Seolah tak pernah habis, kasus pelecehan seksual yang menimpa perempuan terus bermunculan. Terbaru, Pelecehan seksual disertai kekerasan yang menimpa seorang perempuan berinisal NT. Kejadian tersebut menimpanya ketika menjadi penumpang taksi online di daerah Tambora Jakarta.
Seperti fenomena gunung es, kasus pelecehan atau kejahatan seksual yang diketahui dan dilaporkan nampak sedikit, padahal ada banyak kasus yang tak tampak dan menguap begitu saja.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat sebanyak 8.800 kasus kekerasan seksual terjadi dari Januari sampai November 2021.
Sementara itu, Komnas Perempuan juga mencatat ada 4.500 aduan terkait kekerasan seksual yang masuk pada periode Januari hingga Oktober 2021.
Berikut di antara kasus-kasus kejahatan seksual yang terjadi sepanjang 2021:
Pertama, kasus kekerasan seksual di awal tahun 2021 yang menimpa anak penyandang disabilitas rungu-wicara. Ia diperkosa beramai-ramai (gang rape) di Soppeng dan Makassar, Sulawesi Selatan.
Kedua, masih pada bulan Januari, seorang remaja putri berusia 16 tahun hamil 4 bulan akibat mendapat kekerasan seksual dari keluarga dekat sejak tahun 2017. Kasus itu dilaporkan ibu kandung korban, pada Jumat (29/1).
Berdasarkan pengakuan korban, kekerasan seksual itu dilakukan oleh kakek korban berinisial AB (64) sebanyak dua kali pada 2017, ayah korban A (37) sebanyak empat kali pada 2020, dan paman korban O (35) sebanyak tujuh kali pada 2020.
Ketiga, pada Oktober, tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan dicabuli oleh ayahnya ramai dibicarakan. Bukan hanya insiden pencabulannya saja, melainkan penangan kasus di kepolisian. Musababnya, pada 2019 kasus itu sudah dilaporkan ke pihak berwajib namun kasus ditutup dengan alasan tak cukup bukti.
Keempat, kasus kejahatan seksual yang terjadi di salah satu perguruan tinggi di Jawa Timur. Seorang mahasiswa berinisial N buka suara bahwa ia telah dilecehkan oleh dosennya. Pasca kejadian itu, N mengalami trauma sampai putus kuliah di semester empat.
Kelima, memasuki penghujung tahun, dugaan pelecehan seksual di pesantren terungkap. Salah satunya pondok pesantren di Bandung, Jawa Barat. Seorang guru ngaji Herry Wirawan diduga melakukan pelecehan seksual terhadap belasan santri sejak 2016. (cnnindonesia . com, 29/12/21)
Sangat miris membaca berita berbagai kasus kejahatan seksual yang terjadi sepanjang tahun 2021. Kasus-kasus itu terjadi di berbagai tempat yang selama ini dianggap aman, seperti sekolah, perguruan tinggi, hingga pesantren. Korbannya pun beragam, mulai dari santri, mahasiswa, sampai difabel.
Karena begitu maraknya kasus kehajahatan seksual, maka banyak pihak yang berupaya mencari solusi. Di antara solusi yang sangat masif dikampanyekan yaitu dengan menuntut pengesahan RUU P-KS.
Koordinator Pelaksana Harian Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Khotimun Sutanti menilai perlu adanya payung hukum yang menjamin kebenaran, keadilan, pemulihan, pemenuhan rasa keadilan, dan jaminan ketidakberulangan. Salah satunya melalui Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). (cnnindonesia . com, 29/12/21)
Di antara yang paling nyaring mendesak pengesahan RUU P-KS merupakan Komnas Perempuan. Tuntutan juga muncul dari 71 organisasi se-Indonesia yang tergabung dalam Gerak Perempuan. Mereka mengancam menggelar aksi mingguan setiap Selasa sore di depan kompleks DPR, sampai rancangan hukum itu disahkan. (voaindonesia. com, 07/07/20)
Aktivis perempuan memang berharap pengesahan RUU P-KS dapat menekan terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Pengesahan RUU P-KS ini dirasa penting karena adanya persoalan di tingkat substansi dari hukum pidana, yang telah menghalangi korban kekerasan seksual terutama perempuan, untuk memperoleh keadilan dan mendapatkan dukungan penuh untuk pemulihan. (cnnindonesia, 02/07/20)
Apakah RUU P-KS Bisa Jadi Solusi?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari kita coba evaluasi keberadaan UU yang serupa dengan RUU P-KS, yaitu UU Perlindungan Anak dan UU PKDRT.
