Upah Minimum Naik Tipis, Buruh Bisa Apa?

Oleh: Deti Kutsiya Dewi

Alumnus Politeknik Negeri Jakarta

 

 

Setelah 2021 penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) mengalami keadaan stagnan, di tahun 2022 pemerintah merencanakan adanya kenaikan UMP. Namun ternyata, berita yang seharusnya menjadi kabar bahagia bagi para pekerja dan buruh malah mengalami banyak penolakan. Pasalnya, kenaikan UMP 2022 yang disahkan tersebut diduga tidak sebanding dengan kondisi perekonomian yang akan dihadapi. Penolakan tersebut terus disuarakan pekerja dan buruh di beberapa wilayah dan disusul rencana mogok nasional yang akan digelar pada 6-8 Desember 2021 mendatang.

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menginginkan kenaikan UMP pada 2022 sebesar 7%-10%, namun kenaikan UMP yang terjadi di tahun 2022 di beberapa provinsi tidak lebih dari 2%. Upah minimum naik tipis, buruh bisa apa? Ya, tidak bisa apa-apa. Kenaikan UMP ini juga tidak sebanding dengan inflasi yang diprediksikan BI yang akan terjadi di 2022 yakni mencapai 4%. Indikator yang paling umum untuk mengukur tingkat inflasi adalah pergerakan harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan, fakta tingkat inflasi lebih besar daripada kenaikan UMP tersebut sudah cukup untuk mengetahui sejauh apa keberpihakan pemerintah terhadap masa depan buruh. Bhima mengatakan ada kekeliruan yang dilakukan oleh pemerintah dalam melihat kondisi perekonomian nasional sebagai dasar penetapan besar UMP 2022. Kekeliruan tersebut terjadi dari argumen pemerintah yang menyebutkan kenaikan upah yang terlalu tinggi bisa membebani kalangan usaha dan menghambat pemulihan ekonomi. Menurutnya, “Kalau kenaikan upah cuma 1 persen, sementara proyeksi terjadi inflasi 3-4 persen di 2022 ini efeknya berarti daya beli kelas menengah dan pekerja rentan bisa tergerus inflasi. Jadi ini menyebabkan pemulihan daya beli dan konsumsi rumah tangga terhambat” (dikutip dari ekonomi.bisnis.com).

Penetapan upah yang tidak berdasarkan manfaat tenaga atau jasa yang diberikan kepada masyarakat, sejatinya merupakan problem mendasar mengenai pengupahan dalam sistem kapitalisme saat ini. Dalam pandangan kapitalisme, penetapan upah berdasarkan kebutuhan hidup minimum atau yang lebih sering disebut dengan kebutuhan hidup layak (KHL).

KHL merupakan standar kebutuhan seorang pekerja atau buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam 1 bulan. Namun standar yang dimaksud adalah standar hidupnya yang paling minimal, yaitu sekadar bisa dipakai untuk hidup dalam taraf amat sederhana. Hal ini tentu saja membuktikan pemberian upah dalam sistem kapitalisme tidak adil dan tidak memberikan kesejahteraan menyeluruh.

Lain halnya dengan penetapan upah dalam sistem Islam, penetapan upah dalam Islam harus berdasarkan kesepakatan antara pekerja atau buruh dengan pemberi kerja, jangan sampai ada salah satu di antara mereka yang dirugikan. Terkait waktu, jam kerja, jenis pekerjaan yang dilakukan juga akan dijelaskan secara jelas. Jumlah upah yang diberikan pun didasarkan pada manfaat yang diberikan pekerja atau buruh kepada pemberi kerja, baik upah itu mencukupi kebutuhannya atau pun tidak, sehingga tidak akan terjadi pemberian upah yang terlalu tinggi yang membebani pemberi kerja maupun sebaliknya upah yang diberikan terlalu rendah untuk pekerja dan buruh.

Upah yang diberikan kepada pekerja dan buruh jumlahnya dinilai berdasarkan pendapat ahli ketenagakerjaan yang tentunya sesuai dengan harga pasar tenaga kerja. Dalam pemberian upah pun juga harus dilakukan tepat waktu sesuai perjanjian, seperti dalam hadits Rasulullah SAW yang berbunyi “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering” (HR. Ibnu Majah).

Selain itu, terkait pemenuhan kebutuhan dasar rakyat yakni pangan, sandang dan papan dalam sistem Islam merupakan tanggung jawab negara, sehingga kebutuhan tersebut harus diberikan kepada seluruh rakyat yang ada di dalam negara Islam. Negara juga wajib menyediakan kebutuhan dasar lainnya seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan secara cuma-cuma kepada seluruh rakyatnya tanpa memandang suku, agama, ras dan wilayah tinggal mereka.

Berdasarkan hal tersebut, kenaikan upah tahunan yang terjadi di sistem kapitalisme yang menuai pro dan kontra dan juga menimbulkan ketidakadilan tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Dengan menerapkan syariah Islam, maka pekerja dan pengusaha akan sama-sama mendapat keuntungan dan juga akan memberikan keberkahan pada seluruh aspek kehidupan, tidak hanya kepada individu, melainkan kepada masyarakat dan negara.[]

 

Post a Comment

Previous Post Next Post