Covid-19 Kembali Melonjak, Ibadah Umat Islam Dikorbankan


Oleh: Nelliya Azzahra

Tidak terasa saat ini sudah memasuki bulan Rajab, itu artinya umat muslim tak lama lagi akan menyambut bulan suci Ramadan. Bulan yang penuh berkah dan hadirnya sangat dinantikan. Namun, tampaknya kali ini pun tak jauh berbeda dengan Ramadan sebelumnya ketika kembali melonjaknya kasus Covid 19.
Masih ingat bagaimana Ramadan tahun lalu dan hari besar umat Islam yang harus diadakan di rumah ketika covid-19 masih belum beranjak dari negri ini.

Menanggapi hal ini, selain himbauan agar menjaga prokes, pemerintah mengatakan agar memperketat keamanan dengan menjaga ibadah tetap di rumah. Dilansir oleh Republika. id
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengeluarkan surat edaran (SE) terbaru terkait pelaksanaan kegiatan peribadatan di rumah ibadah. Menag meminta rumah ibadah memperketat prokes di tengah kembali melonjaknya kasus Covid-19 akibat adanya varian omikron.

Menag meminta pengurus dan pengelola tempat ibadah menyiapkan, menyosialisasikan, dan mensimulasikan penggunaan aplikasi PeduliLindungi. “Kami kembali terbitkan surat edaran untuk mencegah dan memutus mata rantai penyebaran Covid-19 yang saat ini mengalami peningkatan dengan munculnya varian omikron," kata Menag dalam keterangannya, Ahad (6/2/2022).

Himbauan ini tentu saja telah mengorbankan ibadahnya umat Islam. Sebab sebagai umat mayoritas, umat Islam melaksanakan kewajiban shalat lima waktu sehari semalam di masjid. Melonjaknya Covid-19 harusnya langsung ditanggapi dengan penanganan kebijakan menutup wilayah segera ditegakkan. Karena dengan kebijakan itu bisa menghindari penyebaran virus tersebut
Sebagaimana Islam telah mencontohkan dalam menangani suatu wabah.

“Ketika kalian mendengarnya (wabah) di suatu daerah, janganlah kalian mendatangi daerah tersebut. Dan jika wabah itu terjadi di daerah kalian berada, janganlah kalian pergi melarikan diri dari daerah tersebut.” (HR. Bukhari dalam Al-Jami’ Al-Shahih, IV/14).

Inilah tuntunan Rasulullah Saw. dalam menangani wabah, yakni isolasi tingkat mikro sedini mungkin, terlebih ketika virus itu terdeteksi, maka segera melakukan penguncian terhadap wilayah sumber awal virus tersebut.

Namun, alih-alih melakukan hal tersebut, pemerintah justru massif mensosialisasikan pembatasan ibadah umat muslim.
Hal demikian tentu saja mengundang pertanyaan dalam benak kaum muslim. Mengapa langkah dan penanganan yang diambil justru tampak menghalangi ibadah umat muslim.
Jika pun ingin prokes, bukan berarti membatasi ibadah umat Islam sedangkan proyek pembangunan infrastruktur dan transportasi dibiarkan meski dengan prokes ketat. Ibadah salat paling lama sepuluh menit, sementara orang-orang yang nongkrong di mall bisa berjam-jam lamanya. 

Sebenarnya Ibadah bisa tetap dilakukan dengan memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, membawa sadajah sendiri-sendiri dan lainnya. Ini upaya yang bisa dilakukan selain mengedukasi masyarakat agar pentingnya taat protokol kesehatan.

Maka jika penanganan ini dilakukan dengan tepat tidak harus mengorbankan ibadah umat Islam. Kebijakan seperti itu hanya akan menunjukkan wajah rezim ini dalam memandang Islam. 

Padahal, berlarutnya pandemi tidak bisa dilepaskan dari kelalaian penanganan wabah sejak awal. Pemerintah yang menolak menerapkan lockdown dengan alasan akan mengganggu perekonomian masyarakat, lebih memilih kebijakan seperti social distancing, PSBB dan taat prokes untuk mencegah penyebaran wabah.

Oleh karena itu, Islam telah memberi solusi yang jelas dan tepat bagaimana seharusnya penanganan terhadap wabah sehingga tidak berlarut-larut dan menimbulkan dampak yang lebih luas. Sudah saatnya menjadikan Islam sebagai solusi atas setiap problem yang dihadapi negri ini.

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post