Oleh Iit
Muslimah Peduli Umat
Global Education Monitoring Report 2020 yang di rilis UNESCO menggambarkan kepada kita kecenderungan global pendidikan yang eksklusif. Sumberdaya dan peluang pendidikan terdistribusi secara tidak merata. Kemiskinan membuat eksklusivitas ini sangat kontras. Penyebabnya adalah kapitalisme-sekularisme yang bekerja melalui elit kapitalis global. Kapitalis dunia bekerja dengan logika akumulasi kapital yang ditandai dengan investasi, industri, informasi dan individual.
Pendidikan pun kemudian mengikuti logika ini. Privatisasi, negara lepas tanggung jawab. Komersialisasi, pendidikan berbasis investasi. Relasi lembaga pendidikan dan peserta didik mengarah pada transaksi harga antara penjual dan pembeli. Rupanya bukan harta kekayaan saja, tetapi ilmu pengetahuan dan keterampilan pun dalam kapitalisme beredar hanya di kalangan orang kaya saja.
Pola hubungan pendidikan menyesuaikan dengan proses industrialisasi. Pendidikan selalu diarahkan pada kepentingan dagang atau politik. Budaya belajar bergeser menjadi budaya ekonomis, yaitu upaya mempersiapkan tenaga produktif untuk dijual dalam bursa kerja. Karakter pembelajar yang dibangun adalah sekularis, hedonis, materialis, individualis dan pragmatis.
Kenyataan global pendidikan saat ini sangat berbeda ketika sistem pendidikan Islam yang diterapkan pada masa kegemilangan Islam. Pada era itu, institusi mengemban ideologi Islam dengan kedaulatan politik dan ekonomi yang berpengaruh global dalam rentang 14 abad lamanya.
Islam mewajibkan pemeluknya untuk belajar. Pendidikan dapat dimaknai sebagai proses manusia menuju kesempurnaan yang di ridhai oleh Allah ï·». Sosok Rasulullah Muhammad ï·º menjadi panutan (role model) peserta didik yang mesti menjalankan fungsi sebagai abdullah sekaligus al-khalifah fil ‘ardh. Keberadaan role model ini menjadi ciri pembeda pendidikan Islam dengan yang lain. Karena itu akidah Islam menjadi dasar pemikiran (fikrah) pendidikan Islam dan metodologi penerapannya (thariqah).
Tujuan dari pendidikan Islam adalah untuk membangun kepribadian Islam serta penguasaan ilmu kehidupan seperti matematika, sains, teknologi dan rekayasa bagi peserta didik. Hasil belajar (output) pendidikan Islam akan menghasilkan pesarta didik yang kokoh keimanannya dan mendalam pemikiran Islamnya (tafaqquh fiddin). Pengaruhnya (outcome) adalah keterikatan peserta didik terhadap hukum Allah ï·» (bertakwa). Dampaknya (impact) adalah tegaknya amar ma'ruf nahi mungkar di tengah masyarakat, tersebarnya da'wah dan jihad ke penjuru dunia.
Kurikulum diterapkan dengan memperhatikan tumbuh kembang peserta didik. Peserta didik yang sudah baligh belajar secara terpisah dengan peserta didik yang belum baligh. Peserta didik laki-laki belajar secara terpisah dengan peserta didik perempuan. Kurikulum ini berlaku tanpa membedakan agama, madzhab, kelompok ataupun ras.
Dalam penerapan kurikulum, pendidikan formal dibagi dalam dua jenjang (marhalah). Pertama: Pendidikan sekolah. Kedua: Pendidikan tinggi.
Jenjang pendidikan sekolah dibagi menjadi 3 tingkatan; (1) ibtidaiyah (6-10 tahun); (2) mutawasithah (11-14 tahun); dan (3) tsanawiyah (15 tahun-tuntas). Di jenjang ini, materi pelajaran terbagi dalam 3 rumpun: (1) bahasa arab, (2) tsaqafah Islam; dan (3) matematika-komputer, sains, teknologi, rekayasa, serta aneka keterampilan dan seni.
Pada tingkat tsanawiyah disediakan berbagai program khusus seperti: tsaqafah, sains, industri, pertanian, perdagangan dan kerumahtanggaan (khusus perempuan). Materi pelajaran yang berhubungan langsung dengan pembentukan kepribadian Islam seperti bahasa Arab dan tsaqafah Islam (Al-Quran, al-Hadits, akidah, fiqih, tafsir, sirah, tarikh, dakwah, dll) diajarkan di setiap tahapan dengan porsi waktu yang lebih besar. Keterampilan dan seni yang bertentangan dengan Islam tidak boleh diajarkan.
Kalender pendidikan didasarkan pada hitungan Tahun Hijrah. Setiap tahun terbagi menjadi 4 periode dengan kebolehan mengambil cuti satu periode di setiap tahunnya. Untuk menuntaskan jenjang pendidikan sekolah, peserta didik diwajibkan menyelesaikan 36 periode belajar (dawrah). Dengan demikian seorang peserta didik bisa menyelesaikan jenjang ini paling cepat di usia 15 tahun kemudian berlanjut ke jenjang pendidikan tinggi.
