Bentuk Penghinaan Terhadap Azan


Oleh: Narita Putri
 (Mentor Sahabat Hijrah Klaten)

Viral di sosial media video cuplikan  Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyamakan suara azan dengan gonggongan anjing. Yaqut menyatakan pemakaian pengeras suara (toa) di masjid harus diatur agar tidak mengganggu umat agama lain. Dia mengibaratkan gonggongan anjing yang dianggap mengganggu kehidupan bertetangga.

Netizen pun melontarkan kritik pedas terhadap pernyataan Menag. "Apa sudah tidak ada lagi padanan kata lain sehingga menyamain serentak nya suara azan sana seperti serentak nya gonggongan anjing, bukan nya menyatukan umat malah membuat kisruh saja," kata @Rkurnia12. “Tidak pantas seorang menteri membuat analogi azan dengan gonggongan anjing, ora nalar” ucap netizen lain. Bahkan Roy Suryo berencana mempolisikan Gus Yaqut dengan pasal penghinaan agama.

Bentuk Penghinaan Agama

Di negeri mayoritas muslim, seyogianya hal ini tidaklah terjadi. Sebab, azan adalah panggilan mulia dari Allah SWT bagi umat Islam untuk menunaikan shalat fardhu. Sebagai wujud penghambaan diri kepada Sang Maha Pencipta. 
Selain itu, suara azan juga mampu melembutkan hati, membersihkan jiwa-jiwa yang kotor, dan menyadarkan manusia agar kembali kepada fitrahnya, menjadi hamba yang taat kepada Rabbnya, dan menjauhi segala larangan-Nya, serta memiliki jiwa yang tenang dan khusyuk. Banyak kita jumpai orang menjadi mualaf sebab suara azan yang merdu.

Adalah bentuk penistaan terhadap azan dan agama jika membandingkan seruan mulia ini dengan gonggongan hewan. Penistaan semacam ini terhadap agama Islam bukanlah kali pertama. Sebelumnya, Sukmawati membandingkan suara kidung ibu lebih merdu dari azan. Sungguh miris jika kita melihat kejadian ini terus berulang dan kian subur tanpa adanya solusi hakiki.
Indonesia adalah negeri yang menjunjung tinggi konsep kebebasan. Kesempatan untuk mengekpresikan kebebasan juga tidak memiliki batas tertentu secara tegas. Siapapun boleh bertingkah laku dan berpendapat sesuai hawa nafsu yang diinginkan. Meskipun Menag dipolisikan, dia akan bebas begitu saja. Hanya perlu minta maaf kepada masyarakat terkhusus umat Islam tanpa ada jeratan bui. Sebab, ada Hak Asasi Manusia (HAM) yang melindungi.

Wajar semua itu terjadi berulang dan terus demikian. Karena negara menganut sistem demokrasi kapitalis sekuler. Sistem yang memisahkan agama dengan kehidupan. Sistem yang bersandar pada akal manusia tidak akan pernah menyelesaikan masalah dari akarnya. Ini juga bentuk kegagalan negara menjamin perlindungan beragama bagi setiap pemeluknya.

Islam Solusi Hakiki
Dalam sistem Islam, negara sebagai junnah yang akan menjamin kehidupan masyarakat sebagai individu. Mencakup di dalamnya jaminan dan perlindungan terhadap agama. Islam sangat tegas dengan pelecehan dan penghinaan agama. Sanksi dan batasan mengatur sangatlah jelas, ada perbedaan hukuman bagi penista Muslim dan non Muslim. Sanksi dijatuhkan dilihat dari tingkat penghinaan yang dilakukan.

Allah sebagai pencipta juga menyatakan bahwa permintaan maafnya seorang penista agama itu sia-sia, sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur’an:

لَا تَعْتَذِرُوْا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ اِيْمَانِكُمْ ۗ اِنْ نَّعْفُ عَنْ طَاۤىِٕفَةٍ مِّنْكُمْ نُعَذِّبْ طَاۤىِٕفَةً ۢ بِاَنَّهُمْ كَانُوْا مُجْرِمِيْنَ

"Tidak perlu kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir setelah beriman. Jika Kami memaafkan sebagian dari kamu (karena telah tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang (selalu) berbuat dosa." (QS. At-Taubah ayat 66).

Sudah seharusnya umat Muslim menyadari akan kebutuhan sistem yang menjamin dan menjaga kehormatan agama. Sistem yang bersumber dari Sang Khaliq. Aturan-Nya baku, tidak berubah serta mampu menyelesaikan segala problematika masyarakat. Yaitu Islam yang bukan hanya agama saja melainkan memiliki aturan hidup super lengkap. Saatnya kita kembali kepada sistem hakiki. Agar kemuliaan Islam sebagai rahmatan lil’alamin terwujud dalam kehidupan.

Wallahu’alam bish shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post