Oleh: Siti Khaerunnisa (Aktivis Dakwah Kampus)
Beberapa hari lalu, Banten diguncang gempa yang berkekuatan magnitudo 6,6. Berdasarkan informasi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), pusat gempa Banten tersebut berada di 52 kilometer barat daya Sumur, Banten, tepatnya di koordinat 7,01 LS dan 105,26 BT dengan kedalaman 10 kilometer. Meski gempa tektonik berpusat di laut Banten, tetapi dampak getaran dari guncangan gempa bumi ini dirasakan di berbagai daerah seperti Depok, Jakarta dan Bogor. (Kompas.com, 15/1/2022).
Ternyata, persoalan gempa yang mengguncang Banten dan turut dirasakan di Jakarta ini pernah dibahas sejak 2018 lalu, yaitu sempat beredar isu akan terjadinya gempa bermagnitudo 8,7 di Jakarta yang disebabkan sumber gempa besar di selatan Banten di media sosial. Hal ini banyak dikaitkan dengan gempa yang terjadi di Banten, meskipun gempa yang terjadi masih berkekuatan sedang, tidak sebesar yang diprediksi.
Walaupun demikian, bercermin dari gempa di Banten, upaya mitigasi gempa perlu dilakukan untuk menghindari dampak kerusakan yang lebih parah dan menghindari korban jiwa. Karena pada faktanya, gempa tidak akan langsung menelan korban jiwa. Namun, bangunan yang retak atau rusak akibat guncangan gempa dan jatuh menimpa tubuh seseoranglah yang akan menyebabkan adanya korban jiwa saat bencana itu terjadi.
Contohnya di gempa Banten, warga di Desa Cigorondong, Kecamatan Sumur, Pandeglang, Irfan Afendi, mengatakan walaupun sudah disediakan plang-plang evakuasi ke daratan tinggi, tapi titik kumpul evakuasinya belum ditentukan. Jadi, masyarakat hanya berpikir untuk pergi ke dataran yang lebih tinggi. Selain itu, warga akan selalu berbondong-bondong mengevakuasi diri ketika gempa terjadi tanpa mengetahui apakah gempa tersebut berpotensi tsunami atau tidak. (bbc.com, 17/1/2022).
Dari situasi dan dampak kerusakan yang muncul akibat gempa di Banten menunjukkan bahwa masyarakat setempat belum sepenuhnya "tangguh bencana" dan belum mampu mengimbangi potensi bencana yang mungkin terjadi. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh pakar kegempaan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano, bahwa dampak kerusakan itu menunjukkan bahwa konsep "desa tangguh bencana" yang dicanangkan Badan Nasional Penanggungalangan Bencana (BNPB) baru "sebatas jargon".
Sebab, gempa yang terjadi pada 14 Januari lalu tergolong berintensitas sedang dan seharusnya tidak menimbulkan kerusakan seperti yang terjadi. Menurut dia, hal ini merupakan alarm yang sangat penting untuk kita pahami bahwa dengan gempa yang tidak terlalu besar tapi kerusakannya signifikan, apalagi kalau gempa (megathrust) sesungguhnya yang datang.
Sejak 2019 lalu, BNPB menggelar ekspedisi Desa Tangguh Bencana ke desa-desa yang rawan tsunami di sepanjang Pantai Selatan Jawa yang didiami lebih dari 600 ribu jiwa. Tetapi program tangguh bencana itu kemudian tidak didukung oleh pembangunan infrastruktur tahan gempa, jalur evakuasi yang memadai, serta sistem peringatan dini yang layak. Akibatnya, masyarakat tetap dilanda kepanikan setiap kali bencana terjadi. Hal ini menandakan mitigasi yang dilakukan pemerintah belum sesuai harapan.
