Oleh: Nurul Rabiatul Adawiyah, S.Pd (Aktivis Dakwah Kampus)
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 117 tahun 2021 tentang penyediaan, pendistribusian, dan harga jual eceran BBM. Perpres tersebut sekaligus mengubah Perpres Nomor 191 tahun 2014 yang mengatur ketentuan serupa.
Prepres tentang penyaluran bahan bakar minyak (BBM) ini memang belum menghapus premium utk saat ini. Namun, secara pasti pemerintah akan menghapus produksi-distribusi premium demi negeri hijau.
Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, menyampaikan bahwa penghapusan BBM jenis premium merupakan upaya untuk mengurangi emisi karbon dan menuju energi hijau yang ramah lingkungan. Sementara itu, Dirut Pertamina Nicke Widyawati mengatakan pihaknya juga telah mencanangkan program Langit Biru agar masyarakat mau beralih dari BBM jenis premium ke pertalite, serta berhasil menurunkan emisi karbon sebanyak 12 juta ton. (NusantaraNews.com, 28/01/2022).
Rasanya tidak tepat pernyataan yang dikeluarkan tatkala rakyat masih berjibaku mengembalikan kehidupan yang luluh lantak akibat pandemi covid-19.
Sementara, BBM premium merupakan jenis bahan bakar kendaraan yang tergolong murah dan terjangkau bagi seluruh warga negara. Terutama bagi rakyat bawah. Sangat disayangkan, pemerintah menghapus dan menggantinya dengan pertalite sebagai bahan bakar yang banyak digunakan oleh masyarakat. Dimana selisih harga premium dan pertalite sekitar Rp. 1.190 per liternya.
Bagi sebagian masyarakat, selisih harga tersebut bukanlah masalah. Namun, bukan berarti sebagian lainnya merasakan hal yang demikian. Keputusan terkait berhentinya proses produksi dan distribusi BBM premium jelas berdampak besar pada laju ekonomi rakyat.
Kabar rencana penghapus BBM tidak hanya premium tetapi pertalite pun ingin dihapus sebab premium dan pertalite merupakan jenis bahan bakar minyak beroktan rendah. Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengarahkan bahwa akan memiliki dampak langsung dan tidak langsung terhadap inflasi. Dampak langsungnya terhadap sektor transportasi terutama darat yang berhubungan langsung dengan konsumsi premium dan pertalite. (katadak.com, 28/12/2022)
Penghapusan premium dan pertalite akan memberikan dampak psikologis. Hal ini karena bahan bakar yang dapat dikonsumsi memiliki harga lebih mahal. Selain itu, secara historis kenaikan harga BBM juga secara simultan ikut mengerek kenaikan harga-harga bahan makanan.
Penghapusan BBM jenis premium dan pertalite akan memberi andil tambahan inflasi sebesar 1-2%. Namun, jika penghapusan dilakukan secara bertahap, yakni pada premium terlebih dahulu, maka tambahan inflasi kemungkinan di bawah 1%. Hal ini karena konsumsi Premium tidak setinggi Pertalite.
Di sisi lain, terdapat sejumlah kebijakan yang berpotensi mengerek kenaikan inflasi tahun depan. Masalahnya yang naik bukan hanya BBM, tetapi juga LPG, listrik kemudian PPN juga naik. Langkah pemerintah menghapuskan penggunaan BBM ini berpotensi berdampak meluas bukan hanya inflasi, tetapi menggangu prospek pemulihan konsumsi rakyat. Itu artinya kebijakan ini sama sekali tidak menguntungkan rakyat.
Penghapusan BBM oktan rendah berganti ke oktan tinggi secara bertahap dengan mencabut atau mengurangi subsidinya. Secara hakikat merupakan upaya terselubung liberalisasi migas di sektor hilir. Yang mana harga BBM akhirnya diserahkan ke mekanisme pasar. Hal ini perlu diwaspadai sebagai upaya terselubung untuk menaikan harga BBM dan melepas harga BBM sepenuhnya ke harga pasar.