UU Perlindungan Anak, yang meski sudah direvisi dua kali dan menetapkan pemberatan hukuman untuk pelaku kekerasan terhadap anak, namun tetap tidak mampu memberikan efek jera. Kekerasan terhadap anak masih kerap terjadi.
Demikian halnya KDRT, terus saja terjadi bahkan menempati proporsi kekerasan terbesar hingga 75%, padahal UU PKDRT sudah disahkan sejak tahun 2004.
Maka, sebagaimana UU Perlindungan Anak yang tidak bisa melindungi anak dan UU PKDRT yang tidak bisa melindungi anggota keluarganya sendiri, RUU P-KS pun tidak akan mampu melindungi perempuan dan anak dari kekerasan seksual. (catatan media muslimahnews)
Lantas, solusi apa yang seharusnya dilakukan?
Sebelum mencari solusi, kita wajib mencari penyebab utama atau akar persoalannya, agar bisa didapat solusi yang tepat. Hari ini, betapa banyak yang berusaha mencari solusi, tanpa mencari akar permasalahannya apa. Sehingga solusi yang dihasilkan pun tambal sulam, dan seringkali justru malah melahirkan problem baru yang tidak kalah rumit.
Jika memperhatikan realitas yang ada, maka kita akan menemukan bahwa penyebab utama dari berbagai problem tersebut adalah karena tidak diterapkannya Islam dalam kehidupan.
Aturan Islam yang diterapkan hanya dalam aspek ibadah mahdhah saja. Sementara dalam mengatur urusan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, menggunakan aturan buatan manusia.
Bagaimana mungkin manusia bisa jauh dari segala kejahatan, kalau Islam dijauhkan dari kehidupan. Bagaimana mungkin manusia bisa terhindar dari segala kemaksiatan, sementara sistem hari ini mengkondisikan kemaksiatan merajalela.
Solusi Islam Untuk Kasus Kejahatan Seksual
Sebagai ajaran yang kâmillan (menyeluruh) dan syâmilan (sempurna), Islam mampu menuntaskan berbagai kasus kejahatan, termasuk kejahatan seksual terhadap perempuan. Dengan mekanisme sebagai berikut:
Pertama, membina setiap individu agar memiliki kepribadian Islam.
Negara wajib memberikan fasilitas, sarana dan prasarana yang memberikan kemudahan bagi setiap individu untuk mendapatkan hak pendidikan.
Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah SAW bersabda, "Ketahuilah bahwa setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya, seorang pemimpin umat manusia adalah pemimpin bagi mereka dan ia bertanggung jawab dengan kepemimpinannya atas mereka." (HR. Abu Dawud)
Kalau dalam sistem hari ini, kita melihat arah kebijakan pendidikan cenderung bertujuan melahirkan pribadi yang siap kerja saja, tanpa memperhatikan aspek ruhiyah atau kesadaran manusia akan hubungannya dengan Allah.
Dalam sistem Islam, pendidikan ditujukan untuk mencetak generasi yang bertakwa. Sehingga dengan semakin tinggi jenjang pendidikan yang dilalui, semakin tinggi pula sifat takwa yang dimiliki. Karena akalnya akan dipenuhi dengan ilmu yang mampu menjaga dari hal-hal yang diharamkan Allah.
Jika dia seorang ayah atau suami, maka ia akan menjadi ayah atau suami yang bertanggung jawab, memberikan nafkah lahir batin, memperlakukan keluarga dengan lembut dan penuh kasih sayang. Semua itu ia lakukan karena dorongan ketakwaan kepada Allah SWT.
Kedua, mewujudkan masyarakat yang Islami dengan menerapkan syariat Islam secara totalitas.