Pandangan islam terhadap bencana
Islam memandang bencana alam termasuk gempa adalah qadha (ketetapan) dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagai qadha, manusia tidak bisa memilih dan mengontrol terjadinya gempa karena wilayah ini adalah domain yang berada diluar kuasa manusia. Namun, ikhtiar menghindari dan meminimalisir resiko terjadinya bencana alam berada dalam kuasa manusia. Segala upaya untuk menghindarkan interaksi antara peristiwa alam yang menimbulkan bencana dengan manusia, inilah yang disebut mitigasi bencana alam.
Secara teknis penanggulangan bencana gempa dalam Islam tidak jauh berbeda dengan metode yang telah diterapkan di berbagai negara saat ini. Hanya saja terdapat perbedaan mendasar dalam memahami sumber pencipta gempa. Hal tersebut menyebabkan respon awal saat menyikapi terjadinya gempa juga berbeda. Islam memandang bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah pencipta gempa. Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menciptakan dan mengendalikan alam semesta. Adanya gempa menjadi teguran dari Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk manusia. Sehingga hal pertama yang seharusnya kita lakukan ketika menyikapi gempa adalah mengingat Allah, bertaubat dan introspeksi atas dosa-dosa dan maksiat yang kita lakukan.
Penanggulangan tepat versi islam
Penanggulangan bencana dalam Islam ditegakkan di atas akidah Islam dan dijalankan pengaturannya berdasarkan syariat Islam serta ditujukan untuk kemaslahatan ummat yang menjadi kewajiban negara. Karena Kepala Negara (Imam) adalah penanggung jawab sebagaimana sabda Rasulullah Sallallahu 'Alayhi wa Sallam. “Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya; ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya” (HR. Al Bukhari dan Muslim). Negara dalam hal ini Khalifah akan merumuskan kebijakan penanggulangan bencana gempa yang meliputi tiga aspek yakni sebelum, saat terjadi dan pasca gempa.
Penanganan sebelum terjadinya gempa adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk meminimalisir dampak saat terjadi bencana. Seperti meneliti standar bangunan dan daerah yang rawan bencana, membuat rencana pembangunan untuk daerah yang rawan gempa dan tsunami, kemudian merealisasikannya dengan bekerjasama dengan ahli pada bidang terkait. Selain itu, Kepada masyarakat, negara akan melakukan edukasi terkait pengetahuan kegempaan termasuk cara menyelamatkan diri ketika terjadi bencana. Sehingga diharapkan masyarakat lebih siap menghadapi bencana gempa dan bisa meminimalisir jatuhnya korban.
Adapun penanganan ketika terjadi bencana ditujukan untuk mengurangi jumlah korban dan kerugian materil akibat bencana. Maka negara akan melakukan tanggap darurat. Menurunkan tim SAR secara maksimal dan melakukan evakuasi secepat mungkin. Memberikan bantuan medis dan logistik. Membuka jalan dan jalur komunikasi jika terputus. Negara juga menyiapkan tempat pengungsian.
Sedangkan penanganan pasca gempa ditujukan untuk melakukan pemulihan para korban dan tempat tinggal mereka. Untuk pemulihan para korban meliputi pemilihan fisik dan mental. Pemulihan fisik dilakukan dengan memberikan pelayanan dan perawatan yang baik. Sedangkan pemulihan mental dilakukan dengan memberikan tausiyah-tausiyah yang menguatkan keimanan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sehingga menghilangkan trauma, depresi dan gangguan psikis lainnya. Selanjutnya pemulihan tempat tinggal mereka dan bangunan infrastruktur yang rusak akibat gempa. Jika dipandang perlu maka negara akan relokasi penduduk ke tempat lain yang lebih aman dan kondusif.
Demikianlah cara Islam menanggulangi bencana gempa. Sudah saatnya kita mengambil pelajaran dari tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan merenungkan firman-Nya dalam surat Al-A’raf ayat 96 yang artinya “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan dari bumi tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.
Allaahu’alam bi ash shawwab.
Post a Comment