh ijtihad qadhi berdasarkan hukum syariat. Hukum dalam Islam dimaksudkan untuk zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus dosa) bagi pelaku kejahatan. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya pelanggaran yang serupa dan menebus dosa bagi pelaku kejahatan di akhirat kelak.
Wallahualam bishawab.
Post a Comment