Azan Diusik, Inikah Namanya Moderasi Beragama?


Oleh Ummu Zhafran
Pegiat Literasi

Tak disangka, ada yang menganalogikan azan yang merupakan panggilan salat dengan bunyi salah satu hewan.  Astagfirullah. Tak tanggung-tanggung ucapan tersebut dilontarkan oleh pejabat nomor satu di lingkup Kementerian Agama. (cnnindonesia, 24/2/2022). Saat menjelaskan pada media terkait kebijakan yang mengatur penggunaan pengeras suara di masjid, Menteri Agama merujuk pada suara anjing.  Menurutnya, gonggongan atau suara apa pun itu yang bersahutan tentu sangat mengganggu sama halnya dengan azan.

Sekali lagi, astagfirullah. Lepas dari siapa yang mengatakan, harus diakui hal ini bukan hal baru terjadi. Citra buruk lagi-lagi disematkan pada Islam dan simbol-simbolnya. Semakin lama semakin frontal. Masih ingat beberapa waktu lalu telah dirilis data pesantren yang dituding sepihak merupakan terorisme juga wacana pemetaan masjid? Lebih ke belakang lagi bahkan sudah pernah ada yang menyatakan dalam bentuk puisi kidung terdengar lebih merdu dari azan di telinganya.

Menyikapi hal ini, umat Islam tentu harus berpikir dewasa. Marah dan emosi pastinya tak menyelesaikan masalah. Sebab yang dibutuhkan adalah sikap kritis dalam mencari akar persoalan agar solusi dapat dirumuskan dengan tepat dan tuntas. 

Ironis memang jika dicermati lebih jauh, pasalnya pihak Kemenag di bawah kepemimpinan Menteri yang sekarang  telah secara masif mengusung moderasi beragama sebagai program prioritas. Konsep yang digadang-gadang konon akan mampu mewujudkan kerukunan antar anak bangsa karena satu sama lain saling menghargai perbedaan. Bahkan  mengutip dari laman kemenag.go.id, Menteri Agama menjelaskan bahwa seorang umat beragama boleh berkeyakinan kuat dan merasa agamanya paling benar. Di saat yang sama ia mesti menghargai keyakinan orang yang berbeda agama dan keyakinan dengannya. Inilah wujud moderasi yang diinginkan. (kemenag.go.id, 7/10/2021)

Merujuk pada pernyataan di atas, menggelitik sebuah tanya, apakah mengusik azan, lafaz Allah yang mengiringi umat Islam sejak lahir kemudian menyandingkannya dengan bunyi hewan tertentu adalah bentuk toleransi atau moderasi yang diiinginkan?
Kalau ya, alangkah malangnya nasib umat Islam hidup dalam bingkai sekularisme seperti yang berlaku sekarang. Secara kuantitas, boleh saja mayoritas namun kemuliaannya terlihat lambat laun tergerus. 

Tak terbantahkan lagi, ini yang terjadi kala Islam hanya diakui dalam ruang-ruang spiritual pribadi namun ditolak mentah-mentah di ruang publik. Dalam sekularisme, syariat Islam yang dibawa Rasulullah saw. diturunkan Sang Maha Pencipta semata untuk mengatur hidup manusia, justru tak diberi tempat dalam kehidupan manusia. Padahal Allah Swt. berfirman, 

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kalian, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kalian akan dihimpunkan.”(QS. Al Anfal:24)
Imam Al Bukhari menafsirkan  yang dimaksud frase ‘ yang memberi kehidupan kepada kalian’ artinya sesuatu yang memperbaiki keadaan kalian. (Tafsir Imam Ibnu Katsir) 

Dengan kata lain Islam adalah solusi atas seluruh problem manusia di dunia tanpa membedakan muslim maupun nonmuslim, kaya atau miskin. Tak cukup itu, diterapkannya syariah Islam secara kafah niscaya mengantar pada akhir yang baik kelak di kehidupan akhirat. Hal yang mustahil diberikan oleh sekularisme apalagi moderasi yang sudah nyata tak berpihak pada Islam dan umat Islam. Sebaliknya selama sekularisme masih dibiarkan bercokol di tengah umat, selama itu pula stigma bahkan penistaan rawan menimpa Islam dan kaum muslimin.

Satu hal lagi, umat Islam telah khatam urusan toleransi. Mengajari muslim yang taat syariat untuk bersikap toleran bagaikan mengajari pelaut untuk berenang. 

Mari simak sabda Rasulullah Saw.,
"Barang siapa membunuh seorang mu'ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun." (HR Ahmad)

Bahkan,  Imam Qarafi, penulis kitab al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatawa an al-Ahkam wa Tasarrufat al-Qadi wa'l-Imam, pernah menyinggung masalah tanggung jawab negara terhadap ahlu dzimmah (non muslim yang menjadi warga negara) dalam kitabnya.
Beliau menyatakan, kaum Muslim memiliki tanggung jawab terhadap para ahlu dzimmah untuk menyantuni, memenuhi kebutuhan kaum miskin mereka, memberi makan mereka yang kelaparan, menyediakan pakaian, memperlakukan mereka dengan baik, bahkan memaafkan kesalahan mereka dalam kehidupan bertetangga, sekali pun kaum Muslim memang memiliki posisi yang lebih tinggi dari mereka. Umat Islam juga harus memberikan masukan-masukan pada mereka berkenaan dengan masalah yang mereka hadapi dan melindungi mereka dari siapa pun yang bermaksud menyakiti mereka, mencuri dari mereka dan merampas hak-hak mereka.”

Alhasil saatnya membuang sekularisme. Mari raih keridhoan Allah dengan hidup sesuai tuntunan Rasul Saw. dan para sahabat Rasulullah dengan taat pada syariah kafah dalam naungan khilafah, sistem pemerintahan warisan Nabi saw. guna menuai keberkahan dari Allah azza wa jalla. 

Wallaahua’lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post