Oleh: Erlita Nur Safitri
Alumnus Universitas Pancasila
Sudah
bukan rahasia umum lagi tingkat korupsi di negeri pengemban demokrasi
kapitalisme ini masih cukup tinggi. Korupsi agaknya telah menjadi persoalan
yang amat kronis. Ibarat penyakit, korupsi dikatakan telah menyebar luas ke
seantero negeri dengan jumlah dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat.
Berdasarkan data dari Sindonews.com (17/12/21), Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) mengantongi sebanyak 3.708 laporan dugaan korupsi sejak Januari
hingga November 2021. Dari 3.708 laporan tersebut, sebanyak 3.673 telah rampung
diproses verifikasi oleh KPK.
Kasus
korupsi yang terjadi pun ada dalam setiap bidang, baik politik, pendidikan,
atau pun kesehatan. Korupsi adalah suatu jenis perampasan terhadap harta
kekayaan rakyat dan negara dengan cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya
diri. Kasus korupsi ini pun merata di kalangan pejabat.
Pejabat tinggi
di mata penegak hukum di Indonesia, masih bisa dibeli dengan mudah, mereka
mendapatkan hukuman yang ringan dibanding dengan apa yang dilakukan. Petinggi
yang mempunyai kasus-kasus korupsi, dan telah dipenjarakan biasanya memiliki
fasilitas yang sangat mewah, seperti tidak mendapatkan hukuman penjara.
Sedangkan, kepada masyarakat bawah yang memiliki kasus korupsi mendapatkan
hukuman yang sangat berbanding terbalik dengan korupsi yang dilakukan oleh
pejabat tinggi.
Ini merupakan
konsekuensi logis dari penerapan sistem yang ada saat ini. Sistem demokrasi
membuat siapa pun yang ingin duduk di kekuasaan, jalan mulusnya dengan asas materi.
Ada harga yang harus dibayar untuk bisa berlabuh di kekuasaan misalnya
berdasarkan Riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM)
Universitas Indonesia pada 2014 (lpem.org) dibutuhkan 250-500 juta rupiah untuk
caleg DPRD. Sehingga, dalam hukum pun pejabat yang melakukan korupsi, diberikan
fasilitas istimewa, tidak seperti rakyat
biasa. Sebab untuk berada dalam kekuasaan ini pun harus dibeli dengan harga yang
mahal.
Hal ini berbeda
dengan penerapan sistem pemerintahan Islam. Sistem pemerintahan Islam
dijalankan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Dalam menjalankan roda
pemerintahannya semua berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Semua berjalan atas landasan ridha Allah,
bukan materi. Sebab menjalankan aturan Allah secara kaffah adalah kewajiban.
Adapun aturan
yang diterapkan untuk mencegah korupsi dalam pemerintahan Islam di antaranya: Pertama,
dibentuk Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan. Kedua, sistem penggajian yang layak. Ketiga, memiliki
ketakwaan Individu yang kuat. Keempat, amanah, adanya perhitungan
kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Apabila terdapat
kenaikan yang tidak wajar, maka yang bersangkutan diminta membuktikan bahwa
kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara yang halal. Kelima,
penerapan aturan haramnya korupsi dan sanksi yang tegas dan membuat jera.
Tampak
dengan jelas bahwa Islam melalui syariatnya telah memberikan solusi yang sangat
gamblang dalam pemberantasan korupsi dan mewujudkan pemerintahan yang bersih. Inilah
pentingnya seruan penegakan syariat Islam. Dengan syariat, kita menjadi tahu
bagaimana penanganan masalah korupsi secara komprehensif. Selama sistem yang
saat ini masih diterapkan belum berganti, korupsi akan disemai subur sebab
akarnya belum tercabut.
Sungguh
ironis bila di satu sisi kita sadar tengah mengidap banyak sekali penyakit,
termasuk penyakit kronis bernama korupsi, tapi di sisi lain kita menolak secara
apriori terhadap kehadiran obat mujarab, yakni syariat Islam, yang mampu
menyembuhkan penyakit-penyakit itu. Apalagi, selama ini obat lain telah
terbukti gagal. Masihkah kita berharap korupsi akan bisa selesai dalam sistem
demokrasi kapitalis ini?[]
Post a Comment