Oleh: Ummu Mumtazah
(Aktivis Muslimah)
Kekayaan bumi pertiwi yang melimpah tidak menjamin kesejahteraan bangsa Indonesia. Sebab, Nilai kemakmuran tidak akan datang secara cuma-cuma. Kesejahteraan dan kemakmuran butuh tata kelola yang baik guna mendapatkan hasil yang maksimal. Celakanya, tata kelola sumber daya alam Indonesia justru terjerumus ke dalam jurang kapitalis yang menyengsarakan rakyat.
Demi menjadi produsen raksasa kelapa sawit di dunia, pemerintah mengamini disulapnya hutan menjadi kebun sawit. Nilai materi yang dikejar oleh perusahaan negara dan swasta berdampak pada hancurnya lingkungan dalam jangka waktu berkepanjangan. Dampaknya, terjadi pemanasan global hingga memiliki efek lanjutan, yakni berkurangnya ketersediaan air, terancam punahnya keanekaragaman hayati, kebakaran hutan melanda kala kemarau datang, serta banjir di musim hujan. Eksploitasi jutaan hektar lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit menunjukkan titik tertinggi dalam keserakahan dan tindak kedzaliman penguasa yang berkolaborasi dengan pengusaha. Padahal, sejatinya Kesejahteraan bukan hanya untuk manusia, tetapi untuk seluruh rakyat dan makhluk pada umumnya.
Menyoal Operasional Kelapa Sawit
Minyak sawit adalah minyak nabati yang paling populer di dunia saat ini. Tingkat kebutuhannya mencakup 50% dari produk-produk yang berbahan kelapa sawit, mulai dari kosmetik, biofuel, sabun, sampo, roti, mentega, dan sebagainya. Peran sentral kelapa sawit dalam industri, membuat pemerintah meningkatkan produksinya dari 77 ton minyak sawit tahun 2018 diperkirakan menjadi 107,6 ton pada tahun 2024. Ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia, jika digabung mencapai 13 juta hektar, hampir separuh dari total luas daratan seluruh dunia. (BBC.com).
Kenaikan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/cpo) membuat para eksportir mendapat angin segar untuk meningkatkan ekspor CPO. Kenaikan harga yang merupakan efek dari pandemi berakibat terjadinya pengurangan produksi CPO. Hal ini menimbulkan masalah logistik selama pandemi, yang berdampak pada naiknya harga CPO dunia.
Bangkitnya taraf hidup dan ekonomi China pasca pandemi, memicu ketidakseimbangan permintaan dan rantai pasok CPO0⁰. Menurut Joko supriyono, Ketua Umum Gapki, dalam Indonesia Palm Oil Conference, bahwa salah satu faktor kesulitan logistik karena semua (pengapalan) diserap untuk melayani China. (m.bisnis.com).
Ketika negara-negara lain mulai bangkit ekonominya, permintaan CPO otomatis naik. Hal ini dikarenakan berlaku asas ekonomi kapitalisme, semakin sedikit jumlah suatu barang maka semakin mahal harga barang tersebut. Harga internasional yang naik memicu perusahaan-perusahaan besar untuk mengekspor CPO ke pasar global. Akibatnya, CPO dalam negeri berkurang dan menambah biaya produksi. Ketika biaya produksi naik, maka berimbas kepada harga minyak goreng yang melambung tinggi. Jika pada bulan november 2021 harga minyak goreng menembus Rp 17.800,- per kg, kini januari 2021 harga minyak goreng kemasan bermerek mencapai Rp 21.850,- perk kg. (m.liputan6.com).
Selain kelangkaan logistik global, penyebab harga CPO naik karena indonesia berpatok kepada CPO CIF Rotterdam, jika harga CIF Rotterdarm naik maka harga CPO lokal pun naik. Memantau kondisi tersebut membuat pemerintah meninjau kembali HET, yang sebelumnya lebih rendah dibanding dengan harga CPO. Pada bulan oktober 2021 HET masih berlaku di harga Rp 11.000,- sedangkan harga CPO sudah berada di angka Rp 14.000,-. Maka untuk menutup selisih harga CPO lokal dengan CIF Rotterdarm Direktur Jendral Perdagangan Dalam Negeri Kementrian Perdagangan Oke Nurwan menggelontorkan subsidi dari BPDPKS sebesar Rp 7.6 triliun, skemanya akan dibayarkan kepada produsen. Namun subsidi ini hanya sampai akhir bulan Januari 2022 saja. Artinya rencana untuk penyaluran dana hingga 6 bulan ke depan, batal. Mulai bulan Februari 2022 Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDPKS) tidak perlu lagi menyiapkan dana untuk menutup selisih harga keekonomian, sebab pemerintah telah menetapkan DPO (Domestic Price Obligation) untuk harga CPO, sebesar Rp 9.300 per kg. (Economy.okezone.com).
