Bukti Kelabilan Hukum Manusia Hanya Menambah Masalah



Oleh Widya Sucitra

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat menuntut Herry Wirawan (36) dengan hukuman mati. Herry dituntut atas perbuatan keji memerkosa 13 santriwati di Madani Boarding School, Bandung, Jawa Barat selama 2016 hingga 2021 (Tirto.id)

"Komnas HAM tidak setuju penerapan hukuman mati karena bertentangan dengan prinsip HAM. " Kata Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, Rabu (12/1/2022). Hak hidup seseorang, kata Beka, tidak bisa dikurangi dalam situasi apapun. Hal ini termasuk pada hukuman mati. Inilah yang menjadi alasan utama Komnas HAM tolak hukuman mati Herry Wirawan.
"Hak hidup adalah hak yang tidak bisa dikurangi dalam situasi apa pun (non-derogable rights)," tuturnya.
(detiknews)

Hidayat Nur Wahid (HNW) mengkritik Komnas HAM dan pihak lain yang ngotot agar RUU TPKS segera disahkan untuk melindungi korban kekerasan seksual, tapi menolak tuntutan dan vonis hukuman mati terhadap pelaku kejahatan kekerasan seksual terhadap anak-anak.

HNW mengingatkan mereka agar konsisten dengan menghormati dan melaksanakan prinsip konstitusi bahwa Indonesia adalah Negara Hukum sesuai Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. (Tribunnews.com)

Direktur Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar Wicaksana, menilai secara prinsip dan yuridis positivis, tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa kasus ASABRI, Heru Hidayat oleh jaksa penuntut umum (JPU) tidak memberikan efek jera. (JawaPos.com)

Kejahatan tingkat berat seperti korupsi dan kekerasan seksual dianggap belum mendapat hukuman menjerakan, buktinya kasus tetap merebak. Namun saat hukuman mati diajukan timbul polemik antara menjerakan dan komitmen penegakan HAM.

Inilah bukti cacat sistem sekuler demokrasi hari ini. Selain menggantungkan solusi kejahatan pada sanksi/hukuman, juga tidak mampu menciptakan lingkungan yang mendukung, agar kejahatan tidak terulang.

Sistem ini telah memisahkan aturan agama dari kehidupan. Sehingga aturan yang diterapkan bergantung pada manusia yang sangat subjektif.
Sebagaimana yang dipahami,  sistem ini melonggarkan sistem informasi dan media terhadap pornografi dan pornoaksi. Atas nama kebebasan, pergaulan masyarakat sangat permisif, termasuk aurat bebas terbuka.

Akhirnya kehidupan sosial didominasi oleh rangsangan naluri seksual yang kapanpun dan dimanapun bisa memicu kekerasan. Apalagi sikap individualis yang sangat jauh dari budaya amar ma'ruf nahi munkar.

Berbeda dengan Islam, aturan yang diterapkan  adalah syariat Islam. 
Undang-undang sebagai manifestasi din. Legislasi undang-undangnya yang dihasilkan bersumber dari al-Qur'an dan sunnah. Karena aturan ini langsung dari Allah tidak mungkin aturannya berubah-ubah mengikuti kehendak manusia.

Dalam demokrasi, benar atau salah diukur berdasarkan pandangan manusia. Sedangkan dalam Islam, benar dan salah tolak ukurnya adalah syariat Islam.

"...اِÙ†ِ الْØ­ُÙƒْÙ…ُ اِÙ„َّا Ù„ِÙ„ّٰÙ‡ِ ۗاَÙ…َرَ اَÙ„َّا تَعْبُدُÙˆْٓا اِÙ„َّآ اِÙŠَّاهُ ۗØ°ٰÙ„ِÙƒَ الدِّÙŠْÙ†ُ الْÙ‚َÙŠِّÙ…ُ..."

"...Keputusan itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus..." [Q.S Yusuf :40]

Penerapan Islam kafah akan menciptakan keadilan hukum termasuk dalam kasus kekerasan terhadap anak. Sebab yang diterapkan adalah hukum Allah. Dimana Khalifah dan pejabat dibawahnya hanyalah sebagai pelaksana hukum bukan pembuat hukum.

Sistem Islam ini tegak diatas prinsip halal haram. Bukan demokrasi yang mengagungkan kebebasan dan HAM ataupun kemanfaatan.  Semua celah kerusakan yang menjadi faktor  terjadinya kekerasan seksual akan ditutup rapat. Kalaupun terlanjur terjadi, negara akan punya kekuatan untuk menutup peluang penyebarluasan kerusakan. Yakni melalui penerapan sistem hukum dan sanksi tegas yang memberi efek jera (zawajir) dan menjadi penebus dosa bagi pelakunya (jawabir).

Islam memiliki sistem sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Contohnya bagi pelaku tindak perkosa berupa had zina, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika pelakunya muhshan (sudah menikah).

Pelaku akan dijilid (dicambuk) 100 kali dan diasingkan setahun, jika pelakunya Ghairu Muhshan (belum menikah).

Adapun atas korban,  negara Islam akan memberi perlakuan sesuai faktanya. Lebih-lebih jika mereka benar-benar dipaksa, negara akan merehabilitasi dan mendukung mereka sepenuhnya. Sedangkan,  jika mereka terbukti memberi celah, mereka akan mendapat hukuman sesuai kesalahannya.

Penegakan hukum seperti ini menutup peluang munculnya pelaku-pelaku kejahatan serupa. Bahkan terhadap orang-orang yang memiliki kecenderungan melakukan kejahatan.

Maka hanya Islam sajalah yang akan mampu menyelesaikan permasalahan tersebut. Maka sudah seharusnya kita kembali kepada aturan Islam yang sempurna dan menyeluruh.

Wallahu a'lam bishawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post