Harga Komoditas Naik Rutin, Mengapa Gagal Antisipasi?



Oleh  Juniwati Lafuku, S. Farm.

 (Pemerhati Sosial)

Menjelang akhir tahun 2021, harga sejumlah pangan mengalami peningkatan. Harga sejumlah bahan pangan pokok, seperti minyak goreng dan cabai merah, tidak terkendali pada Natal tahun ini. Kenaikan harga komoditas global dan La Nina menjadi faktor utama penyebab lonjakan harga itu. Hal ini akan berpengaruh pada tingkat inflasi pada saat daya beli masyarakat belum pulih.

Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat, komoditas pangan pokok yang melonjak harganya adalah minyak goreng, cabai merah, telur ayam ras, dan bawang merah. Per 24 Desember 2021, harga minyak goreng curah naik 3,49 persen secara bulanan menjadi Rp 17.800 per liter, di atas harga eceran tertinggi (HET) Rp 11.000 per liter. (Kompas.com, 27/11/2021)

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menilai kenaikan harga itu tidak wajar. Pemangku kepentingan diminta melakukan operasi pasar dan penyelidikan terkait dugaan permainan kartel.

Permainan Kartel Buah Sistem Kapitalisme

Peneliti Core Indonesia, Dwi Andreas mengatakan saat ini harga-harga komoditas tersebut telah melewati batas harga psikologis. Harga cabai di tingkat konsumen telah tembus Rp 100.000 per kilogram. Harga minyak goreng curah sudah lebih dari Rp 18.000 per kilogram dan harga telur yang mencapai Rp 30.000 per kilogram.

Andreas menjelaskan kenaikan harga cabai ini dipicu fenomena alam La Nina yang membuat para petani banyak yang gagal panen. Sementara permintaan di akhir tahun selalu tinggi, sehingga hukum ekonomi berlaku.

Dia menilai puncak kenaikan harga cabai akan berakhir di bulan Januari. Kemudian di bulan Februari mulai akan turun dan harga cabai akan berangsur turun kembali.

"Mulai akhir Januari petani akan mulai panen, jadi pada bulan Februari harga mulai turun," kata dia.

Begitu juga dengan harga minyak goreng, kenaikan harga minyak ini terjadi karena meningkatnya permintaan kelapa sawit yang besar dari luar negeri. Ini pun menyebabkan para pelaku usaha memanfaatkan kenaikan harga komoditas untuk meraup keuntungan.
(Liputan6.com, 29/12/2021)

Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri mengatakan penurunan produksi sebagian besar disebabkan oleh la nina, yang menyebabkan curah hujan cukup tinggi dan berdampak pada berbagai komoditas seperti cabai dan lainnya. Selain itu, dia juga menilai penurunan produksi disebabkan petani yang tidak memiliki modal untuk berproduksi. Karena itu, Abdullah pun meminta supaya pemerintah mengantisipasi kenaikan harga menyiapkan produksi dan pendistribusiannya. Dia khawatir harga sejumlah komoditas pangan seperti cabai, sayur mayur, bawang merah hingga beberapa komoditas lain yang pasokannya minim akan mengalami kenaikan harga, mengingat sebentar lagi akan menjelang perayaan natal dan tahun baru. Langkah pertama memang sebaran produksi. Itu sebenarnya sudah harus dilakukan jauh-jauh hari, karena kan tanam sekarang belum tentu bisa panen bulan depan. itu yang perlu diantisipasi.

Nyatanya, pemerintah seperti tidak belajar dari kejadian berulang. Datangnya La Nina adalah bagian dari hukum alam yang tak bisa dihindari. Namun kehadirannya dapat di prediksi dan jauh-jauh hari sudah dapat dipetakan strategi dalam menghadapinya. Dengan begitu, wilayah yang gagal panen akan tetap mendapatkan pangan dari wilayah yang surplus tanpa harus dijual dengan harga mahal ke masyarakat.

Di tengah himpitan ekonomi karena dampak pandemi, persengkokolan antar-pengusaha untuk mengendalikan harga terus terjadi. tindakan tersebut mengakibatkan kerugian bagi masyarakat luas, khususnya konsumen. Hal ini dikenal dengan Kartel. Pengertian Kartel tidak dinyatakan secara eksplisit di dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, namun ada pengaturannya di dalam bagian Kelima (tentang Kartel), tepatnya pada Pasal 11.

