APAKAH GERANGAN YANG MEMBUAT IBUKOTA DIPINDAH TERGESA-GESA?



Oleh Iit
Muslimah Peduli Umat


Di tengah pandemi yang belum tuntas, perekonomian yang belum pulih, puluhan juta rakyat menjadi miskin dan utang luar negeri yang hampir mencapai tujuh ribu triliun rupiah, Pemerintah tetap bersikukuh memindahkan ibukota ke daerah Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

Banyak pihak mempertanyakan kebijakan yang telah disepakati para wakil rakyat dan Pemerintah. Selain dinilai tidak mendesak, banyak persoalan lain seperti: kelayakan lokasi, nasib warga sekitar dan dampak lingkungan.

Benarkah rencana ini cerminan suara rakyat? Apakah suara wakil rakyat yang mengesahkan UU IKN ini benar-benar cerminan suara ratusan juta rakyat Indonesia yang tidak pernah dimintai persetujuannya? Faktanya, rakyat justru banyak yang menolak rencana ini.

Penggunaan APBN untuk pembangunan IKN, pakar sebut 'akan korbankan program masyarakat. Dampaknya, alokasi program-program prioritas untuk masyarakat dalam APBN berpotensi besar akan dikorbankan karena dialihkan untuk IKN.

Selain itu, aktivis lingkungan melihat rencana pemindahan ibukota juga berpotensi akan memperburuk kondisi lingkungan hidup dan merusak ruang hidup masyarakat sekitar.

Pada 2019 lalu, sebelum pandemi, Presiden Joko Widodo mengatakan, dana APBN yang digunakan untuk pemindahan IKN sebesar 19% dari APBN dengan sisanya dari swasta dan BUMN. Namun, dilansir dari situs IKN, yang juga dikutip beberapa media, tertulis sebesar 53,5% pendanaan IKN dari total sekitar Rp 466 triliun menggunakan APBN dan 46,5% sisanya menggunakan dana lain dari skema KPBU, swasta, dan BUMN.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Roy Valiant Salomo, menilai, penggunaan APBN untuk pembangunan IKN berpotensi mengorbankan program masyarakat akibat keterbatasan dana.

"Kalau dialihkan lebih banyak untuk IKN, yang lain ada yang dikorbankan, semacam zero-sum game, IKN ditambah, yang lain dikurangi," kata Roy saat dihubungi BBC News Indonesia.

Direktur Walhi Kalimantan Timur, Yohana Tiko, mengatakan, banjir yang kerap melanda wilayah di sekitar IKN menunjukkan, area ini telah dibebani oleh masalah lingkungan dari lama, sejak investasi masuk pada rezim Soeharto.

"Perusahaan sawit, kayu, dan pertambangan mengeksploitasi wilayah tersebut dan merusak lingkungan...”

"Pembangunan IKN akan menghancurkan kawasan hutan lindung Sugai Wain, Sungai Manggar, sumber air masyarakat Balikpapan...”

"Hulu habis dengan konsensi, pembangunan IKN, lalu daerah tengah dan hilir dengan industri, dan pelabuhan...”

Selain masalah lingkungan, Yohana melihat, pembangunan IKN menjadi "pemutihan" tanggung jawab korporasi yang telah merusak alam. 

"Harusnya setelah diobrak-abrik oleh konsesi, dipulihkan. ni malah korporasi diputihkan dari tanggung jawab yang diambil pemerintah. Daripada membangun IKN, lebih baik dana itu untuk pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja yang lebih dibutuhkan masyarakat," kata Yohana.

Pakar perencanaan wilayah dan kota dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Sri Maryati menuturkan pemerintah perlu memperhatikan dampak lingkungan dari pemindahan ibu kota yang berimplikasi pada pembangunan kantor pemerintahan yang notabene dibarengi fasilitas pendukung lain, seperti sarana pendidikan, kesehatan dan pemukiman.

"Kita juga harus melihat jenis tanah karena terkait infrastruktur tadi kalau banyak lahan terbuka yang menjadi lahan tertutup kalau hujan pasti menyebabkan limpasan yang lebih besar. Belum lagi aspek sosio kultural dari pemindahan ibukota itu juga perlu dipertimbangkan, seiring dengan perpindahan pekerja di kantor pemerintahan ke ibu kota baru. Karena mungkin akan ada pendatang baru yang akan berbeda budayanya dengan masyarakat yang ada saat ini," kata dia.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI), Zuliansyah, memandang pemindahan ibukota sebagai suatu hal yang realistis, mengingat kondisi Jakarta yang terhimpit bencana banjir dan kemacetan, serta kepadatan penduduk yang terus mendesak. Namun masyarakat saat ini belum melihat adanya urgensi pemindahan ibukota. Anggaran yang harus digelontorkan pemerintah untuk pemindahan ibu kota baru ini relatif besar.

Sejarah peradaban Islam mencatat sekurangnya ada empat kali perpindahan ibukota negara, dan semuanya bermotif politik.