Jenjang pendidikan tinggi terbagi menjadi dua jenis: (1) Pendidikan tinggi setara diploma serta sarjana, dan (2) Pendidikan tinggi setara magister serta doktoral. Pendidikan tinggi terlembaga dalam berbagai akademi dan universitas. Di pendidikan tinggi, tsaqafah asing seperti kapitalisme, sekularisme, sosialisme, komunisme, materialisme, dll, diajarkan untuk dijelaskan kecacatannya.
Negara berkewajiban untuk menyediakan pendidik dan tenaga kependidikan yang berkualitas: amanah, kompeten dan etos kerja yang baik serta mampu menjadi teladan bagi peserta didik. Negara wajib memberikan pendidikan berkelanjutan bagi peningkatan kualitas pendidik serta tunjangan dan jaminan kesejahteraan.
Negara juga berkewajiban membangun sarana dan prasarana belajar seperti gedung sekolah, kampus, perpustakaan, laboratorium, asrama, ruang seminar, pusat kajian dan penelitian, pusat informasi dan publikasi, percetakan, berbagai buku, jurnal, majalah, surat kabar, radio, televisi, dll. Hal ini wajib untuk meniscayakan lahirnya ulama mujtahid dan para ahli yang menghasilkan karya inovasi baik temuan (discovery) maupun ciptaan (invention).
Karya-karya yang dihasilkan merupakan produk intelektual yang berhak dimanfaatkan oleh setiap warga negara. Pemikir, ilmuwan, atau penemu tidak lagi berhak atas produk intelektualnya setelah memberikan temuannya kepada orang lain dengan sebab mengajarkan, menjual melalui berbagai media, atau sebab-sebab lainnya yang tidak menyalahi syari'ah. Syari'ah meniadakan syarat-syarat hak cetak, menyalin, atau proteksi atas suatu produk intelektual selama tidak terdapat unsur penipuan/kebohongan. Hal ini akan menciptakan iklim yang baik untuk belajar dan berkarya.
Negara memperbolehkan warga negara untuk menerbitkan buku, surat kabar, majalah, jurnal, serta mengudarakan radio dan televisi. Adapun bagi warga negara asing, negara melarangnya kecuali buku/jurnal ilmiah. Ini selama tidak bertentangan dengan Islam.
Pada era ini, pendidikan Islam mengalami kecemerlangan yang ditandai dengan tumbuhnya lembaga-lembaga pendidikan Islam, majelis ilmu pengetahuan, serta lahirnya ulama dan ilmuwan yang pakar dalam berbagai disiplin pengetahuan. Cendekiawan Barat, Montgomery Watt, menyatakan, “Cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi ‘dinamo’-nya, Barat bukanlah apa-apa.” Pendidikan Islam menjadi mercusuar peradaban dan rujukan dunia.
Literasi warga negara Islam saat itu lebih tinggi daripada Eropa. Perpustakaan Umum Cordova (Andalusia) memiliki lebih dari 400 ribu buku. Ini termasuk jumlah yang luar biasa untuk ukuran zaman itu. Perpustakaan Al-Hakim (Andalusia) memiliki 40 ruangan yang di setiap ruangannya berisi lebih dari 18 ribu judul buku. Perpustakaan Darul Hikmah (Mesir) mengoleksi sekitar 2 juta judul buku. Perpustakaan Umum Tripoli (Syam) mengoleksi lebih dari 3 juta judul buku. Perpustakaan semacam itu tersebar luas di berbagai wilayah negara Khilafah.
Peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, ulama, serta inventor telah memberikan kemaslahatan yang besar bagi umat. Negara memberikan jaminan kesejahteraan juga penghargaan yang besar baik berupa beasiswa, tunjangan, bahkan hadiah kepada mereka kala itu.
Sungguh, sistem pendidikan Islam telah mencontohkan dengan sangat gamblang cara mewujudkan peradaban manusia yang unggul. Selama belasan abad, Islam menjadi landasan bagi Negara dalam mengelola dan melayani kebutuhan pendidikan warganya, termasuk dalam menyusun kurikulum.
Oleh sebab itu, mengubah kurikulum saja tidak cukup, apalagi tanpa mengubah asas yang sekuler kapitalistik. Butuh perjuangan keras untuk dapat menghadirkan kembali kedaulatan Islam sebagai satu-satunya sistem yang mampu menerapkan kurikulum shahih tersebut.
Sebab, pendidikan hak setiap warga negara. Setiap manusia berhak mendapatkan layanan pendidikan yang dikelola negara agar mereka menjadi manusia yang berkepribadian Islami, menguasai ilmu (tsaqafah dan pengetahuan umum), serta menguasai kecakapan hidup untuk mengelola bumi dengan sebaik-baiknya. Inilah fungsi penting pendidikan dan ini pula yang harus diwujudkan oleh negara. Bahkan, ini merupakan bagian terbesar yang harus dipastikan pembentukannya sejak pendidikan dasar dan berlanjut hingga pendidikan tinggi.
Semoga pandemi ini makin membawa semangat perjuangan untuk mewujudkan kembali kedaulatan Islam sebagai solusi problematik pendidikan di era transformasi digital saat ini khususnya, dan problem umat umumnya. Allãhumma âmîn. WaLlâhu A'lam bish-shawab []
Post a Comment