Pemerintah juga telah menetapkam DMO (Domestic Market Obligation) yang mewajibkan bagi eksportir untuk memasok 20% dari volume ekspornya untuk kebutuhan dalam negeri setiap kali produsen melakukan ekspor. Kebijakan DPO dan DMO telah diberlakukan sejak 27 Januari 2022 lalu. Namun menurut Direktur Institute for Development of Economic and Fiance (INDEF) Tauhid Ahmad, mengatakan bahwa kebijakan tersebut memunculkan efek domino terhadap harga CPO international. Karena ketika eksportir menahan ekspornya akan berimbas kepada berkurangnya pembelian CPO dari petani. Sehingga harga tandom buah segar (TBS) sawit pun akan mengalami perubahan. Sebesar 85% logistik CPO global di sokong oleh Indonesia dan Malaysia, jika eksportir Indonesia menahan produknya, maka akan berimbas kepada naiknya harga CPO di pasar global.
"Hingga bulan Januari 2033, harga CPO tidak akan turun, di angka RM 5000 hingga 5.500 permetrix ton dan kita akan menghadapi rezim harga yang tidak lagi murah seperti dulu", kata Tauhid. Menurut Tauhid, ini adalah kondisi yang menggambarkan betapa rumit operasionalnya, jika sekarang harga minyak goreng mulai turun, tapi mengapa barang sulit ditemukan di lapang? Ini adalah problem yang serius di level industri CPO, dikarenakan nampaknya produsen mengalami kesulitan penyesuaian harga. (Tempo.co).
Solusi Kapitalis Bukan Solusi Solutif
Nampak bahwa baik penetapan HET atau kebijakan DPO dan DMO tidak menyelesaikan akar masalah mahalnya dan langkanya minyak goreng di lapang. Sebab kebijakan demi kebijakan yang telah ditetetapkan tidak mampu menyentuh akar masalah yang dihadapi. Akar masalah dari kelangkaan dan mahalnya minyak goreng terletak pada penguasaan atas perkebunan kelapa sawit oleh perusahan perusahaan swasta, jika penguasaan ini dikembalikan kepada negara, maka negara tidak perlu menggelontorkan dana untuk menutup selisih harga CPO dunia dengan CPO lokal. Sebab watak bisnis para kapitalis tidaklah mau dirugikan.
Lemahnya Kemampuan negara dalam menekan laju ekspor patut dipertanyakan oleh masyarakat. Seharusnya negara bisa menekan laju ekspor kapan saja jika kebutuhan dalam negeri masih belum tercukupi. Sebab negara yang memiliki kedaulatan akan memilah milah hubungan perdagangan yang tiada merugikan rakyat di negaranya. Namun lemahnya kemampuan negara dalam mengatur tata kelola hajat hidup (kebutuhan) masyarakat menggambarkan bahwasannya kekuasaan hakiki justru dipegang oleh kaum pemodal/kapital/korporasi.
Sejahtera dengan Tata Kelola Islam
Tata kelola lahan kelapa sawit yang mengambil hak milik umat berupa tanah hutan merupakan bentuk kedzaliman dan kejahatan. Hutan yang notabene merupakan kekayaan umum harus dikembalikan kepada rakyat, melalui negara sebagai pengelola utama, bukanlah konglomerat. Sehingga fungsi negara bukan sebagai kaki tangan konglomerat, melainkan pelayan rakyat.
Selain itu, pembukaan lahan kelapa sawit dalam Islam harus memperhatikan AMDAL (analisis dan dampak lingkungan). Jika perluasan perkebunan kelapa sawit berdampak pada kerusakan lingkungan, maka negara akan memperhatikan hal ini, dan akan mendorong kreatifitas rakyat agar menemukan alternatif kebutuhan minyak selain hanya dari kelapa sawit. Negara akan memberikan upah sepadan atas apa yang dilakukan oleh rakyatnya atas usahanya tersebut.
Problem utama ekonomi bukan terletak pada kelangkaannya, tetapi pada distribusinya. Fungsi negara yang notabene sebagai pelayan rakyat harus benar-benar memperhatikan ketersediaan kebutuhan umat. Jika kelapa sawit merupakan barang yang dibutuhkan oleh masyarakat, maka negara harus menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri dahulu hingga masyarakat tercukupi dan sejahtera, kemudian negara bisa mengizinkan adanya ekspor kelapa sawit ke negara lain. Tugas besar negara tidak sebatas pada menganulir kebijakan demi kebijakan tetapi memastikan terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan rakyatnya.
Kepemilikan umum tidak akan jatuh kepada asing atau aseng jika diantara penguasa tidak ada politik balas budi, dan itu semua terjadi karena mahalnya pesta demokrasi. Sesungguhnya kepemimpinan umat telah diatur terperinci dalam islam, kepemilikan pun diatur dengan sangat detail, baik kepemilikan individu, umum maupun negara. Maka tidak akan ada peluang bagi pengusaha/konglomerat berganti peran menjadi pemegang kekuasaan dan kedaulatan negeri.
Kebutuhan hajat hidup rakyat menjadi hal yang diprioritaskan oleh negara ini. Termasuk kebutuhan pangan. Maka lonjakan ugal ugalan atas harga minyak goreng tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Semua ini dapat terealisasi jika Indonesia memiliki kedaulatan penuh, tidak lagi terjebak pada undang-undang pesanan demi kepentingan korporat. Kedaulatan ini terwujud manakala Indonesia berdiri di atas ideologi yang shohih, yaitu ideologi islam dalam naungan khilafah. Wallahu'alam bishowab.
Post a Comment