Sejatinya, hal ini patut dianggap inkonstitusional atau bertentangan dengan spirit undang-undang dan amanah konstitusi terkait penguasaan negara terhadap sumber daya alam (SDA) dan peruntukannya bagi kemakmuran rakyat secara penuh. Hal ini tertuang dalam UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas (UU Migas).
Jika kebijakan ini tidak menguntungkan rakyat sama sekali, lalu siapa yang diuntung?
Tidak lain di sini adalah pihak asing, di mana penghapusan BBM beroktan rendah ini akan membuka peluang kepada asing untuk ikut bermain di sektor hilir. Untuk meraup lebih banyak cuan dari yang telah mereka timbun melalui penguasaan BBM di sektor hulu.
Sangat jelas bahwa kebijakan pemerintah ini tidak pro terhadap rakyat. Terlebih, kebijakan penghapusan ini bersamaan dengan kebijakan kenaikan PPN dan PPh, kenaikan LPG serta tarif dasar listrik sehingga hal ini tentu makin membuat rakyat tercekik.
Dalam perspektif Islam, bahan tambang yang jumlahnya melimpah seperti minyak dan gas adalah termasuk harta kepemilikan umum. Status sah kepemilikannya adalah milik rakyat, tidak boleh diserahkan kepada individu, swasta, terlebih kepada asing. Pengelolaannya dilakukan oleh negara, sedangkan pemanfaatannya digunakan untuk kemakmuran rakyat seluruhnya.
Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan Abu Khurasyi dari sebagian sahabat Nabi Saw., berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR Abu Daud).
Adapun larangan dikuasainya harta milik rakyat yang jumlahnya melimpah oleh individu, swasta, apalagi asing adalah berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Abidh bin Hamal Al-Mazaniy
“Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Maka beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majlis, ‘Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir’. Akhirnya beliau bersabda: ‘(Kalau begitu) tarik kembali darinya.” (HR Tirmidzi)
Hal ini merupakan dalil larangan atas individu untuk memilikinya. Karena hal itu, merupakan milik seluruh kaum muslim. Larangan tersebut tidak terbatas pada tambang garam saja, melainkan cakupannya umum, yaitu meliputi setiap barang tambang apa pun jenisnya, asalkan memenuhi syarat bahwa barang tambang tersebut jumlah/depositnya laksana air yang mengalir, yakni tidak terbatas.
Sedangkan, pemanfaatan minyak dan gas, dimana jenis harta ini adalah milik umum dan pendapatannya menjadi milik seluruh umat, dan mereka berserikat di dalamnya maka setiap individu rakyat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari harta milik umum dan sekaligus pendapatannya.
Adapun pengelolaannya, karena minyak dan gas tidak bisa dimanfaatkan secara langsung melainkan harus melalui tahapan proses pengeboran, penyulingan, dan sebagainya yang membutuhkan perangkat maka negara lah yang mengambil alih pengelolaannya mewakili kaum muslim.
Negara kemudian menyimpan pendapatannya di baitulmal. Setelah itu, dilakukan pendistribusian hasil dan pendapatan negara sesuai dengan ijtihad Khalifah yang dijamin oleh hukum-hukum syara dalam rangka mewujudkan kemaslahatan rakyat secara keseluruhan.
Pendapatan ini digunakan untuk membiayai segala proses operasional produksi minyak dan gas, pengadaan sarana dan infrastruktur, riset, pengolahan, hingga pendistribusian ke setiap SPBU. Termasuk juga untuk membayar seluruh kegiatan administrasi dan tenaga karyawan, tenaga ahli, dan direksi yang mengelolanya.
Khilafah juga membuat kebijakan untuk membangun sistem energi hijau yang ramah lingkungan, murah dan bersih seperti nuklir atau panas bumi dengan mengikuti perkembangan sains dan teknologi. Namun, tujuannya semata-mata untuk mencukupi terpenuhinya kebutuhan energi rakyat dan meningkatkan kualitas kehidupannya. Bukan seperti sistem kapitalisme yang memiliki motif utama untuk kepentingan ekonomi bagi segelintir pihak saja.
Wallahualam bishawab.
Post a Comment