TDL 2022 Naik, Kebijakan Kapitalistik yang Mencekik

Oleh: Izzatunnisa

Pada tahun 2022, pemerintah bersama dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI berencana menerapkan kembali tarif adjustment (tarif penyesuaian). Besar tarif adjustment ini akan diterapkan kembali sesuai aturan awal pada 2022 jika jika kondisi pandemi Covid-19 membaik sebagaimana yang di sampaikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).


Meskipun besaran kenaikan tarif belum di tetapkan karena akan di sesuaikan dengan kondisi perekonomian seiring membaiknya pandemi covid-19 saat ini, sebanyak 13 golongan masyarakat pelanggan listrik non subsidi perlu bersiap dengan kenaikan tarif yaitu pelanggan rumah tangga dengan daya 1.300 VA, 2.200 VA, 3.500 VA, hingga 5.500 VA; pelanggan rumah tangga dengan daya 6.600 VA ke atas; pelanggan bisnis dengan daya 6.600—200 kVA; pelanggan pemerintah dengan daya 6.600—200 kVA; penerangan jalan umum; pelanggan rumah tangga daya 900 VA rumah tangga mampu (RTM); pelanggan pelanggan bisnis daya >200 kVA; pelanggan industri >200 kVA; pelanggan pemerintah dengan daya >200 kVA; layanan khusus, tarifnya Rp1.644,52 per kWh; dan industri daya >30.000 kVA. (BanjarmasinPost.co.id, 10/12/21)


Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto sebagaimana di kutip dari laman dpr.go.id, 06-12-2021, menolak rencana pemerintah menaikan tarif dasar listrik (TDL) di awal tahun 2022. Pasalnya, saat ini daya beli masyarakat masih rendah akibat dampak pandemi Covid-19. Sehingga bukan saat yang tepat bagi pemerintah menaikan TDL. Tidak hanya itu, ia menilai kalangan pengusaha dan industri juga menolak rencana tersebut. Mereka merasa keberatan karena baru saja menerima kewajiban menaikan batas upah minimum. Sementara kondisi perdagangan dan industri saat ini masih belum stabil. 
Sangat di sayangkan, kenaikan tarif dasar listrik yang dapat berakibat buruk terhadap perekonimian rakyat ini terjadi di negeri yang kaya akan sumber energi. Bahkan fenomena ini terjadi hampir setiap tahun. Tapi, hal ini wajar saja terjadi di dalam suatu negara yang menerapkanIdeologi Kapitalisme sebagaimana negri ini. Konsep kepemilikan dalam kapitalisme berasaskan pada kebebasan. Sehingga kekeyaan alam termasuk sumber energi bisa di kuasai oleh segelintir orang. 


Sumber daya alam termasuk sumber energi, dalam Islam merupakan kepemilikin umum yang tidak boleh di kelola oleh pihak swasta. Islam telah menetapkan negara (Khilafah) sebagai wakil umat untuk mengatur produksi dan distrubusi energi (termasuk listrik) untuk kepentingan rakyat. Negara tidak boleh mengeruk keuntungan dari kepemilikan umum ini. Negara hanya boleh memungut tarif sebagai kompensasi biaya produksi dan distribusi barang-barang tersebut (Abdurrahman al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla)


Tarif yang diambil dari rakyat juga dalam nilai yang wajar, tidak boleh melebih-lebihkan hingga membuat rakyat sulit untuk membayar tagihannya. Negara juga tidak boleh memadamkan listrik seenaknya tanpa banyak pertimbangan sebelumnya yang akan merugikan rakyat. Negara juga haram menyerahkan kepemilikan umum atau penguasaannya kepada pihak swasta atau asing berdasarkan hadis Rasulullah SallallahuAlayhi wa Sallam

“Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal : padang gembalaan, air, dan api.” (HR Ibn Majah)

Maka, untuk menyelesaikan masalah yang terus terjadi di tubuh PLN hingga merugikan rakyat sendiri dengan menghentikan liberalisasi energi dan mengembalikan seluruhnya ke tangan negara sebagai pengelola utama.


Listrik harus dikelola badan milik negara yang statusnya adalah institusi pelayanan, bukan dijadikan sebagai institusi bisnis. Konsekuensinya, badan milik negara yang mengelola listrik memang harus terus disubsidi negara.


Pertanyaannya, dari mana negara –dalam hal ini Indonesia– bisa mendanainya? Jawabannya mudah:  Dari kekayaan alam Indonesia yang sangat melimpah ruah.


Liberalisasi energi masih terus terjadi disebabkan masih bercokolnya sistem kapitalisme-sekuler di negeri ini. Maka kita tidak akan pernah bisa keluar dari berbagai macam masalah, termasuk masalah listrik, karena disebabkan kapitalisme-sekuler itulah yang menjadi sumber masalah.


Jika rakyat merindukan kehidupan yang tenang, penerangan yang terang benderang, itu hanya didapatkan dalam naungan Islam (Khilafah). Sebagai contoh, bukti majunya peradaban Islam ialah pada masa Khilafah Bani Umayyah, Cordoba menjadi ibu kota Andalusia, pada malam harinya diterangi dengan lampu-lampu sehingga pejalan kaki memperoleh cahaya sepanjang sepuluh mil tanpa terputus. Ada sebuah masjid dengan 4.700 buah lampu yang menerangi, yang setiap tahunnya menghabiskan 24.000 liter minyak. (al-waie.id, 1/12/2017)


Bisa dipastikan, penerangan untuk fasilitas umum saja mendapatkan perhatian dari negara, apalagi penerangan untuk setiap rumah penduduknya, tentu menjadi prioritas utama bagi Khilafah.
Wallaahu a'lam

Post a Comment

Previous Post Next Post