Klaim China atas Natuna, Bukti Pentingnya Ketegasan Negara dalam Menjaga Kedaulatan Wilayah



Oleh Widia

(Generasi Milenial Peduli Umat)

Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang juga dikenal sebagai negara maritim di dunia. Alasan mengapa Indonesia disebut sebagai negara maritim berasal dari pengakuan dunia bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Terlebih, Indonesia juga dikenal memiliki budaya dan suku bangsa yang beragam. Selain itu, alasan utama mengapa Indonesia disebut sebagai negara maritim adalah karena sebagian besar wilayahnya merupakan perairan. Salah satu kekayaan maritim yang dimiliki oleh Indonesia adalah Laut Natuna.

Laut Natuna merupakan perairan yang terbentang dari kepulauan Natuna hingga kepulauan Lingga di Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Laut Natuna berbatasan dengan Laut Natuna Utara di utara, barat laut, dan timur. Laut Natuna juga berbatasan dengan Selat Karimata di tenggara dan Selat Singapura di arah barat. Laut Natuna memiliki potensi dan kekayaan alam yang sangat melimpah.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, perairan Natuna memiliki potensi ikan pelagis mencapai 327.976 ton, ikan demersal 159.700 ton, cumi-cumi 23.499 ton, rajungan 9.711 ton, kepiting 2.318 ton, dan lobster 1.421 ton per tahun. Kemudian, juga ada potensi ikan kerapu, tongkol, teri, tenggiri, ekor kunin, udang putih, dan lainnya.

Menurut laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), cadangan migas di Laut Natuna Utara cukup besar. Cadangan minyak bumi terbukti di Laut Natuna Utara sebesar 92,63 juta standar barel atau milion stock tank barrel (MMSTB). Sementara itu, cadangan potensial minyak bumi di Laut Natuna Utara adalah 137,13 MMSTB. Cadangan potensial itu terdiri dari cadangan harapan sebesar 88,90 MMSTB dan cadangan mungkin 48,23 MMSTB. Karena potensi dan kekayaan alam yang melimpah tersebut, sering terjadi konflik perebutan wilayah di Laut Natuna. Salah satunya yaitu konflik perebutan Laut Natuna yang terjadi antara Cina dengan Indonesia yang sudah berlangsung cukup lama.

Konflik perebutan wilayah Laut Natuna baru-baru ini kembali memanas setelah Cina menuntut Indonesia untuk menghentikan pengeboran minyak dan gas alam (migas), karena mengeklaim wilayah itu miliknya. Padahal apabila merujuk pada ketentuan wilayah, aktivitas kapal-kapal asing di perairan Natuna merupakan perbuatan yang melanggar aturan. Hal ini disebabkan karena Konvensi Hukum Laut Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) secara resmi sudah menetapkan perairan Natuna sebagai Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia.

Pemerintahan Cina menyebut Laut Natuna yang berada di Kepulauan Riau sebagai Nine Dash Line atau sembilan garis putus-putus. Klaim tersebut dijadikan dasar dalam tindakan menangkap ikan di Laut Natuna. Nine Dash Line atas pengakuan pemerintahan Cina sebagai wilayah laut Cina Selatan luasnya mencapai dua juta kilometer persegi yang terbentang hingga dua ribu kilometer. Dalam hal ini Cina menyebutkan bahwa mereka memiliki hak maritim terhadap wilayah tersebut.

Klaim Cina yang menyatakan memiliki hak tradisional untuk melakukan penangkapan ikan yang telah berlangsung beberapa dekade tersebut menjadi perdebatan dan bantahan dari berbagai pihak di Indonesia. Pemerintah Indonesia mengatakan ujung selatan Laut Cina Selatan tersebut sebagai zona ekonomi eksklusif Indonesia menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut. Indonesia menamai wilayah tersebut dengan Laut Natuna Utara pada 2017. Dengan payung hukum itu, Indonesia memiliki kewenangan penuh untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di sana.

Melihat konflik perebutan wilayah di Laut Natuna yang terjadi antara Cina dengan Indonesia, seharusnya mampu membuat pemerintah bertindak lebih tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan Cina, karena bisa saja suatu hari nanti Cina akan mengklaim wilayah Indonesia yang lainnya. Apabila pemerintah tidak bertindak tegas, wilayah perairan Natuna yang menjadi objek sengketa atau dilanggar batas wilayahnya, menjadi taruhan akan kedaulatan NKRI. Tentunya kita tidak ingin mengulang kembali kesalahan yang sama beberapa tahun lalu ketika harus kehilangan Sipadan dan Ligitan.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, upaya diplomasi melalui komunikasi dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, termasuk dengan negara pengklaim yaitu Cina, harus segera dilakukan. Upaya ini merupakan cara awal yang dapat ditempuh pemerintah untuk menghindari adanya gesekan yang lebih parah di wilayah perairan. Selain itu, menempatkan armada tempur pada wilayah perbatasan merupakan bagian dari strategi pertahanan yang efektif karena dapat menghalau segala bentuk ancaman maritim yang datang dari luar.

Semua elemen masyarakat pun juga harus memberikan perhatian terhadap kedaulatan maritim di Indonesia. Caranya adalah dengan ikut mengawasi, mencintai, empati dan mendukung usaha- usaha dunia maritim. Hal ini bisa dilakukan dengan terus mempelajari secara mendalam seluk beluk sektor maritim. Berbekal kedaulatan maritim, maka kita akan mampu mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai bangsa maritim yang besar dan disegani bangsa lain di dunia.

Wallahu a'lam bishawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post