Pasal ini menyatakan pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha saingannya yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Tentunya dengan keberadaan kartel, kesejahteraan masyarakat akan menurun. Tingkat rasio begini yang menggambarkan kesenjangan karena kemiskinan pun akan mendekati satu yang berarti jumlah masyarakat miskin bertambah. Hal ini terbukti dengan ketidakmampuan masyarakat dalam membeli bahan pokok. Meski tingkat rasio gini di tiap daerah berbeda, di tahun 2021 pemerintah masih melakukan akselerasi pemerataan ekonomi, yang menjadi indikasi perekonomian masyarakat di Indonesia masih menjadi masalah serius.

Pemerintah pun dari tahun ke tahun terus berupaya membasmi mafia kartel, melakukan operasi pasar hingga tim khusus, nyatanya tiap tahun kartel pangan terus terjadi. Maka sudah barang tentu sistem ekonomi yang dianut Indonesia, perlu di kaji ulang, karena pasar terus dimonopoli oleh para kapitalis rakus, sementara masyarakat awam hanya bisa mengelus dada melihat fenomena ini.

Sistem Ekonomi Islam: Membasmi Kartel Hingga ke Akarnya

Kemampuan khilafah mewujudkan stabilitas harga pangan agar bisa dijangkau rakyat adalah buah dari penerapan sistem Islam. Sekalipun pada masa lalu wilayah daulah tersebar luas, sementara teknologi pertanian, sarana transportasi, dan logistik masih terbatas, tetapi khilafah terbukti mampu mewujudkan jaminan ketahanan pangan bagi seluruh rakyat.

Secara prinsip, kunci kestabilan harga dan terjangkau oleh rakyat terletak pada fungsi politik negara yang benar. Islam menetapkan fungsi pemerintah sebagai pelayan dan pelindung rakyat.

Rasulullah saw. menegaskan,
“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad, Bukhari).

Dalam hadis lainnya disebutkan, “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim).

Artinya, pemerintahlah yang bertanggung jawab mengurusi seluruh hajat rakyat. Apalagi pangan merupakan kebutuhan asasi yang pemenuhannya harus dijamin oleh negara.

Begitu pula, negara adalah pelindung rakyat, yaitu yang terdepan menghilangkan dharar atau bahaya di hadapan rakyat. Khilafah tidak akan membiarkan korporasi menguasai rantai penyediaan pangan rakyat untuk mencari keuntungan sepihak. Dengan penerapan sistem ekonomi Islam, keberadaan korporasi-korporasi raksasa dapat dihindari.

Kedua fungsi ini harus diemban oleh seluruh struktur negara hingga unit pelaksana teknisnya. Oleh sebab itu, badan pangan seperti Bulog atau BUMD harus menjalankan fungsi pelayanan, bukan menjadi unit bisnis. Jika badan pangan melaksanakan fungsi stabilisator harga dengan operasi pasar, harus steril dari mencari untung. Sementara, pendanaan bagi lembaga ini sepenuhnya ditanggung oleh baitul maal khilafah.

Demi menjaga stabilitas harga, jhilafah akan mengambil kebijakan sebagai berikut:

Pertama, menjaga ketersediaan stok pangan supaya suplai dan demand menjadi stabil. Kebijakan ini diwujudkan dengan menjamin produksi pertanian di dalam negeri berjalan maksimal. Keberhasilannya sangat tergantung dengan kebijakan Khilafah di sektor pertanian.

Khilafah akan memastikan lahan-lahan pertanian berproduksi dengan menegakkan hukum tanah yang syar’i. Negara juga akan memberi dukungan kepada petani/peternak, baik berupa saprotan maupun pembangunan infrastruktur pendukung. Termasuk implementasi hasil riset dan inovasi dari para pakar dan intelektual untuk mengejar produktivitas pertanian setinggi mungkin. Teknologi yang terkait prediksi cuaca dan iklim pun diterapkan, sehingga cuaca yang kurang bersahabat bisa diantisipasi lebih awal (mitigasi).

