No title


Sudahi Duka Semeru, Sudahi Duka Bumi Pertiwi

Oleh : Mumtaza Rahmah, M.Pd (Pegiat Opini dan Media Sosial)

Bumi pertiwi kembali berduka. Tepatnya Sabtu, 4 Desember 2021, Pukul 15.00 WIB telah terjadi musibah erupsi Gunung Semeru, Jawa Timur. Gunung yang menjadi salah satu lokasi “favorit” para pendaki tersebut kini sedang menggeluarkan lava pijar, suara gemuruh serta asap yang pekat berwarna abu-abu. Gunung api Semeru sendiri terletak di dua Kabupaten di Jawa Timur, yaitu Malang dan Lumajang.  Kerusakan akibat musibah ini tentu tak hanya korban jiwa tetapi juga material bagi masyarakat sekitar. 

Menurut data yang di rilis saat hari ketiga pasca kejadian oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), melalui Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari dalam konferensi persnya mengatakan ada 22 orang meninggal dunia dan 27 orang lainnya masih dinyatakan hilang. (SINDONEWS.COM, 6/12/21). 

Indonesia Negara dengan Potensi Bencana Alam Intens

Ada temuan menarik dari apa yang di paparkan oleh Marta Carolina, Seorang Analisis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPRD RI. Yang tertuang dalam Buletin APBN, Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI, Vol. III, edisi 18, 2018. Dalam salah satu papernya, yang berjudul “Kelemahan-Kelemahan Penanggulangan Bencana Alam di Indonesia”, Carollina menuliskan bahwa Indoensia menjadi salah satu negara dengan potensi bencana alam yang cukup intens, serta kejadian bencana alam yang tinggi. Regulasi tentang penanggulangan bencana sejatinya sudah ada di negeri ini, melalui UU Nomor 24 Tahun 2007. 

Adanya UU No 27 Tahun 2007 tersebut, nyatanya di nilai Carollina belum cukup efektif secara implementasinya. Karena masih banyak proses penanggulangan bencana yang belum mendapatkan penanganan serius karena adanya beberapa faktor penghambat, diantaranya seperti regulasi turunan UU penanggulangan bencana yang belum mewujudkan Perpres tentang Status dan Tingkat Bencana. Hingga masih ada beberapa aturan yang belum selesai mengenai analisa risiko bencana dan standar pelayanan minimal dan lain sebagainya. 

Mari Melihat Akar Persoalan

Pemangkasan alokasi anggaran penanggulangan bencana tentu bukan hal yang terjadi tanpa sebab lainnya. Di negeri ini  corak kekuasaan masih  sangat kental dengan gaya kepemimpinan Kapitalisme-Liberal. Dimana, semangat dalam melakukan militasi terhadap bencana menjadi bahan hitungan untung rugi bagi pengambil kebijakan. Nyawa rakyat terkadang tak terlalu menjadi prioritas jika memang pos anggarannya dianggap tidak mencukupi, banyak dari musibah bencana di bumi pertiwi ini yang tercatat telah memakan korban nyawa dalam jumlah yang tidak sedikit. Misalnya saja kejadian gempa 7 SR di Lombok pada Bulan Agustus 2018 lalu, setidaknya memakan korban 564 jiwa meninggal dunia da nada 1,469 jiwa mengalami luka-luka, belum lagi hitungan kerugian material dan fasilitas seperti kesehatan , kerusakan sekolah, infrastruktur hingga kerusakan fasilitas ibadah. 

Warna kebijakan negara dengan basis Kapitalisme ini hanya mengedepannya anggaran untuk alokasi pada sektor potensial dan bernilai ekonomi, data menunjukan dengan jelas dimana keberpihakan penguasa dalam mengelolan negara dan menyelamatkan nyawa rakyatnya. Tahun 2019 misalnya, menjadi tahun politik karena ada anggaran sebesar 17,8  triliun yang telah di alokasikan dalam RAPN 2019 untuk “menyuntik” tiga bidang usaha negara agar kestabilan ekonomi terus berjalan. (CNBC.Indonesia, 20/08/2018). 

Islam Hadirkan Solusi

Islam menjadi salah satu alternatif sistem kehidupan yang sejatinya harus hadir ditengah masyarakat. Ketika sistem hidup Kapitalisme-Liberal telah gagal memberikan solusi atas permasalahan bencana di bumi pertiwi, seharusnya Islam dipilih sebagai salah satu sistem yang meneyelesaikan masalah yang tak mampu di tuntaskan oleh sistem Kapitalisme. 

Orientasi penanggulangan bencana dalam Islam tentu berputar pada “pentingnya menyeamatkan nyawa rakyat”, walau hanya satu orang. Bahkan hal ini digambarkan sebagai sesuatu yang lebih berharga daripada dunia dan isinya. “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbuhuhnya seorang mukmin tanpa hak”. (HR. Nasai). 

Islam jelas akan menempatkan kepentingan menyelamatkan nyawa manusia sebagai hal yang utama dibandingkan pemulihan ekonomi misalnya. Keseimbangan aturan dan mitigasi bencana dalam Islam jelas akan sejalan dengan keberadaan seorang pemimpin umat Islam, Khalifah, karena hanya dengan kepemimpinannya pengelolaan negara, termasuk didalamnya bagaimana penetapan alokasi APBN negara untuk pos miligasi bencana akan diatur sedemikian tepatnya, dan tetap memperhatikan aspek pengelolaan dan kestabilan kondisi negara lainnya, seperti recovery mental masyarakat pasca bencana, pemulihan ekonomi negara dan rakyatnya, serta penggunaan teknologi yang akan diciptakan sebagai alat bantu dalam mengetahui potensi bencana yang akan terjadi secara tepat dan cepat. 

Karena itu, sudah saatnya kita mengambil dan mengadposi sistem kehidupan Islam sebagai sistem alternatif menyelesaikan persoalan kehidupan termasuk didalamnya menciptakan mitigasi bencana yang tepat dan cepat bagi bumi pertiwi dan dunia seluruhnya.®

Post a Comment

Previous Post Next Post