Pertama, pada awal era Bani Umayyah; Setelah resmi menjadi khalifah Bani Umayyah, Muawiyah memindahkan ibu kota pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Muawiyah kemudian memfokuskan diri pada perluasan wilayah, hingga akhirnya berhasil menaklukkan seluruh kerajaan Persia, sebagian Kerajaan Bizantium di Afrika, Khurasan, dan Afganistan.. Tidak heran apabila Bani Umayyah memiliki daerah sangat luas, baik di barat maupun timur,

Kedua, pada masa kebangkitan Bani Abbasiyyah; Perubahan pertama yang dilakukan Dinasti Abbasiyah adalah memindahkan ibu kota pemerintahan dari Damaskus ke Baghdad, Irak, pada 762 M. Alasan pemindahan yang dilakukan di bawah kuasa Al-Mansur ini adalah karena kedekatan lokasi Baghdad dengan Iran yang merupakan basis kekuatan Abbasiyah. Terlebih lagi, Baghdad memiliki lokasi strategis, di tepi Sungai Tigris yang subur dan terletak pada jalur perdagangan yang penting.

Ketiga, yaitu pasca hancurnya Baghdad oleh serbuan Mongol; Pada 1258 masehi, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang menyerang Baghdad. Baghdad luluh lantak dan pusat kekhalifahan berpindah ke Kairo. Di sana, di bawah kekuasaannya, Dinasti Mamluk mampu menghidupkan kembali kekhalifahan Abbasiyah. Ia juga mampu mengorganisir angkatan perangnya, membangun kembali angkatan laut, dan memperkuat benteng Suriah. Dinasti Mamluk berhasil menggali sejumlah kanal, memperbaiki pelabuhan, serta menghubungkan Kairo dengan Damaskus.

Keempat, ketika Khalifah terakhir Abbasiyyah mengundurkan diri dan melihat bahwa Bani Utsmaniyah lebih berkemampuan untuk memimpin dunia Islam dan mendakwahkannya ke seluruh dunia, ibukota pun dipindahkan dari Kairo ke Istanbul.

Pada 30 Juli 762 M, Khalifah al-Mansur mendirikan kota Baghdad. Empat tahun sebelum di bangun, al-Mansur mengumpulkan para surveyor, insinyur dan arsitek dari seluruh dunia untuk membuat perencanaan kota. Setiap bagian kota yang direncanakan bagi jumlah penduduk tertentu dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar.

Negara dengan tegas mengatur kepemilikan tanah berdasarkan syariat Islam. Tanah pribadi yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun akan ditarik kembali oleh negara, sehingga selalu tersedia dengan cukup tanah-tanah yang dapat digunakan untuk membangun fasilitas umum. 

Perencanaan kota juga memperhatikan aspek pertahanan terhadap ancaman serangan. Ada empat benteng yang mengelilingi Baghdad. Setiap gerbang memiliki pintu ganda terbuat dari besi tebal, yang untuk membukanya saja dibutuhkan tenaga beberapa lelaki dewasa. Tak heran jika Baghdad kemudian meraih zaman keemasannya. Selama lima abad pemerintahannya, kekhalifahan ini berhasil menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dunia.

Sistem demokrasi berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Perbedaan itu terletak pada sejumlah hal. Pertama, Dalam Islam kedaulatan (hak membuat hukum) ada di tangan syariah, bukan pada rakyat maupun penguasa. Kewajiban pemerintah adalah mengurus rakyat dengan menerapkan hukum-hukum Allah سُبْØ­َانَÙ‡ُ ÙˆَتَعَالَÙ‰ٰ, bukan sebagai pembuat hukum. Tak ada celah bagi penguasa untuk membuat hukum yang akan menguntungkan dirinya dan kelompoknya

Kedua, di dalam Islam ada Majelis Umat ; yang berfungsi menyampaikan aspirasi masyarakat dan menjalankan fungsi amar makruf nahi mungkar. Majelis Umat berkewajiban menegur Khalifah dan pejabatnya jika melenceng dari syariah Islam dan buruk dalam melayani umat. Haram hukumnya anggota Majelis Umat mendiamkan kemungkaran yang dilakukan penguasa, apalagi bersekongkol dengan mereka.

Ketiga, Khalifah sebagai penguasa wajib menjadi pelindung umat. Negara diamanahi kewajiban mengurus kebutuhan umat dan melindungi hak-hak mereka dari kezaliman. Mengabaikan kebutuhan rakyat, menipu mereka, apalagi untuk membela kepentingan kalangan orang berduit adalah pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya.

Maka kaum Muslim, sesungguhnya tidak ada yang bisa memberikan keadilan dan pembelaan pada umat kecuali syariah Islam. Janganlah kita terpedaya dengan slogan kedaulatan milik rakyat.

Sepintas aturan-aturan yang dibuat hari ini seperti UU IKN tampak bagus dan logis, misalnya dengan alasan menghindari banjir, menaikkan perekonomian, terhindar dari kemacetan dan tidak mengandalkan APBN. Namun, jika ditelusuri dengan detil dan teliti akan didapat kenyataan bahwa semua berpotensi merugikan rakyat. Karena itu jika kita mengharapkan kebijakan yang berpihak pada rakyat, semua itu hanya ada dalam Islam. Belum cukupkah umat berkali-kali diperdaya oleh kaum oligarki dengan mengatasnamakan kedaulatan rakyat? Allahu A’lam bish-shawab []

Post a Comment

Previous Post Next Post