Dengan penguasaan stok pangan yang berada dalam pengaturan negara, akan mudah menjalankan kebijakan distribusi pangan dari daerah surplus ke daerah yang mengalami kelangkaan (di samping konsep otonomi daerah seperti saat ini juga tidak diakui).

Melalui pengadaan infrastruktur dan moda transportasi yang juga dikuasai negara. Proses pengiriman bisa berlangsung dengan mudah dan cepat.

Sebagaimana pernah dilakukan Umar bin Khaththab ketika Madinah mengalami musim paceklik. Beliau mengirim surat kepada Abu Musa ra. di Bashrah yang isinya, “Bantulah umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam! Mereka hampir binasa.” Setelah itu, surat yang sama dikirim kepada ‘Amru bin Al-‘Ash ra. di Mesir.

Kedua gubernur ini kemudian mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar, terdiri dari makanan dan bahan pokok berupa gandum. Bantuan ‘Amru ra. dibawa melalui laut hingga sampai ke Jeddah, kemudian dari sana baru dibawa ke Makkah.

Jika ketersediaan stok pangan di dalam negeri tidak memadai, khilafah bisa melakukan impor. Namun, impor dilakukan secara temporer hanya untuk menstabilkan harga, tidak diperbolehkan menjadi ketergantungan. Impor boleh dilakukan kecuali dari negara-negara kafir harbi fi’lan dan komoditasnya pun bukan komoditas haram.

Kebijakan kedua, menjaga rantai tata niaga, yaitu dengan mencegah dan menghilangkan distorsi pasar. Di antaranya melarang penimbunan, melarang riba, melarang praktik tengkulak, kartel, dsb. Disertai penegakan hukum yang tegas dan berefek jera, sesuai aturan Islam.

Islam tidak membenarkan penimbunan dengan menahan stok sampai menunggu harganya naik. Abu Umamah al-Bahili berkata, “Rasulullah saw. melarang penimbunan makanan.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).

Penting untuk dipahami, tumbuh suburnya spekulan, mafia, atau kartel di pasar kapitalisme juga akibat hilangnya peran negara. Walhasil, rantai perdagangan dikuasai oleh korporasi alias pedagang besar/tauke. Harga yang terbentuk di pasar bukan berdasar hukum supply and demand, melainkan dikendalikan oleh para pedagang ini.

Karenanya, khilafah harus hadir mengawasi rantai perdagangan dan menegakkan sanksi bagi siapa saja yang terbukti melakukan pelanggaran. Qadhi Hisbah akan bertugas mengawasi tata niaga di pasar dan menjaga agar bahan makanan yang beredar adalah makanan yang halal dan thayyib.

Meski demikian, khilafah tidak akan mengambil kebijakan penetapan harga. Sebab, hal ini dilarang sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak.” (HR Ahmad, Al-Hakim, Al-Baihaqi)

Jika khilafah perlu melakukan operasi pasar, kebijakan ini sepenuhnya berorientasi pelayanan, bukan bisnis. Sasaran operasi pasar adalah para pedagang dengan menyediakan stok pangan yang cukup, sehingga mereka bisa membeli dengan harga murah dan dapat menjualnya kembali dengan harga yang bisa dijangkau konsumen.

Yang tidak kalah penting adalah peran negara dalam mengedukasi masyarakat terkait ketakwaan dan syariat bermuamalah. Dalam Islam, ketakwaan individu merupakan salah satu pilar penting tegaknya sistem. Hal ini dibentuk mulai dari keluarga dan sistem pendidikan yang diselenggarakan negara. Pemahaman tentang konsep bermuamalah yang benar adalah prasyarat yang harus dimiliki setiap orang yang berinteraksi di pasar.

Umar ra. pernah melarang orang yang tidak memiliki ilmu untuk datang ke pasar dengan mengatakan, “Jangan berjual beli di pasar kami, kecuali orang yang berilmu. Apabila tidak, dia akan makan riba, baik disengaja atau tidak.” Bahkan, beliau juga mengutus seseorang untuk mengusir orang-orang yang tidak berilmu dari pasar.

Wallahu a’lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post