Oleh Khaulah
(Aktivis BMI Kota Kupang)
Apabila hendak memperbaiki bangunan, alangkah baiknya mulai membangun kokoh fondasinya. Bukan dengan mengabaikan fondasi dan mementingkan atap atau dinding. Ya, sekuat apapun dinding, semahal apapun bahan atap, fondasi menjadi bagian terpenting dari sebuah bangunan. Fondasilah yang menjadikan bangunan itu kokoh atau rapuh.
Sama halnya dengan problematika kehidupan, tak boleh amburadul dalam penyelesaiannya. Harus memahami betul akar permasalahan, kemudian memecahkan. Dengan begitu, permasalahan bisa tuntas setuntas-tuntasnya. Jika akarnya tak diberangus, masalah tak pernah menemui kata selesai, cenderung beranak-pinak.
Begitu jugalah masalah pendidikan di negeri ini, salah satunya terkait kesenjangan pendidikan. Kemendikbudristek menawarkan kurikulum prototipe atau kurikulum 2022 sebagai senjata mengatasi kehilangan pembelajaran atau learning loss dan mengakselerasi transformasi pendidikan nasional.
Kurikulum prototipe merupakan opsi kebijakan kurikulum untuk pemulihan pembelajaran pascacovid. Kurikulum ini dirancang agar memuat lebih sedikit materi juga akan dilengkapi dengan perangkat yang memudahkan guru melakukan diferensiasi pembelajaran. Singkatnya mendorong guru untuk mengurangi kesenjangan kualitas pendidikan.
Mari kita lihat, apakah kurikulum prototipe mampu menjadi solusi atas problematik yang menimpa pendidikan? Di laman news.detik.com (27/12/2021) dijelaskan bahwa kesenjangan pendidikan antar wilayah dan antar kelompok sosial-ekonomi di Indonesia memang besar, diperparah oleh pandemi. Setelah satu tahun pandemi, hasil belajar literasi dan numerasi siswa di wilayah Timur Indonesia tertinggal sekitar delapan bulan belajar dibanding mereka yang tinggal di wilayah Barat.
Selain itu, siswa yang tidak memiliki fasilitas belajar, seperti buku teks, tertinggal 14 bulan belajar dibanding mereka yang memilikinya. Siswa yang ibunya tidak bisa membaca bahkan tertinggal 20 bulan belajar dibanding mereka yang ibunya bisa membaca. Kesenjangan ini merupakan perkara yang amat serius, karena menyangkut kondisi generasi muda penerus peradaban.
Dari fakta ini, bisa dipastikan bahwa yang mengalami learning loss ialah sebagian besar pelajar di negeri ini. Maka, dukungan Komisi X DPR terhadap kurikulum 2022 dengan alasan "optional dan tidak wajib" harus ditolak, karena sama saja menyuburkan kesenjangan yang ada.
Apalagi menurut ungkapan Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda bahwa kurikulum prototipe merupakan langkah pembaharuan dari kurikulum sebelumnya yang konservatif, yang tidak relevan dengan perkembangan dunia. Tentu menimbulkan tanda tanya besar di benak publik. Bukankah sebaiknya pemerintah sibuk memperbaiki mutu pendidikan dengan melengkapi fasilitas yang serba kurang dibanding sibuk mengubah kurikulum?
Sungguh sangat diperlukan penanganan sistemik terhadap kesenjangan pendidikan. Perlu mencari tahu akar permasalahannya. Tetapi patut digarisbawahi bahwa akar masalahnya bukan ketimpangan di masyarakat (ketimpangan sosial-ekonomi), seperti yang digaungkan orang-orang.
Jika menyelam lebih jauh dan dalam, tampak jelas bahwa ketimpangan yang terjadi di masyarakat ialah akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme, berawal dari diterapkannya ideologi sekuler kapitalisme di negeri ini. Masyarakat yang individualis abai dengan ketimpangan yang ada. Yang menjadi fokus mereka adalah memenuhi kebutuhan perut atau menarik materi sebanyak mungkin.
Apalagi negara yang berlepas diri dari kepengurusannya terhadap hajat rakyat yang memaksa mereka memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Kebutuhan mereka akan perut akhirnya mengalahkan kebutuhan mereka akan ilmu. Negara harusnya peka bahwa yang dibutuhkan pelajar setelah kehilangan kesempatan belajar bahkan sampai setahun lebih bukan kurikulum prototipe yang justru memuat lebih sedikit materi. Yang dibutuhkan ialah negara yang bertanggung jawab terhadap penjaminan mutu pendidikan.
Negeri ini harusnya berkaca pada peradaban gemilang yang menguasai dua per tiga dunia empat belas abad sebelum hari ini. Dimana negara betul-betul merealisasikan sabda Rasulullah saw. bahwa pemimpin adalah pelindung, pelayan, dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Pemimpin yang tatkala mengambil kebijakan bukan berstandar pada kemauan diri
Pemimpin secara langsung maupun tak langsung memenuhi kebutuhan rakyatnya, mulai pendidikan, kesehatan, keamanan dan kebutuhan pokok. Rakyat tidak dibiarkan terlunta-lunta mencari segenggam beras akibat ketiadaan negara, yang berbuntut pada hilangnya kesempatan pendidikan bagi rakyat kelas bawah.
Dalam negara yang menerapkan aturan Islam secara kafah, perhatian terhadap pendidikan sangat luar biasa. Anak-anak dari semua kelas sosial bisa mendapatkannya, tanpa terkecuali. Sebut saja di Kairo, terdapat sekolah anak yatim yang didirikan oleh Al-Mansur Qalawun. Juga di Cordoba, terdapat 27 sekolah khusus anak-anak miskin. Bahkan untuk orang Badui yang berpindah-pindah, dikirim guru yang siap berpindah-pindah mengikuti tempat tinggal muridnya.
Sungguh, negara bersistem Islam amat perhatian terhadap kebutuhan rakyat, terkhusus pendidikan. Tak hanya banyaknya sekolah, fasilitas termasuk tenaga pendidikan pun teramat luar biasa berkualitas tak luput dari perhatian negara. Ya, negara tak menyibukkan diri mengotak-atik kurikulum pendidikan, karena dalam negara Islam kurikulum pendidikan hanya berlandas pada akidah Islam.
Wallahu a'lam bishshawab
Post a Comment