Islam memiliki seperangkat aturan yang ketika diterapkan seluruhnya, maka akan mampu menciptakan masyarakat yang luhur dan mulia, jauh dari sifat keji dan munkar.
Misalnya saja, dengan menerapkan sistem pergaulan dalam Islam, maka interaksi antar anggota masyarakat yang bukan mahrom akan terjaga. Baik laki-laki maupun perempuan, ketika keluar rumah maka wajib menutup aurat secara sempurna.
Masyarakat memiliki peran strategis agar setiap individu berjalan sesuai dengan aturan Allah SWT, yakni dengan beramar ma'ruf nahi munkar. Dalam Islam, tidak ada istilah nafsi-nafsi alias masing-masing, sebagaimana dalam pandangan sistem hari ini. Dimana ketika ada yang bermaksiat, selama tidak merugikan orang lain, maka tidak boleh diganggu.
Dalam Riyadhus Shalihin karya Imam Nawawi, di bab "Memerintahkan pada Kebaikan dan Melarang dari Kemungkaran" terdapat sebuah hadis dari An Nu'man bin Baysir, dia berkata bahwa Nabi SAW bersabda,
"Kemungkaran adalah bagaikan suatu kaum yang berundi dalam sebuah perahu. Nantinya, ada sebagian berada di bagian atas dan sebagiannya lagi di bagian bawah perahu tersebut. Yang berada di bagian bawah ketika ingin mengambil air, tentu dia harus melewati orang-orang di atasnya.
Mereka berkata, "Andai kata kita membuat lubang saja sehingga tidak mengganggu orang yang berada di atas kita."Seandainya yang berada di bagian atas membiarkan orang-orang bawah menuruti kehendaknya, niscaya semuanya akan binasa. Namun, jika orang bagian atas melarang orang bagian bawah berbuat demikian, niscaya mereka selamat dan selamat pula semua penumpang kapal itu." (HR Imam Bukhari no. 2493).
Ketiga, keberadaan negara dalam Islam memiliki peran yang paling krusial bagi terlaksananya seluruh aturan Islam. Negara wajib menjalankan pemerintahannya sesuai dengan aturan Islam.
Aturan politik, pendidikan, ekonomi, sosial, sanksi, dan sebagainya harus mengacu pada apa yang sudah ditetapkan dalam Islam.
Dengan diterapkannya seluruh aturan tersebut, maka secara otomatis berbagai bentuk kejahatan akan hilang. Kalaupun masih ada, maka akan sangat sedikit. Karena Islam memiliki sistem sanksi yang mampu meninggalkan efek jera bagi pelaku.
Untuk kasus kejahatan seksual saja, Islam akan menjatuhkan sanksi sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukan. Semakin berat kejahatannya, maka akan semakin keras sanksi yang diberikan.
Ulama mengategorikan pemerkosaan sebagai tindakan zina. Hukumannya adalah had yang sudah ditetapkan dalam kasus perbuatan zina. Jika pelaku belum menikah, hukumannya cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Jika pelakunya sudah menikah maka hukuman rajam bisa dilaksanakan.
Jika tindakan pemerkosaan dibarengi dengan tindakan penyiksaan atau perampasan harta maka hukumannya bisa ditambah. Beberapa ulama berpendapat, tambahan hukuman bagi pemerkosa yang menyiksa atau merampas harta sesuai dengan Alquran surah al-Maidah ayat 33.
Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya, hukuman terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah mereka dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang, atau dibuang (keluar daerah). Yang demikian itu, (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar."
Kalau sanksinya seperti itu, siapa yang berani melakukan kejahatan perkosaan? Mereka tentu akan berpikir ribuan kali, mengingat konsekuensi yang akan didapatkan.
Dengan demikian, hanya sistem Islam yang mampu menghilangkan kejahatan, termasuk kekerasan seksual pada anak dan perempuan.
Mengawali tahun ini dengan sebuah harapan besar, yakni berharap bahwa kondisi masyarakat akan jauh lebih baik. Semakin banyak yang menyadari pentingnya penerapan Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Post a Comment